Wednesday, February 1, 2017

Makalah Menejemen Dakwah



KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan taufik, hidayah serta inayah-Nya, sehingga semua pembaca masih bisa beraktifitas sebagaimana mestinya, begitupun dengan penyususun makalah ini. Sehingga dapat tersusun makalah dengan judul “Subjek, Objek, Sasaran Dakwah Islamiyah”.
Makalah ini berisi tentang penjelasan, definisi dan macam-macam subjek, objek, sasaran dakwah islamiyah.
Terimakasih penyusun ucapkan kepada rekan seperjuangan yang telah membantu, baik langsung berupa perbuatan dan juga tak langsung berupa doa untuk penyusunan makalah ini, sehingga dapat terselesaikan tepat waktu. Paling utama terimakasih penyusun ucapkan kepada dosen mata kuliah Manajemen Dakwah, Bapak Sudirman, S.Ag., M.Ag. yang telah membimbing penyusun sehingga makalah ini dapat tersusun dengan insyaallah baik dan benar.
Harapan penyusun, dengan tersusunnya makalah “Subjek, Objek, Sasaran Dakwah islamiyah” dapat memberikan manfaat, serta memperluas pengetahuan tentang Subjek, Objek, Sasaran Dakwah islamiyah tersebut untuk pembaca dan penyusunnya. Kemudian, penyusun kembali pada fitrah manusia yang tak pernah lepas dari salah dan dosa juga jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu pula penyusun meminta maaf bila terdapat kekurangan dalam makalah ini. Tak lupa untuk memperbaiki kesalahan dan kekurangan dalam makalah ini penyususn juga meminta kritik dan saran atas makalah ini.
Malang, 21 September 2016
Penyusun





BAB  I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dakwah merupakan sarana untuk mengajak umat manusia agar dapat mematuhi perintah Allah SWT dan Rasul-Nya, sehingga mampu menjalani hidup dan kehidupan ini dengan baik sesuai peraturan agama dan akhirnya kelak hidup di akhirat pun akan mendapatkan kebahagiaan seperti yang dijanjikan  Allah SWT.
Dahulu, tugas pokok Rasulullah SAW adalah berdakwah mengajak manusia untuk mengikuti ajaran-ajaranya yang dibawa oleh Allah SWT yang mengutusnya. Tetapi setelah Rasulullah SAW wafat, para sahabatlah yang melanjutkan dakwah Rasulullah SAW sampai umat-umatnya saat ini.
Orang-orang yang menyampaikan ajaran-ajaran Allah SWT kepada sesamanya itu disebut sebagai da’i atau muballigh. Mereka itulah orang-orang terpilih untuk melanjutkan dakwah Rasulullah SAW dan para sahabat dengan berfokus pada  Al-Qur’an dan Hadits. Tugas utama para da’i atau muballigh adalah mengajak anggota masyarakat mulai dari kaum kerabat dekatnya ke jalan yang benar, bukan mengajaknya ke jalan yang mungkar. Sebab saat ini banyak sekali fenomena,orang-orang yang mengakui dirinya sebagai da’i yang handal, mempunyai banyak pengetahuan agama, dan sebagai pemimpin dakwah yang mengajarkan manusia tentang kebenaran islam tetapi sesungguhnya dia telah menyelewengkan agama.
Oleh karena itu, subyek dan objek dakwah dalam kegiatan dakwah Islamiyah adalah merupakan faktor yang sangat penting karena pelaksanaan dakwah tidak akan bisa berjalan tanpa adanya subyek dakwah tersebut. Demikian juga subyek dakwah mempunyai peranan yang besar dalam menentukan keberhasilan suatu misi dakwah Islamiyah.
Dengan fenomena di atas, kami kemudian mengangkat judul makalah “Subyek, objek, sasaran Dakwah Islamiyah” sebagai bahan persentasi kami pada diskusi yang akan dilaksanakan dengan bahan kajian pengertian subyek dakwah, macam-macam subyek dakwah, tujuan dan fungsi subyek dakwah dan syarat/karakteristik da’I, objek dakwah, dan sasaran dakwah.
Rumusan Masalah
1.  Apa yang dimaksud subyek dakwah?
2.  Siapa saja yang termasuk subyek dakwah dan apa macam-macamnya?
3.  Apa saja syarat-syarat da’i?
4.  Apa tujuan atau fungsi dari subyek dakwah?
5.  Apa yang dimaksud objek dakwah?

6.  Apa sajakah sasaran dalam berdakwah?

Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian subjek dakwah
2. Untuk mengetahui siapa saja yang termasuk subjek dakwah dan macam-macamnya
3. Untuk mengetahui syarat-syarat da’i
4. Untuk mengetahui tujuan dan fungsi dakwah
5. Untuk mengetahui pengertian objek dakwah
6. Untuk mengetahui sasaran-sasaran dakwah


BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Subyek Dakwah
1.    Secara Etimologi
Subyek dakwah berasal dari dua kata, yakni subyek dan dakwah. Subyek yang berarti pelaku dan Dakwah (Bahasa Arab = الدعوة) yang berarti do’a, seruan, panggilan, ajakan, undangan, dorongan, dan permintaan berakar dari kata kerja “دعا” yang berarti berdo'a, menyeru, memanggil, mengajak, mengundang, mendorong, dan meminta. Jadi jika ditinjau dari segi etimologi (bahasa) Subyek Dakwah dapat diartikan sebagai pelaku atau orang yang menyeru atau mengajak.
2.    Secara Terminologi
Ditinjau dari segi terminologi, subyek dakwah adalah orang yang melakukan dakwah (yang dalam Bahasa Arab disebut da’i)  baik dalam bentuk lisan, tulisan, maupun dalam bentuk perbuatan yang dilakukan secara individu, maupun kelompok (jama’ah).
Dalam konteks keindonesiaan, orang yang berdakwah (da’i) memiliki banyak sebutan, diantaranya: muballig, ustadz, kiyai, gurutta (Bugis),  ajengan (Sunda), teungku (Aceh), dan lain sebagainya. Hal ini didasarkan pada tugas dan eksistensinya yang sama dengan da’i. Meskipun pada hakekatnya tiap-tiap sebutan tersebut memiliki kadar karisma dan keilmuan yang berbeda-beda dalam pemahaman masyarakat Islam di Indonesia.
Pada umumnya masyarakat cenderung mengartikan kata da’i atau muballig dengan pengertian yang sempit, yakni orang yang menyampaikan ajaran Islam melalui lisan atau dengan kata lain di atas mimbar, seperti penceramah agama, khatib, dan sebagainya. Namun sebenanya pengertian da’i tidaklah sesempit itu. Seorang da’i bisa saja berdakwah melalui lisan, namun orang yang berdakwah melalui media tulisan, seperti buku, koran, majalah, tabloid, artikel, dan sebagainya juga bisa disebut da’i.

Macam-Macam Subyek Dakwah
Subyek dakwah dalam pengertian yang luas tidak hanya terletak di pundak para ustaz, kiyai, atau ulama, tetapi terletak di pundak kita semua (sebagai umat islam). Setiap umat Islam memikul tanggung jawab untuk melaksanakan tugas dakwah sesuai dengan ruang lingkup dan kemampuannya masing-masing.
Di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits begitu banyak dalil-dalil yang menginformasikan tentang wajibnya berdakwah. Di antara ayat-ayat yang menerangkan hal tersebut yakni:
Q.S. Al-Imran : 104
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung”.
Q.S. An Nahl : 125
Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.
Q.S. Al’Ashr : 1-3
Artinya: “1) demi masa. 2) Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. 3) kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”.
Dalam sabdanya, Rasulullah SAW juga telah menginformasikan tentang kewajiban berdakwah, di antaranya yaitu:
H.R. Muslim
مَنْ دَعا إِلَى هُدًى كانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلَ أُجُوْرِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أجورهِمْ شَيْئاً، ومن دعا إلى ضَلالَةٍ كان عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مثلَ آثامِ من تبعه لا ينقص ذلك مِنْ آثامِهِمْ شيئاً
“Siapa yang mengajak kepada hidayah maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya dan hal itu tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun. Siapa yang mengajak kepada kesesatan maka dia mendapatkan dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya dan hal itu tidak mengurani dosa mereka sedikitpun”.
H.R. Muslim
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
“Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya, jika dia tidak mampu, maka dengan lidahnya, jika dia tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu selemah-lemah iman”.
H.R. At-Tirmizi
لَيُصَلُّوْنَ عَلَى مُعَلِّمِي النَّاسِ الْخَيْرَ إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ حَتَّى النَّمْلَةَ فِي جُحْرِهَا
“Sesungguhnya para malaikat, serta semua penduduk langit-langit dan bumi, sampai semut-semut di sarangnya, mereka semua  bershalawat atas orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia”.
Dari beberapa dalil di atas, maka jelaslah bahwa kewajiban dakwah bukan hanya untuk ustadz, kiyai, ulama atau para santri dan lembaga-lembaga baik yang beridentitas lembaga dakwah atau yang ada di bawah naungan Kementerian Agama, tetapi di luar itu semua wajib untuk melaksanakan dakwah. Pelukis dapat berdakwah lewat ekspresi lukisannya, penulis dapat berdakwah lewat karya tulisnya, aktor dan aktris dapat berdakwah lewat aktingnya, sutradara dapat berdakwah lewat karya film atau dramanya, penyanyi dapat berdakwah melalui lagunya dan profesi lainnya.
Namun secara khusus, orang yang seharusnya berperan lebih intensif sebagai da’i adalah mereka yang memang mempunyai profesi ataupun memang secara sengaja mengkonsentrasikan dirinya dalam tugas menggali mutiara-mutiara ilmu serta ajaran agama Islam untuk disampaikan kepada orang lain sehingga ilmu dan ajaran agamanya tersebut dapat mempengaruhi sikap dan tingkah laku orang lain tersebut. Karena yang kita harapkan adalah dakwah yang sempurna dan membawa hasil maksimal, maka yang menjadi acuan subyek dakwah tersebut diharapkan lahir dari مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ (di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya).
Golongan yang dimaksudkan oleh ayat tersebut adalah mereka yang mengambil spesialisasi (takhassus) di dalam bidang agama Islam untuk kemudian menyampaikan ilmunya dengan tujuan agar orang yang menerimanya (mad'u) dapat berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang diharapkan oleh Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Dapat disimpulkan bahwa da’i (subyek dakwah) dapat dibedakan menjadi dua macam: Pertama, da’i menurut kriteria umum yaitu setiap muslim/muslimat yang berdakwah sebagai kewajiban yang melekat tak terpisahkan dari misinya sebagai penganut Islam (khairu ummah) yang harus senantiasa beramar ma’ruf nahi munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari kemunkaran) sesuai dengan kemampuan dan kapasitas masing-masing. Kedua,da’i menurut kriteria khusus yaitu setiap muslim/muslimat yang mengambil keahlian khusus (takhassus) dalam bidang agama Islam dan secara profesional melakukan tugas-tugas dakwah.
Syarat-Syarat Da’i
Menurut Jum'ah Amin Abdul Aziz, antara dakwah dan da’i-nya tidak bisa dipisahkan, karena seorang muslim yang memahami dakwahnya dengan pemahaman yang benar, akan tetapi kurang tepat dalam menyampaikan dakwahnya kepada manusia sama bahayanya dengan seorang muslim yang tidak memahami Islam dengan pemahaman yang benar, akan tetapi ia pandai berargumen, pandai bicara, dan baik dalam menyampaikan.  Kelompok yang pertama tidak pandai menyampaikan sekalipun dia paham, sementara yang kedua baik dalam menyampaikan meski dengan segala kebodohannya. Oleh karena itu, Islam hanya akan menjadi dakwah yang benar apabila dibawakan seorang da’i yang wa’in (paham) dan berakhlaq.
Menurut Mustafa al-Siba’i:
"Musibah yang menimpa agama ini di sepanjang zaman adalah disebabkan dua golongan manusia. Yang pertama, kelompok yang salah paham atau tidak paham agama ini, dan kelompok kedua adalah mereka yang pandai menyampaikan. Kelompok yang pertama menyesatkan orang-orang mukmin, sedang kelompok yang kedua memberikan alasan bagi orang-orang kafir."
Berpijak pada hal tersebut, maka kedudukan da’i yang begitu penting dalam aktifitas dakwah, harus dilengkapi dengan beberapa kualifikasi. Dari sini maka da’i dituntut memiliki 3 (tiga) syarat yaitu:
1.  Syarat yang Menyangkut Jasmaniyah.
Dakwah memerlukan akal yang sehat, sedangkan akal yang sehat terletak pada badan yang sehat (Al-aqlu as-saliymu fii al-jismi as-saliymu). Oleh karena itu seorang da’i memerlukan persyaratan jasmani.
Sebenarnya aktivitas dakwah dapat juga dilakukan oleh orang yang tidak sehat jasmaninya, akan tetapi apabila seorang da’i yang profesional yang berdakwah dengan sasaran yang berjumlah banyak, maka kesehatan jasmani masih juga diharuskan. Sebab kondisi badan yang tidak memungkinkan sedikit banyak akan mengurangi kegairahan dan ketahanannya untuk berdakwah.
Dakwah yang dilakukan oleh orang yang dalam keadaan sakit, bukannya membuat da’i tidak bergairah atau kurang spirit, tapi dapat mengganggu konsentrasi pikiran da’i itu sendiri, di samping itu obyek dakwah merasa tidak mendapatkan layanan memuaskan, terlebih apabila penyakitnya yang dapat mendatangkan bahaya/menular kepada obyek dakwah.
Maka, seorang da’i mutlak diperlukan untuk menjaga kesehatannya, agar dalam melaksanakan dakwahnya dapat mencapai pada tujuan yang diinginkan.
2.     Syarat Ilmu Pengetahuan
Syarat ilmu pengetahuan yang harus dimiliki da’i yaitu ia harus memahami secara mendalam ilmu, makna-makna serta hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur'ān dan al-Sunnah. Bentuk pemahaman itu dapat dirinci ke dalam tiga hal :
  1. Pemahaman terhadap aqidah Islam dengan baik dan benar serta berpegang teguh pada dali-dalil al-Qur'ān dan al-Sunnah
  2. Pemahaman terhadap tujuan hidup dan posisinya di antara manusia.
  3. Pemahaman terhadap ketergantungan hidup untuk akhirat dengan tidak meninggalkan urusan dunia.
Sejalan dengan uraian di atas, menurut Hamzah Ya'kub setiap da’i harus:
a.       Mengetahui tentang al-Qur'ān dan Sunnah Rasul sebagai pokok agama Islam
b.      Memiliki pengetahuan Islam yang berinduk kepada al-Qur'ān dan Sunnah, seperti tafsir, ilmu hadith, sejarah kebudayaan Islam dan lain-lain.
c.       Memiliki pengetahuan yang menjadi alat kelengkapan dakwah seperti: teknik dakwah, ilmu dakwah, ilmu jiwa (psychology), sejarah, antropologi, perbandingan agama dan sebagainya.
d.      Memahami bahasa umat yang akan diajak kepada jalan yang diridai oleh Allah.   Demikian juga ilmu retorika dan kepandaian berbicara serta mengarang.
Selain pengetahuan di atas, da’i harus memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang:
a.       Obyek dakwah, yaitu pemahaman bahwa orang yang dihadapi memiliki keaneka ragaman dalam segala seginya.
b.      Dasar dakwah, yaitu pemahaman terhadap latar belakang secara yuridis dalam melakukan dakwah.
c.       Tujuan dakwah, yaitu pemahaman terhadap apa yang akan dicapai di dalam usaha dakwah.
d.      Materi dakwah, yaitu pemahaman terhadap pesan/informasi atau ajaran agama yang akan disampaikan kepada orang lain secara benar atau baik.
e.       Metode Dakwah, yaitu pemahaman terhadap cara-cara yang akan dipakai dalam melaksanakan dakwah.
f.       Alat dakwah, yaitu pemahaman terhadap alat-alat yang perlu digunakan dalam berdakwah.




3.     Syarat kepribadian
Syarat kepribadian tampaknya merupakan syarat yang paling banyak dibicarakan oleh para ahli, sehingga dalam soal ini banyak pendapat dikemukakan.
Berkait dengan soal tersebut, ayat 159-164 surat Al-Imran menyebut secara rinci kepribadian yang harus dimiliki oleh seorang da’i, yaitu :
  1. Berlaku lemah lembut dalam berdakwah
  2. Bermusyawarah dalam beberapa urusan, termasuk dalam urusan dakwah
  3. Memiliki tekad yang kuat dalam berdakwah.
  4. Bertawakkal kepada Allah setelah bermusyawarah dan melakukan kebulatan tekad.
  5. Selalu memohon pertolongan Allah
  6. Tidak melakukan tindakan curang
  7. Mendakwahkan ayat Allah untuk menjalankan jalan hidup bagi umat manusia.
  8. Membersihkan jiwa raga manusia dengan jalan mencerdaskan mereka
  9. Mengajarkan manusia kitab suci al-Qur'ān dan hikmah.
  10. Menurut Abd. Rosyad Shaleh, seorang da’i harus memiliki nilai-nilai pribadi sebagai berikut :
  11. Berpandangan jauh ke masa depan
  12. Bersikap dan bertindak bijaksana
  13. Berpengetahuan luas
  14. Bersikap dan bertindak adil
  15. Berpendirian teguh
  16. Mempunyai keyakinan bahwa missinya akan berhasil
  17. Berhati ikhlas
  18. Memiliki kondisi fisik yang baik
  19. Mampu berkomunikasi.
Abul A'la al-Maududi menyebut beberapa hal yang harus dimiliki da’i di antaranya:
Sanggup memerangi musuh dalam dirinya sendiri yaitu hawa nafsu untuk taat sepenuhnya kepada Allah dan Rasul-Nya sebelum memerangi hawa nafsu orang lain.
Sanggup berhijrah dari hal-hal yang maksiat yang dapat merendahkan dirinya di hadapan Allah dan di hadapan masyarakat
Mampu menjadi uswah hasanah dengan budi dan akhlaqnya bagi masyarakat yang menjadi mad'uw-nya
Memiliki persiapan mental :
a.       Sabar, yang meliputi sifat-sifat teliti, tekad yang kuat, tidak bersikap pesimis dan putus asa, kuat pendirian serta selalu memelihara keseimbangan akal dan emosi.
b.      Senang memberi pertolongan kepada orang dan bersedia berkorban, mengorbankan waktu, tenaga, pikiran dan harta serta kepentingan yang lain.
c.       Cinta dan memiliki semangat yang tinggi dalam mencapai tujuan
d.      Menyediakan diri untuk bekerja yang terus-menerus secara teratur dan berkesinambungan.
Jum'ah Amin Abdul Aziz menyebut beberapa kepribadian yang harus dimiliki da’i di antaranya :
  1. Amānah, yaitu terpercaya. Maksudnya seorang da’i dituntut memiliki kepribadian yang dapat dipercaya. Sifat inilah yang merupakan sifat Nabi dan Rasul, dan kunci keberhasilan dakwah mereka.
  2. Sidq, berarti kejujuran dan kebenaran, sebagai lawan dari kedustaan. Sifat ini terkait dengan sifat amānah. Tidak ada manusia jujur yang tidak terpercaya, dan tidak ada manusia terpercaya yang tidak jujur. Karena itu da’i wajib memiliki sifat ini dalam kepribadiannya baik dalam perkataannya, niat atau kehendaknya maupun perbuatannya.
  3. Ikhlās, artinya murni karena Allah swt. tegasnya aktivitas dakwah yang dilakukan sang da’i semata-mata ditijukan untuk mendapatkan rida dari Allah.
  4. Rahmah, rifq dan hilm. Seorang da’i harus menyadari bahwa missi yang diembannya adalah missi yang penuh rahmah (kasih sayang), rifq (kelemahlembutan) dan hilm (penyantun). Tiga hal ini harus dimiliki da’i dalam aktivitas dakwahnya. Karena apabila kekasaran dan kekerasan yang dimunculkan oleh da’i, niscaya orang akan lari dan tak menghiraukan ajakan da’i.
  5. Sabr atau sabar.
  6. Hirs artinya perhatian yang besar. Seorang da’i dituntut memiliki perhatian yang besar kepada obyek dakwahnya, sampai yang bersangkutan merasakan adanya perhatian tersebut. Perasaan seperti ini akan mampu membuka hatinya dan menggugah perasaannya, sehingga si mad'uw siap mendengarkan dan memperhatikan apa yang disampaikannya.
  7. Thiqah artinya percaya. Maksudnya percaya bahwa Islam akan memperoleh kemenangan dan ajarannya akan tersebar di seluruh penjuru bumi meskipun musuh-musuh Islam terus menghambat.
  8. Wa'iy atau peka. Maksudnya peka terhadap segala upaya yang dilakukan musuh Islam, sehingga mampu menghindarkan diri dari tipu daya, rencana jahat dan makar mereka.
Dalam Tafsir Dakwah ditambahkan sifat-sifat yang harus menjadi cermin kepribadian da’i yaitu :
a.       Tidak bersikap emosional, sebab dia hanya bertugas menyampaikan kebenaran, sedangkan petunjuk dan kesesatan ada di tanagn Allah.
b.      Bertindak sebagai pemersatu umat; bukan pemecah belah umat; mengutamakan pengertian Islam yang sebenar-Nya dan bukan pengertian Islam yang sudah dikebiri oleh kepentingan pribadi dan golongan.
c.       Tidak bersikap materialistis, artinya materi tidak sebagai tujuan utama dakwahnya.

HAMKA menyebut beberapa kepribadian yang mesti dimiliki da’i yaitu :
a.       Hendaknya seorang da’i menilik dan menyelidiki benar-benar kepada dirinya sendiri, guna apa dia mengadakan dakwah. (menyangkut masalah niat).
b.      Hendaklah seorang pendakwah mengerti benar soal yang akan diucapkan
c.       Terutama sekali kepribadian muballigh atau da’i haruslah kuat dan teguh, tidak terpengaruh oleh pandangan orang banyak ketika memuji dan tidak tergoncang ketika mata orang melotot karena tidak senang. Jangan ada cacat pada perangai meskipun ada cacat pada jasmaninya.
d.      Pribadinya menarik, lembut tetapi bukan lemah, tawadu' merendahkan diri tetapi bukan rendah diri, pemaaf tetapi disegani. Dia duduk di tengah orang banyak, namun dia tetap tinggi dari orang banyak. Merasakan apa yang dirasakan orang banyak.
e.       Harus mengerti pokok pegangan kita ialah al-Qur'ān dan al-Sunnah. Disamping itu pun harus mengerti ilmu jiwa dan mengerti pula adat istiadat orang yang hendak didakwahi.
f.       Jangan membawa sikap pertentangan, jauhkan dari sesuatu yang akan membawa debat. (Tidak perlu membuka masalah khilāfiyah di muka orang banyak/orang awam).
g.      Haruslah diinsafi bahwasanya contoh teladan dalam sikap hidup, jauh lebih berkesan kepada jiwa umat daripada ucapan yang keluar dari mulut.
h.       Hendaklah muballigh dan da’i itu menjaga jangan sampai ada sifat kekurangan yang akan mengurangi gengsinya di hadapan pengikutnya. Karena kekurangan gengsi (prestise) akan sangat menghalangi kelancaran gagasan dan ajuran yang dikemukakan.





Tujuan dan Fungsi Subyek Dakwah
Tujuan da’i antara lain sebagai berikut:
1.      Meluruskan Aqidah.
Dalam hal ini da’i berfungsi sebagai penyampai kebenaran ajaran tauhid, dan membersihkan jiwa manusia dari kepercayaan-kepercayaan yang keliru. Dalam kaitan ini ada beberapa golongan yang sangat memerlukan pelurusan tersebut yaitu :
a.       Golongan yang kosong dari aqidah yang benar
b.      Golongan yang memiliki aqidah yang menyimpang
c.       Golongan yang mengaku bertauhid tetapi kurang mantap
d.      Golongan yang bimbang dan tidak konsekuen dengan pengakuannya.
2.      Mendorong dan Merangsang Orang untuk Giat Beramal Sālih
Fungsi da’i di sini adalah memberi rangsangan, motivasi dan dorongan, menganjurkan serta memberi teladan dengan amal salih karena banyak di antara orang yang tidak mau beramal disebabkan :
a.       tidak tahu bagaimana caranya
b.      tidak mengerti hikmah dan faedahnya
c.       karena kemalasan dan kelalaiannya
d.      karena unsur kesengajaan
Maka kemampuan da’i diuji di sini, bagaimana caranya dorongan dan rangsangan beramal itu menjadi suatu kesadaran.
3.      Membersihkan dan Menyucikan Jiwa
Tugas yang satu ini disebabkan berbagai macam kerusakan dan kejahatan seringkali muncul karena kekotoran jiwa atau rohani manusia.
Dalam mencapai tujuan tersebut, maka da’i dapat berfungsi sebagai berikut:
a.       Sebagai pemimpin, karena dia adalah penyeru kepada kebajikan dan orang yang mencegah kemunkaran. Dalam kaitan ini, da’i dituntut untuk bisa menjadi uswah hasanah bagi umat.
b.      Sebagai mujahid, artinya sebagai pejuang dan penegak ajaran Allah. Dalam hal ini da’i dituntut memiliki jiwa besar dan mampu membesarkan jiwa orang lain.
c.       Sebagai obyek, karena da’i selain sebagai penyeru kebajikan kepada orang lain, dia juga harus menyeru dirinya sendiri supaya berbuat kebajikan dan menjauhi kemunkaran.
d.      Sebagai pembawa missi yaitu pembawa amanah Allah.
e.       Sebagai pembangun, yaitu pembawa perubahan ke arah yang lebih baik.
Objek Dakwah ( Mad'u )
Objek dakwah atau disebut dengan Mad'u adalah orang yang menjadi sasaran dakwah, yaitu semua manusia tanpa pandang buluh, sebagaimana firman ALLAH SWT :
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ
Artinya :''Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa kabar gembira dan sebagai pemberi peringatan , tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (Q.S.As-Saba' :28)
Berdasarkan ayat diatas  dapat dipahami bahwa objek dakwah atau sasaran dakwah secara umum adalah seluruh manusia, dan objek dakwah secara khusus dapat ditinjau dari berbagai aspek. Secara khusus sebagai berikut :
  1. Aspek usia : anak-anak, remaja dan orang tua
  2. Aspek kelamin : Laki-laki dan Perempuan
  3. Aspek agama : Islam dan kafir atau non muslim
  4. Aspek sosiologis : masyarakat terasing, pedesaan, kota keci dan kota besar, serta masyarakat marjinal dari kota besar
  5. Aspek struktur kelembagaan : Priyayi, abangan dan santri
  6. Aspek ekonomi : Golongan kaya, menengah,dan miskin
  7. Aspek mata pencaharian : Petani,peternak, pedagang,nelayan,pegawai,dll
  8. Aspek khusus : Golongan masyarakat tuna susila, tuna netra, tuna rungu, tuna wisma
  9. Aspek komunitas masyarakat seniman, baik musik, seni lukis, seni pahat, seni tari, dll
Para Da'i tidak cukup hanya mengetahui objek dakwah secara umum dan secara khusus tersebut, tetapi yang lebih penting lagi yang harus diketahui adalah hakikat objek dakwah atau sasaran dakwah itu sendiri. Adapun hakikat objek dakwah adalah seluruh dimensi problematika hidup objek dakwah, baik problem yang berhubungan dengan aqidah, ibadah, akhlaq, mu'amalah, pendidikan, sosial, ekonomi, politik, budaya, dll.
Sasaran Dakwah
Al-Quran telah menyebutkan berbagai tehnik atau metode dakwah yang sesuai dengan karakter manusia. Yaitu dengan hikmah, dengan nasehat yang baik, dengan dialog yang baik, dan dengan kekuatan.
Dalam praktiknya penggunaan metode tersebut harus sesuai dengan urutannya. Nasehat yang baik harus sesuai dengan situasi dan kondisinya. Disamping itu perlu disertai penjelasan yang benar dan landasan dalil-dalil yang efektif dan semua itu harus dilakukan dengan penuh bijaksana.
Selain metode seorang da’i juga harus mengetahui kondisi masyarakat yang menerima. Dilihat dari segi intelektualitas. Sebuah mayarakat dapat diklasifikasikan ke dalam empat kelompok yakni:
1.  Kaum cendikiawan. Kelompok ini pada umumnya mudah menerima kebenaran, karena itu pendekatan dakwah yang tepat bagi mereka adalah cukup dengan menggunakan ilmu, amal, dan penjelasan aqidah.
2.  Kaum yang mengakui dan menerima kebenaran, tapi mereka sering kali lali dan mengikuti hawa nafsunya. Kelompok ini umumnya sulit untuk menerima dan mengikuti kebenaran. Cara dakwah yang tepat untuk  mereka adalah dengan menggunakan nasehat yang baik, termasuk di dalmnya pemberian motivasi dan ancaman.
3.  Kaum yang keras hati (penentang) orang-orang yang semacam ini harus dihadapi dengan mujadalah yang baik.
4.  Kaum penentang dan zhalim. Untuk menghadapi mereka pertama-tama kita gunakan teknik bermujadallah secara baik. Namun jika cara ini tidak berhasil maka kita boleh menggunakan kekuatan Rasulullah senantiasa menggunakan ilmu sesuatu dengan situasi dan kondisi masyarakat penerimanya. Begitupun nasihat, mujadallah dan kekuatan selalu beliau lakukan secara tepat sesuai dengan kebutuhannya.
Dalam kehidupan bermasyarakat kita sebagai umat islam tidak bisa mengelak untuk berhubungan dengan umat lain. Dalam pandangan syariat Islam, non muslim itu bisa di klasifikasikan menjadi dua macam, yaitu kafir harbi (ahlul harb) dan kafir zimmi (ahlu zimmah).  Kafir harbi adalah orang-orang kafir yang sedang terlibat pertempuran dengan muslimin. Darah mereka halal untuk di tumpahkan sebagaimana mereka pun punya hak untuk membunuh muslimin. Hubungan antara ahlul harb dengan muslimin memang hubungan bunuh membunuh di dalam wilayah konflik. Sedangkan kafir zimmi adalah non muslim yang aman, tidak menganggu pihak muslim.
Tampak bahwa pembagian diatas, kedua klasifikasi sangat tajam bedanya. Pada kenyataanya hubungan dengan non muslim tidak dapat dibedakan setajam itu. Berbagi variasi derajat ke-dzimmi-an terjadi pada masa kini. Ada yang 100% aman, ada yang kadang-kadang mengganggu ketentaraman orang Islam, sampai ada yang terang-terangan memusuhi umat islam (harbi).

Beberapa tingkatan dalam hubungan dengan non muslim yaitu:
a.  Non muslim yang tidak menganggu (dzimmi)
Non muslim seperti ini harus meapat perlindungan dari kominitas muslim, sesuai dengan prinsip ajaran islam yang rahmatan lil’alamin. Dia berhak mendapatkan izin tinggal dan menjadi penduduk didalam wilayah komunitas muslim dan umat islam dilarang mendzolami non muslim yang dzimmi.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang berarti: “Siapa yang menzalimi seorang mu’ahid (ahlu dzimmah), atau mengurangi haknya, atau membaninya diatas kemampuannya, atau mengambil darinya sesuatu di luar haknya, maka aku menjadi Lawannya dihari kiamat” (Hr Abu Daud).
b. Non muslim yang dzolim
Diakui apa tidak, ada (banyak) di antara orang-orang non muslim itu yang bersikap dzolim terhadap Islam. Mereka mendzolimi umat Islam dengan berbagi cara, dan menyakiti hati umat Islam, Seperti contoh kasus kartun nabi dan lin-lain. Umat Islam diperintahkan untuk berbuat adil, sehingga diberi hak untuk melakukan pembalasan yang adil jika di dzolimi.
Dalam Prinsip Islam, tidak ada filosof : “jika anda ditampar pipi kiri, berikan pipi kanan”. Filosofi ada adalah: Jika pipi kiri kita dilempar, maka tamper pulalah pipi kirinya, tetapi memberi maaf lebih utama. Kita umat Islam harus bereaksi dengan apa yang umat lain lakukan terhadap kita. Reaksi dapat berupa balasan (secara adil) atau memaafkan jika mereka mintak maaf. Dan percayalah bahwa Allah akan menyempurnakan pembalasannya di akherat nanti baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara mebnurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim..
c.Non muslim yang harbi
Seperti telah didefinisikan diatas, kafir harbi adalah orang-orng kafir yang terang-terangan memusuhi islam dan kaum muslimin. Kafir harbi ini berusaha menumpas kaum muslimin, sehingga terjadi pertempuran. Mereka menggempur Islam tdak hanyasecara fisik, tetapi bias juga secara nonfisik, seperti fitnah melalui media, pembunuhan karakter, membunuh secara ekonomi dan lain-lain. Jika yang melakukan ini adalah individu dan kemudian minta maaf, bolehlah kita nyatakan sebagai point 3.
Tetapi jika kaum non muslim ini melakukan permusuhan terhadap islam secara terus menerus, ini sudah termasuk kafir harbi yang harus diperangi. Perang wajib dilakukan dalam rangka mempertahankan aqidah islamiyah, dan membela agama Allah.ketika mereka berhenti (dari memusuhi islam), maka perang biasa dihentikan, dan tidak ada permusuhan (lagi).
Dan perangilah dijalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas
Cara Berdakwah Terhadap Non Muslim dan Muslim
Menyangkut keyakinan, agama. Bukanlakah islam memerintahkan kita untuk berdakwah, beramar makruf nahi munkar.
Sabda Rasulullah SAW:
“ Sampaikanlah apa yang kamu dapat dariku walaupun hanya satu ayat”
Kaum muslimin diperintahakan untuk berdakwah dikalangan non muslim (dan tentu saja dikalangan umat muslim juga) dengan cara yang bijaksana, melalui nasihat dan diskusi dengan cara yang terbaik.
Seperti yang diterangkan dalam QS an-Nahal:125 )
Artinya: “Serulah (manusa) kepada jalanTtuhan mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka  dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalanNya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”
Ketika Allah SWT mengutus Musa dan Harun Kepada Fir’aun maka Allah berfirman QS (Thaahaa:44)
Artinya: “ maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat dan takut:”
Tetapi jika mereka menolak, tidak ada perintah untuk memerangi mereka selama mereka tidak memerangi umat islam. Antara umat islam diperintahkan untuk berbuat adil terhadap mereka, sebagaimana firman Allah yang menjelaskan tentang. mengharamkan pemaksaan untuk masuk agama Islam buat orang-orang non muslim.
Tidak ada paksaan dalam agama, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat, karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allahj,maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah maha Mendengar lagi maha mengetahui.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam al-Qur’an (surat al-Kafirun: 1-6)
Artinya:  “Katakanlah” Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah,  Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah,. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah, Untuk mu lah  agama mu dan untuk ku lah agama ku”
Berdasarkan ayat diatas dapat diketahui bahwa agama islam bukanlah faktor yang menjadi penghambat dalam membina hubungan antara pemeluk agama.
Manfaat pemikiran peran dakwah
Dakwah berperan menghidupkan masyarakat pada suatu sektor pemikiran. Pemikiran adalah gerbang dan dasar perbaikan suatu masyarakat dan bangsa. Hal ini dikarenakan pemikiran akan membentuk prinsip-prinsip yang sangat diperlukan dalam membangun penataan pemikiran tentang kehidupan, dalam menjalankan peran ini dakwah selalu mewariskan gagasan dan ide yang  mulia.
Tidak ada agama yang dapat menghindari dakwah jika ia memiliki suatu kekuatan intelektual. Menolak dakwah berarti menolak kebutuhan untuk mendapatkan persetujuan orang lain terhadap apa yang diklaim sebagai kebenaran agama. Tidak menuntut persetujuan, berarti tidak serius dengan klaim itu.

dasar hikma dan kasih sayang. Dengan kata lain pendekatan dakwah harus bertumpuk pada suatu pandangan memanfaatkan penghargaan yang mulia atas diri manusia
Cara berdakwah terhadap muslim dan non muslim sebagaimana telah dinyatakan oleh Allah dalam firman-Nya yang berbunyi QS (An-Nahl :125)
 Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan tuhan mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka  dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentag siapa yang tersesat dari jalanNya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”
Tetapi jika mereka menolak, tidak ada perintah untuk memerangi mereka selama mereka tidak memerangi umat islam. Antara umat islam diperintahkan untuk berbuat adil terhadap mereka, sebagaimana firman Allah yang menjelaskan tentang. mengharamkan pemaksaan untuk masuk agama Islam buat orang-orang non muslim.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
a. Subyek dakwah adalah orang yang melakukan dakwah (yang dalam Bahasa Arab disebut da’i)  baik dalam bentuk lisan, tulisan, maupun dalam bentuk perbuatan yang dilakukan secara individu, maupun kelompok (jama’ah).
b.Subyek dakwah dalam pengertian yang luas tidak hanya terletak di pundak para ustaz, kiyai, atau ulama, tetapi terletak di pundak semua umat Islam. Namun secara khusus, orang yang seharusnya berperan lebih intensif sebagai da’i adalah mereka yang memang mempunyai profesi ataupun memang secara sengaja mengkonsentrasikan dirinya dalam tugas menggali mutiara-mutiara ilmu serta ajaran agama Islam untuk disampaikan kepada orang lain.
 Setidaknya ada tiga syarat seorang da’i:
1.      Syarat yang Menyangkut Jasmaniyah
2.      Syarat yang Menyangkut Ilmu Pengetahuan
3.      Syarat yang Menyangkut Kepribadian (Rohaniah)
Tujuan da’i:
1.      Meluruskan aqidah
2.      Mendorong dan merangsang orang untuk giat beramal sālih
3.      Membersihkan dan menyucikan jiwa

Fungsi da’i:
1.      Sebagai pemimpin, karena dia adalah penyeru kepada kebajikan dan orang yang mencegah kemunkaran. Dalam kaitan ini, da’i dituntut untuk bisa menjadi uswah hasanah bagi umat.
2.      Sebagai mujahid, artinya sebagai pejuang dan penegak ajaran Allah. Dalam hal ini da’i dituntut berjiwa besar dan mampu membesarkan jiwa orang lain.
3.      Sebagai obyek, karena da’i selain sebagai penyeru kebajikan kepada orang lain, dia juga harus menyeru dirinya sendiri supaya berbuat kebajikan dan menjauhi kemunkaran.
4.      Sebagai pembawa misi yaitu pembawa amanah Allah.
5.       Sebagai pembangun, yaitu pembawa perubahan ke arah yang lebih baik.
Objek dakwah atau disebut dengan Mad'u adalah orang yang menjadi sasaran dakwah, yaitu semua manusia tanpa pandang buluh, sebagaimana firman ALLAH SWT :
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُون
Artinya :''Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa kabar gembira dan sebagai pemberi peringatan , tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (Q.S.As-Saba' :28)
Sasaran dari dakwah adalah:
1.  Kaum cendikiawan. Kelompok ini pada umumnya mudah menerima kebenaran, karena itu pendekatan dakwah yang tepat bagi mereka adalah cukup dengan menggunakan ilmu, amal, dan penjelasan aqidah.
2.  Kaum yang mengakui dan menerima kebenaran, tapi mereka sering kali lali dan mengikuti hawa nafsunya. Kelompok ini umumnya sulit untuk menerima dan mengikuti kebenaran. Cara dakwah yang tepat untuk  mereka adalah dengan menggunakan nasehat yang baik, termasuk di dalmnya pemberian motivasi dan ancaman.
3.  Kaum yang keras hati (penentang) orang-orang yang semacam ini harus dihadapi dengan mujadalah yang baik.
4.  Kaum penentang dan zhalim. Untuk menghadapi mereka pertama-tama kita gunakan teknik bermujadallah secara baik. Namun jika cara ini tidak berhasil maka kita boleh menggunakan kekuatan Rasulullah senantiasa menggunakan ilmu sesuatu dengan situasi dan kondisi masyarakat penerimanya. Begitupun nasihat, mujadallah dan kekuatan selalu beliau lakukan secara tepat sesuai dengan kebutuhannya.


Daftar Pustaka
Drs. RB. Khatib Pahlawan kayo, 2007, Manajemen Dakwah dari Dakwah Konvensional menuju Dakwah professional, Amzah, Jakarta.
Dr. H.M. Anton Athoillah, M.M., 2010, Dasar-dasar Manajemen, CV Pustaka Setia, Bandung.
Drs. Enjang AS, M.Ag., M.Si. dan Aliyudin, S.Ag., M.Ag., 2009, Dasar-dasar Ilmu Dakwah, Widya Padjadjaran, Bandung.
Drs. ABD. Rosyad Shaleh, 1977, Manajemen Dakwah Islam, Bulan Bintang, Jakarta.
Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag., 2009, Ilmu Dakwah, Kencana, Bandung
Munir, S.Ag, M.A. dan Wahyu Illaihi, S.Ag, M.A., 2009, Manajemen Dakwah, Kencana, Jakarta.
Habib, Syafaat, 1982, Buku Pedoman Dakwah, Penerbit Widjaya, Jakarta.
Mubarok Achmad, DR. MA., 1999, Psikologi Dakwah, Pustaka Firdaus, Jakarta.
Munzier Suparta dan Harjani, 2003, Metode Dakwah, Rahmat Semesta, Jakarta.
Ali Azis, Moh, 2004, Ilmu Dakwah, Timur Kencana, Jakarta.
Fauzi, Nurullah, 1999, Dakwah-dakwah yang paling mudah, Putra pelajar, Jawa Timur.
Jahja Omar, Toha, 1992, Ilmu Dakwah, Widjaya, Jakarta.


No comments:

Post a Comment