Thursday, November 27, 2014

Pembelajaan yang berpijak dari teori belajar behavioristik dan implikasinya dalam PAI



Pembelajaan yang berpijak dari teori belajar behavioristik dan       implikasinya dalam PAI

Makalah ini dibuat untuk belajar






                                                                                               nama   : fitrah nurmansyah
                                                                                               Nim        : 13110273
                                                                                               Kelas  : pai,a


BAB I
PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan dunia yang penuh dengan perkembangan. Dalam dunia pendidikan teori dan praktik pendidikan dipengaruhi oleh aliran filsafat pendidikan.
Aliran filsafat pendidikan yang memengaruhi arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dewasa ini adalah aliran behavioristik dan kognitif-konstruktivistik. Aliran behavioristik menekankan terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar, sedangkan aliran kognitif-konstruktivistik lebih menekankan pembentukan perilaku internal yang sangat memengaruhi perilaku yang tampak itu. Teori behavioristik dengan model hubungan Stimulus-Response (S-R) mendudukkan pebelajar pada posisi pasif. Respon (perilaku) tertentu dapat dibentuk karena dikondisikan dengan cara tertentu, menggunakan metode drill (pembiasaan) semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement (dorongan), dan akan menghilang bila dikenakan hukuman. Hubungan S-R, individu pasif, perilaku yang tampak, pembentukan perilaku dengan penataan kondisi secara ketat, reinforcement dan hukuman merupakan unsur-unsur terpenting dalam teori behavioristik.
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks. Selain itu pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama.
Dalam makalah in akan membahas terkait pengertian, tokoh, teori dan penerapan teori behavioristik.














BAB II
PEMBAHASAN

1.     Teori Belajar Aliran Behavioristik
Pandangan tentang belajar menurut aliran tingkahlaku, tidak lain adalah perubahan dalam tingkahlaku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Atau dengan kata lain, belajar adalah perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respons.[1] Pendapat para ahli mengenai teori beajar behaviouristik ini antara lain:
1.     J.B. Watson: Conditioning Reflect
John B. Watson (1878-1958) menggunakan penemuan Pavlow sebagai suatu dasar untuk teori belajarnya. Watson percaya bahwa belajar adalah suatu proses dari conditioning reflect (respon) melalui pergantian dari suatu stimulus kepada yang lain. Menurut Watson, manusia dilahirkan dengan beberapa reflek dan reaksi emosi, ketakutan, cinta, dan marah. Semua tingkah laku dikembangkan oleh pembentukan hubungan S-R baru melalui conditioning.[2]
Menurut Watson, stimulus dan respon harus berbentuk tingkah laku yang “bisa diamati” (observable). Dengan kata lain, Watson mengabaikan berbagai perubahan mental yang mungkin terjadi dalam belajar dan menganggapnya sebagai faktor yang tidak perlu diketahui. Bukan berarti semua perubahan mental yang terjadi dalam benak siswa tidak penting. Semua itu penting, akan tetapi faktor-faktor tersebut tidak bisa menjelaskan apakah proses belajar sudah terjadi atau belum. Hanya dengan asumsi demikianlah, menurut Witson dapat diramalkan perubahan apa yang akan terjadi pada siswa.
1.     Clark Hull
Clark hull mengemukakan konsep pokok teorinya yang sangat dipengaruhi oleh teori evolusinya Charles Darwin. Bagi hull tingkah laku seseorang berfungsi untuk menjaga kelangsungan hidup. Menurut Hull, kebutuha dikonsepkan sebagai dorongan (drive), seperti lapar, haus, tidur, hilangnya rasa nyeri, dan sebagainya. Stimulus hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis ini, meskipun respon mungkin bermacam-macam bentuknya.
1.     Edwin Guthrie
Edwin Guthrie mengemukakan teori kontiguiti yang memandang bahwa belajar merupakan kaitan asosiatif antara stimulus tertentu dan respons tertentu. Hubungan antara stimulus dan respon merupakan faktor kritis dalam belajar. Oleh karena itu diperlukan pemberian stimulus yang sering agar hubungan menjadi lebih langgeng. Selain itu, suatu respon akan lebih kuat (dan bahkan menjadi kebiasaan) apabila respon tersebut berhubungan dengan berbagai macam stimulus.
Guthrie juga mengemukakan bahwa “hukuman” memegang peranan penting dalam proses belajar. Menurutnya suatu hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah kebiasaan seseorang. Sebagai contoh, seorang anak perempuan yang setiap kali pulang dari sekolah, selalu mencampakkan baju dan topinya dilantai. Kemudian ibunya menyuruh agar baju dan topi dipakai kembali oleh anaknya, lalu kembali keluar, dan masuk rumah kembali sambil menggantungkan topi dan bajunya ditempat gantungannya. Setelah beberapa kali melakukan hal itu, respon menggantung topi dan baju menjadi terasosiasi dengan stimulus memasuki rumah. Meskipun dengan demikian faktor hukuman tidak lagi dominan dalam teori-teori tingkah laku.
1.     B.F. Skinner: Operant Conditioning
Menurut Skinner, diskripsi hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan tingkah laku (dalam hubungannya dengan lingkungan) menurut versi Watson tersebut adalah deskripsi yang tidak lengkap. Respon yang diberikan siswa tidak sesederhana itu, sebab pada dasarnya stimulus yang diberikan berinteraksi satu dengan lainnya, dan interaksi ini pada akhirnya mempengaruhi respon yang dihasilkan. Sedangkan respon yang diberikan juga menghasilkan berbagai konsekuensi, yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkah laku siswa.
Oleh karena itu, untuk memahami tingkah laku siswa secara tuntas, diperlukan pemahaman terhadap respon itu sendiri, dan berbagai konsekuensi yang diakibatkan oleh respon tersebut. Skinner juga menjelaskan bahwa menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih rumit, sebab “alat” itu akhirnya juga harus dijelaskan lagi. Misalnya apabila dikatakan bahwa “seorang siswa berprestasi buruk sebab siswa ini mengalami frustasi” akan menuntut perlu dijelaskan “apa itu frutasi”. Penjelasan tentang frustasi ini besar kemungkinan akan memerlukan penjelasan lain. Begitu seterusnya.[3]
Menurut  skinner dalam kondisioning operan ada dua prinsip umum, yaitu:
1.     Setiap respon yang diikuti oleh reward (merupakan reinforcing stimuli) akan cenderung diulangi.
2.     Rewars yang merupakan reinforcing stimuli akan meningkatkan kecepatan terjadinya respon.[4]

1.     E.L. Thorndike: The law of effect
Teorinya dikenal sebagai connectionism (pertautan, pertalian) karena dia berpendapat bahwa belajar adalah suatu proses “stamping in” (diingat), forming, hubungan antara stimulus dan respon.
Thorndike mengembangkan teorinya dari penelitian yang intensif pada binatang. Salah satu penelitiannya menggunakan kucing yang ditempatkan di “puzzle box”, kurungan kecil dengan pintu yang akan terbuka jika kucing menarik tali yang tergantung di dalam kurungan. Tugas kucing ialah keluar dari kurungan untuk mendapatkan makanan yang ditempatkan diluar kurungan. Mula-mula kucing akan berjalan sekeliling kurungan, mencakar-cakar lantai, meloncat ke kiri-kanan hingga sampai pada gerakan yang tidak sengaja dia menarik tali pembuka pintu kurungan. Thorndike mengulang percobaan ini beberapa kali, kucing masih lari sekitar kandangnya, tetapi manarik tali lebih cepat. Setelah beberapa cobaan, kucing memusatkan tingkahlakunya di sekeliling tali, akhirnya menarik tali, pintu terbuka dan mendapatkan makanan.
Teori belajar thorndike mengarah pada sejumlah praktik pendidikan. Saran umum bagi guru adalah tahu apa yang hendak diajarkan, respon apa yang diharapkan, dan kapan harus memberikan hadiah atau penguat.
1.     Ivan Pavlow: Classical Conditioning
Ivan pavlow (1849-1936) tidak sengaja sampai pada penemuan terhadap fenomena belajar selama dalam praktik dengan anjing dalam laboratoriumnya. Pavlow mengidentifikasi makanan sebagai unconditioned stimulus (US) dan air liur sebagai unconditioned respons (UR) atau respon tak bersyarat. Unconditioned stimulus (US) atau perangsang tak bersyarat atau perangsang alami, yaitu perangsang yang secara alami dapat menimbulkan respon tertentu, misalnya makanan bagi anjing dapat menimbulkan air liur. Perangsang bersyarat atau conditoned stimulus (CS), yaitu perangsang yang secara alami tidak dapat menimbulkan respon tertentu, tetapi melalui proses persyaratan dapat menimbulkan respon tertentu, misalnya suara lonceng yang dapat menimbulkan keluarnya air liur.[5]

1.     Prinsip-Prinsip dalam Teori Behavioristik
1.Perilaku nyata dan terukur memiliki makna tersendiri, bukan sebagai perwujudan dari jiwa atau mental yang abstrak
2.Aspek mental dari kesadaran yang tidak memiliki bentuk fisik adalah pseudo problem untuk sciene, harus dihindari.
3.Penganjur utama adalah Watson : overt, observable behavior, adalah satu-satunya subyek yang sah dari ilmu psikologi yang benar.
4.Dalam perkembangannya, pandangan Watson yang ekstrem ini dikembangkan lagi oleh para behaviorist dengan memperluas ruang lingkup studi behaviorisme dan akhirnya pandangan behaviorisme juga menjadi tidak seekstrem Watson, dengan mengikutsertakan faktor-faktor internal juga, meskipun fokus pada overt behavior tetap terjadi.
5.Aliran behaviorisme juga menyumbangkan metodenya yang terkontrol dan bersifat positivistik dalam perkembangan ilmu psikologi.
6.Banyak ahli membagi behaviorisme ke dalam dua periode, yaitu behaviorisme awal dan yang lebih belakangan.

1.     Penerapan Tingkah Laku Di Dalam Kelas:
Mengembangkan Suatu Program Pengubahan Tingkah Laku
1.     Langkah dasar untuk pengubahan tingkah laku
1.     Mendefinisikan dan menyatakan secara operasional tingkah laku yang dapat diubah
2.     Memperoleh suatu gambaran dari tingkah laku tingkat operant dimana kita mempertimbangkan untuk mengubah
3.     Mengatur situasi belajar atau situasi perlakuan sehingga tingkah laku yang kita inginkan terjadi
4.     Mengidentifikasi reinforcer yang potensial
5.     Membentuk dan/atau memperkuat tingkah laku yang diinginkan, dan jika perlu menggunakan prosedur memperlemah tingkah laku yang tidak tepat
6.     Menyusun catatan dari tingkah laku yang diperketat untuk menentukan apakah penguatan atau frekuensi dari respons bertambah[6]

1.     Teori Pembelajaran Sosial
Bandura mengemukakan bahwa siswa belajar melalui meniru. Pengertian meniru disini bukan berarti menyontek, tetapi meniru hal-hal yang dilakukan oleh orang lain, terutama guru. Jika tulisan guru baik, guru berbicara sopan santun dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar, tingkahlaku yang terpuji, menerangkan dengan jelas dan sistematik, makasiswa akan menirunya. Jika contoh-contoh yang dilihatnya kurang baik ia pun menirunya. Dengan demikian guru harus menja dimanusia model yang profesional.
Bandura memandang tingkah laku manusia bukan semata-mata refleks otomatis atas stimulus, melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif manusia itu sendiri. Teori belajar sosial dari Bandura ini merupakan gabungan antara teori belajar behavioristik dengan penguatan dan psikologi kognitif, dengan prinsip modifikasi perilaku.
Teori Belajar Sosial (Social Learing Theory) dari Bandura didasarkan pada tiga konsep, yaitu:
1.     Reciprocal determinism
Pendekatan yang menjelaskan tingkahlaku manusia dalam bentuk interaksi timbal-balik yang terus menerus antara kognitif, tingkahlaku dan lingkungan. Orang menentukan/ mempengaruhi tingkahlakunya dengan mengontrol lingkungan, tetapi orang itu juga dikontrol oleh kekuatan lingkungan itu.
1.     Beyond reinforcement
Bandura memandang teori Skinner dan Hull terlalu bergantung pada reinforcement. Jika setiap unit respon sosial yang kompleks harus dipilah-pilah untuk direforse satu persatu, bisa jadi orang malah tidak belajar apapun. Menurutnya, reinforcemet penting dalam menentukan apakah suatu tingkahlaku akan terus terjadi atau tidak, tetapi itu bukan satu-satunya pembentuk tingkahlaku. Orang dapat belajar melakukan sesuatu hanya dengan mengamati dan kemudian mengulang apa yang dilihatnya. Belajar melalui observasi tanpa adareinforcement  yang terlibat, berarti tingkahlaku ditentukan oleh antisipasi konsekuensi.
1.     Self-regulation/ cognition
Teori belajar tradisional sering terhalang oleh ketidaksenangan atau ketidak mampuan mereka untuk menjelaskan proses kognitif. Konsep bandura menempatkan manusia sebagai pribadi yang dapat mengatur dirisendiri (self regulation), mempengaruhi tingkahlaku dengan cara mengatur ingkungan, menciptakan dukungan kognitif, mengadakan konsekuensi bagi tingkahlakunya sendiri.

Prinsip dasar belajar sosial (social learning) adalah:
1.     Sebagian besar dari yang dipelajari manusia terjadi melalui peniruan (imitation), dan penyajian contoh perilaku (modeling).
2.     Dalam hal ini, seorang siswa mengubah perilaku sendiri melalui penyaksian cara orang/sekelompok orang yang mereaksi/merespon sebuah stimulus tertentu.
3.     Siswa dapat mempelajari respons-respons baru dengan cara pengamatan terhadap perilaku contoh dari orang lain, misalnya: guru/orang tuanya. Pendekatan teori belajar sosial terhadap proses perkembangan sosial dan moral siswa ditekankan pada perlunya pembiasaan merespons (conditioning) danpeniruan (imitation).

Langkah-langkah belajar sosial (social learning) adalah:
1.     Conditioning.
Dalam belajar mengembangkan perilaku social dan moral pada dasarnya sama dengan belajar untuk mengembangkan perilaku-perilaku lainnya, yakni perlunya hadiah/ganjaran (reward), dan hukuman (punishment).
1.     Imitation.
Orang tua dan guru seyogyanya memainkan peranan penting sebagai seorang model/ tokoh yang dijadikan contoh berperilaku sosial dan moral bagi siswa. Contoh: mula-mula seorang siswa mengamati model gurunya sendiri yang sedang melakukan sebuah aktivitas sosial, umpamanya menerima tamu, lalu perbuatan menjawab salam, berjabat tangan, beramah-tamah, dan seterusnya yang dilakukan model itu diserap oleh memori siswa tersebut
Di tahun 1941, dua orang psikolog – Neil Miller dan John Dollard – dalam laporan hasil percobaannya mengatakan bahwa peniruan (imitation) di antara manusia tidak disebabkan oleh unsur instink atau program biologis. Penelitian kedua orang tersebut mengindikasikan bahwa kita  belajar (learn) meniru perilaku orang lain. Artinya peniruan tersebut merupakan hasil dari satu proses belajar, bukan bisa begitu saja karena instink. Proses belajar tersebut oleh Miller dan Dollard dinamakan “social learning ” – “pembelajaran sosial”. Perilaku peniruan (imitative behavior) kita terjadi karena kita merasa telah memperoleh imbalan ketika kita meniru perilaku orang lain, dan memperoleh hukuman ketika kita tidak menirunya. Agar seseorang bisa belajar mengikuti aturan baku yang telah ditetapkan oleh masyarakat maka “para individu harus dilatih, dalam berbagai situasi, sehingga mereka merasa nyaman ketika melakukan apa yang orang lain lakukan, dan merasa tidak nyaman ketika tidak melakukannya.”, demikian saran yang dikemukakan oleh Miller dan Dollard.
Dalam penelitiannya, Miller dan Dollard menunjukan bahwa anak-anak dapat belajar meniru atau tidak meniru seseorang dalam upaya memperoleh imbalan berupa permen. Dalam percobaannya tersebut, juga dapat diketahui bahwa anak-anak dapat membedakan orang-orang yang akan ditirunya. Misalnya jika orang tersebut laki-laki maka akan ditirunya, jika perempuan tidak. Lebih jauh lagi, sekali perilaku peniruan terpelajari (learned), hasil belajar ini kadang berlaku umum untuk rangsangan yang sama. Misalnya, anak-anak cenderung lebih suka meniru orang-orang yang mirip dengan orang yang sebelumnya memberikan imbalan. Jadi, kita mempelajari banyak perilaku “baru” melalui pengulangan perilaku orang lain yang kita lihat.  Kita contoh perilaku orang-orang lain tertentu, karena  kita mendapatkan imbalan atas peniruan tersebut dari orang-orang lain tertentu tadi dan juga dari mereka yang mirip dengan orang-orang lain tertentu tadi, di masa lampau.
Dua puluh tahun berikutnya, Albert Bandura dan Richard Walters (1959, 1963), mengusulkan satu perbaikan atas gagasan Miller dan Dollard tentang belajar melalui peniruan. Bandura dan Walters menyarankan bahwa kita belajar banyak perilaku melalui peniruan, bahkan tanpa adanya penguat (reinforcement) sekalipun yang kita terima. Kita bisa meniru beberapa perilaku hanya melalui pengamatan terhadap perilaku model, dan akibat yang ditimbulkannya atas model tersebut. Proses belajar semacam ini disebut “observational learning” – pembelajaran melalui pengamatan. Contohnya, percobaan Bandura dan Walters mengindikasikan bahwa ternyata anak-anak bisa mempunyai perilaku agresif hanya dengan mengamati perilaku agresif sesosok model, misalnya melalui film atau bahkan film karton.
1.     Aplikasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yang sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidak mampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.

1.     Implikasi Teori Belajar Sosial Dalam Pembelajaran
Teori belajar sosial memiliki banyak implikasi untuk penggunaan di dalam kelas, yaitu:
1.     Siswa sering belajar banyak hanya dengan mengamati orang lain, yaitu guru.
2.     Menggambarkan konsekuensi perilaku yang dapat secara efektif meningkatkan perilaku yang sesuai dan menurunkan yang tidak pantas. Hal ini dapat melibatkan berdiskusi dengan pelajar tentang imbalan dan konsekuensi dari berbagai perilaku.
3.     Modeling menyediakan alternative untuk membentuk perilaku baru untuk mengajar. Untuk mempromosikan model yang efektif, seorang guru harus memastikan bahwa empat kondisi esensial ada, yaitu perhatian, retensi, motor reproduksi, dan motivasi,
4.     Guru dan orang tua harus menjadi model perilaku yang sesuai dan berhati-hati agar mereka tidak meniru perilaku yang tidak pantas,
5.     Siswa harus percaya bahwa mereka mampu menyelesaikan tugas-tugas sekolah. Sehingga sangat penting untuk mengembangkan rasa efektivitas diri untuk siswa. Guru dapa tmeningkatkan efektivitas diri seperti itu dengan memiliki rasa percaya diri siswa memperlihatkan pengalaman orang lain menjadi sukses, dan pengalaman sukses mereka sendiri.
6.     Guru harus membantu siswa menetapkan harapan yang realistis untuk prestasi akademiknya. Pada umumnya di kelas yang berarti memastikan bahwa harapan tidak diatur terlalu rendah.
7.     Teknik pengaturan diri menyediakan metode yang efektif untuk meningkatkan perilaku siswa.



BAB III
PENUTUP
              Teori behavioristik merupakan teori yang menggunakan hubungan stimulus-responnya dan menganggap orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Diantara tokoh-tokoh aliran behavioristik, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons, merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.
Metode behavioristik ini sesuai untuk perolehan kemampaun yang membuthkan praktek dan pembiasaan juga sesuai diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang dewasa.


DAFTAR PUSTAKA

Hamzah B Uno. 2006. Orientasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.
Sri Esti Wuryani Djiwandono. 2006.  Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Gramedia Widasarana Indonesia.
Bimo Walgito. 2004.  Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi.



[1] Hamzah B Uno, Orientasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), hal. 7.
[2] Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Gramedia Widasarana Indonesia, 2006), hal. 129.
[3]Ibid, Hamzah B Uno, Orientasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran, hal. 7-9.
[4]Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, (Yogyakarta: Andi, 2004), hal. 172.
[5]Ibid,Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikologi Pendidikan, hal. 126-129.
[6]Ibid,

















Analisis Kajian Teori Belajar Terhadap Implikasi Pembelajaran di Sekolah Dasar

1.1 Teori Belajar Behavioristik
Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Perubahan perilaku tersebut dapat berwujud sesuatu yang konkret atau yang non konkret, berlangsung secara mekanik memerlukan penguatan. Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, menganggap orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan pendidik kepada peserta didik, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan peserta didik terhadap stimulus yang diberikan oleh pendidik tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh pendidik (stimulus) dan apa yang diterima oleh peserta didik (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan(reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.
Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: 
a.      Reinforcement and Punishment; 
b.      Primary and Secondary Reinforcement; 
c.       Schedules of Reinforcement; 
d.      Contingency Management;
e.       Stimulus Control in Operant Learning; 
f.       The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).
Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner.

1.1.1 Analisis Teori Belajar Behavioristik Terhadap Pembelajaran
Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang peserta didik dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hierarki, dari yang sederhana sampai yang komplek.
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi peserta didik, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan peserta didik untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa peserta didik menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang mempengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang peserta didik perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika peserta didik tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan peserta didik (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong peserta didik untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.
1.1.2 Implikasi Teori Belajar Behavioristik di Kelas
Dalam menerapkan teori behavioristik terdapat beberapa prinsip kuat yang mendasarinya, diantaranya yaitu:
a.       Mementingkan pengaruh lingkungan (faktor eksternal)
b.      Mementingkan bagian-bagian
c.       Mementingkan peranan reaksi
d.      Mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar melalui prosedur stimulus (S) respon (R)
e.       Mementingkan peranan kemampuan yang sudah terbentuk sebelumnya
f.       Mementingkan pembentukan kebiasaan melalui latihan dan pengulangan
g.      Hasil belajar yang dicapai adalah munculnya perilaku yang diinginkan.
Berdasarkan teori-teori yang sudah dikemukakan, para pendidik yang menggunakan paradigma behaviorisme akan menyusun bahan ajar secara matang, sehingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai peserta didik disampaikan secara utuh oleh pendidik. Pendidik harus memberikan stimulus sebanyak-banyaknya agar peserta didik melakukan respon positif, selain itu seorang pendidik juga harus mampu memilah dan memilih stimulus yang bisa menyentuh perhatian peserta didik yang tidak kalah pentingnya dalam menyusun bahan ajar harus disusun secara hierarki dari yang paling sederhana sampai pada hal yang kompleks .
Kurikulum yang berorientasi pada aliran behaviorisme harus sudah menggambarkan perincian tentang apa-apa yang hendak disajikan kepada peserta didik. Kurikulum harus dikristalisasikan dalam satuan acara pembelajaran (SAP) yang dirancang sedemikian rupa sebelum proses pembelajaran dimulai.
Ketika menentukan tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu keterampilan tertentu atau kompetensi dasar (KD), dan indikator-indikator yang berorientasi padatujuan pembelajaran yang ingin dicapai dan harus dapat diukur. Kesalahan harus segera diperbaiki. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori behavioristik ini adalah tebentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif. Evaluasi atau penilaian didasari atas perilaku yang tampak.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, keterampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila peserta didik menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan pendidik, hal ini menunjukkan bahwa peserta didik telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan peserta didik secara individual.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi peserta didik untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya peserta didik kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.

1.2 Teori Belajar Humanistik
Tokoh pelopor teori belajar Humanisme antara lain Abraham Maslow dan Carl Rogers. Maslow meyakini bahwa belajar merupakan kebutuhan akan perkembangan motivasi. Dalam mencapai sesuatu manusia tidak akan pernah puas,rasa puas hanya terjadi sesaat saja sehingga manusia mencari peluang lain untuk menutupi kebutuhannya. Menurut Maslow, puncak kebutuhan yang sekaligussebagai ukuran keberhasilan individu ialah berhasil dalam mengaktualisasikan diri dalam dunianya (Agus Taufik, 2007: 6.6). Sementara Carl Rogers seorang ahli bimbingan konseling dengan teori client centered -nya berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang rasional,sosialis, ingin maju dan realistis sehingga manusia memiliki potensi untuk tumbuh dengan aktual serta memiliki martabat yang tinggi. Rogers menempatkan manusia secara manusiawi dalam martabat kemanusiannya. Bagi Rogers, pendidik merupakan fasilitator yang memungkinkan peserta didik paham akan sesuatu hal. Selain itu, dalam membimbing perlu diberinya kebebasan.

1.2.1 Analis Teori Belajar Humanistik Terhadap Pembelajaran
Tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika pelajar telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Peserta didik dalam proses belajarnya harus berusaha, agar lambat laun mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya.(Sugihartono, dkk).
Tujuan belajar ini ingin memperbaiki sikap para pendidik yang dinilai membunuh karakter peserta didik. Masih banyak para pendidik yang memberikan label jelek pada peserta didik, seperti anak bodoh, anak nakal, peserta didik bandel, atau julukan negatif yang lainnya. Dengan teori belajar humanistik, diharapkan kita dapat mengubah paradigma tersebut dan lebih memanusiakan peserta didik.
Tujuan utama para pendidik ialah membantu peserta didik untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada pada diri mereka. (Sugihartono, dkk). Perbedaan kecepatan belajar bukan lagi menjadi alasan pendidik untuk meninggalkan peserta didik dengan kecepatan belajar rendah. Hasil akhir dari pembelajaran yang diinginkan adalah ketercapaian kompetensi pembelajaran secara menyeluruh.
Manusia adalah subjek/pribadi yang memiliki cipta, rasa, karsa yang mengerti dan menyadari akan keberadaan dirinya yang dapat mengatur, menentukan, dan menguasai dirinya, memiliki budi dan kehendak, memiliki dorongan untuk mengembangkan pribadinya menjadi lebih baik dan lebih sempurna. (Driyarkara). Pendidik menjadi fasilitator dan motivator agar peserta didik dapat mengembangkan cipta, rasa, dan karsa yang telah dimilikinya. Pendidik yang fasilitatif memiliki beberapa cirri, diantaranya:
·         Merespon perasaan peserta didik,
·         Menggunakan ide-ide peserta didik untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang,
·         Berdialog dan berdiskusi dengan peserta didik,
·         Menghargai peserta didik,
·         Menyesuaikan antara kata dengan perbuatan,
·         Menyesuaikan isi kerangka berpikir peserta didik, dan
·         Tersenyum kepada peserta didik.

1.2.2 Implikasi Teori Belajar Humanistik di Kelas
Pandangan kalangan humanisme tentang proses belajar mengimplikasikan perlunya penataan peran tenaga kependidikan dan prioritas pendidikan (AgusTaufik, 2007: 6.21). Teori ini meyakini bahwa pendidik adalah fasilitator bukan sebagai pendidik belaka. Artinya, pendidik harus bisa memfasilitasi tumbuhnya motivasi belajar dalam diri peserta didik, bukannya berpusat pada proses pembelajaran. Peserta didik harus diberi kesempatan untuk mengeksplorasi dan mengembangkan kesadaran dirinya untuk perkembangan aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik agar peserta didik bisa lebih menguasai informasi ataupengetahuan. Pendidik berperan sebagai fasilitator, bukan berarti ia harus pasif,akan tetapi justru pendidik harus berperan aktif dalam suatu proses pembelajaran (Agus Taufik, 2007: 6.21). Menurut Rogers seorang pendidik harusberperan aktif dalam hal-hal berikut ini.
a.       Membantu menciptakan iklim kelas yang kondusif dan sikap positif terhadap pembelajaran.
b.      Membantu peserta didik mengklasifikasikan tujuan belajar dengan caramemberikan kesempatan kepada peserta didik secara bebas menyatakanapa yang ingin mereka pelajari.
c.       Membantu peserta didik mengembangkan dorongan dengan tujuannyasebagai kekuatan pembelajaran.
d.      Menyediakan sumber-sumber belajar.
Belajar bermakna terjadi jika kebutuhan peserta didik disertai motivasi instrinsik dapat terpenuhi. Selain itu kurikulum juga tidak bersifat kaku. Pendidik harus arif dan paham betul atas keunikan peserta didik. Rogers menyarankan agar terciptanya iklim kelas yang memungkinkan terjadinya belajar bermakna perlu dilakukan hal-hal berikut:
·         Terimalah peserta didik apa adanya;
·         Kenali dan bina minat peserta didik melalui penemuannya terhadap dirisendiri;
·         Usahakan sumber belajar yang mungkin dapat diperoleh peserta didik untuk dapat memilih dan menggunakannya;
·         Gunakan pendekatan inquiry-discovery;
·         Tekankan pentingnya penilaian diri sendiri dan biarkan peserta didik mengambil tanggung jawab untuk memenuhi tujuan belajarnya.
Langkah-langkah umum yang biasa dilakukan dalam pengaplikasian teori pembelajaran humanistik di kelas adalah:
·         Pendidik merumuskan tujuan belajar yang jelas;
·         Pendidik mengusahakan partisipasi aktif peserta didik melalui kontrak belajar yang bersifat: jelas, jujur, dan positif;
·         Pendidik mendorong peserta didik untuk mengembangkan kesanggupannya untuk belajar atas inisiatif sendiri;
·         Pendidik mendorong peserta didik untuk bebas mengemukaan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dari perilaku yang ditunjukkan;
·         Pendidik merumuskan tujuan belajar yang jelas;
·         Pendidik mengusahakan partisipasi aktif peserta didik melalui kontrak belajar yang bersifat: jelas, jujur, dan positif;
·         Pendidik mendorong peserta didik untuk mengembangkan kesanggupannya untuk belajar atas inisiatif sendiri;
·         Pendidik mendorong peserta didik untuk bebas mengemukaan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dari perilaku yang ditunjukkan;

1.3 Teori Belajar Kognitivistik
Teori Kognitif, dikembangkan oleh Jean Piaget, seorang psikolog Swiss yang hidup tahun 1896-1980. Teorinya memberikan banyak konsep utama dalam lapangan psikolog perkembangan dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep kecerdasan, yang bagi Piaget, berarti kemampuan untuk secara lebih tepat merepresentasikan dunia dan melakukan operasi logis dalam representasi konsep yang berdasar pada kenyataan. Teori ini membahas munculnya dan diperolehnya schemata -skema tentang bagaimana seseorang mempersepsi lingkungannya-dalam tahapan-tahapan perkembangan, saat seseorang memperoleh cara baru dalam merepresentasikan informasi mental.Teori ini digolongkan ke dalam konstruktivisme, yang berarti, tidak seperti teori nativisme (yang menggambarkan perkembangan kognitif sebagai pemunculan pengetahuan dan kemampuan bawaan), teori ini berpendapat bahwa kita membangun kemampuan kognitif kita melalui tindakan yang termotivasi dengan sendirinya terhadap lingkungan.
Menurut teori ini, belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan persepsi dan pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan tingkah laku yang bisa diamati. Asumsi dasar teori ini adalah setiap orang telah memiliki pengalaman dan pengetahuan dalam dirinya. Pengalaman dan pengetahuan ini tertata dalam bentuk struktur kognitif. Menurut teori ini proses belajar akan berjalan baik bila materi pelajaran yang baru beradaptasi secara klop dengan struktur kognitif yang telah dimiliki oleh peserta didik.
Prinsip kognitif banyak dipakai di dunia pendidikan, khususnya terlihat pada perencanaan suatu sistem instruksional, prinsip-prinsip tersebut antara lain:
a.       Seseorang yang belajar akan lebih mampu mengingat dan memahami sesuatu apabila pelajaran tersebut disusun berdasarkan pola dan logika tertentu
b.      Penyusunan materi pelajaran harus dari sederhana ke kompleks
c.       Belajar dengan memahami akan jauh lebih baik dari dengan hanya menghafal tanpa pengertian penyajian
Model teori belajar kognitif yang banyak diterapkan dalam dunia pendidikan adalah model belajar penemuan dari Brunner, model belajar bermakna dari Ausebel, model pemrosesan informasi dan jenis peristiwa pembelajaran dari Rober Gagne, dan model "perkembangan intelektual" dari Jean Piaget.

1.3.1 Analisis Teori Belajar Kognitivisme Terhadap Pembelajaran
Teori ini sangat baik untuk kemajuan intelektual peserta didik. Tetapi peserta didik menjadi miskin kepribadian dan moralnya karena hanya menganndalkan kemampuan intelek saja. Seharusnya teori ini dapat menyeimbangkan antara moral kepribadian dengan dan intelektual agar lulusan yang dihasilkan bermutu baik. Perkembangan kognitif anak akan lebih berarti apabila didasarkan pada pengalaman nyata dari bahasa yang digunakan berkomunikasi ketika berinteraksi dengan subjek belajar lainnya. dalam teori kognitivisme dikatakan bahwa belajar atau pembelajaran adalah suatu proses yang tidak hanya sekedar pada stimulus-respon, namun juga lebih menitikberatkan proses membangun ingatan, retensi pengolahan informasi, emosi, dan aspek-aspek yang bersifat intelektualitas lainnya. Perkembangan kognitif seseorang atau peserta didik adalah suatu proses yang bersifat genetik, artinya proses belajar didasarkan pada mekanisme biologis perkembangan system syarafnya. Sedangkan pembelajaranya dipengaruhi oleh dinamika perkembangan realitas yang ada disekitar kehidupan peserta didik. Belajar juga merupakan proses yang didasarkan pada pemahaman, karena sebenarnya setiap tingkah laku seseorang selalu didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal dan memikirkan situasi di mana tingkah laku tersebut terjadi. Pada situasi belajar, keterlibatan seseorang secara langsung akan menghasilkan pemahaman yang dapat membantu individu memecahkan masalah. 

1.3.2 Implikasi Teori Belajar Kognitivisme didalam Kelas
Implikasi teori belajar kognitif dalam pembelajaran, pendidik harus memahami bahwa peserta didik bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses berpikirnya, anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar belajar menggunakan benda-benda konkret, keaktifan peserta didik sangat dipentingkan, pendidik menyusun materi dengan menggunakan pola atau logika tertentu dari sederhana ke kompleks, pendidik menciptakan pembelajaran yang bermakna, memperhatian perbedaan individual peserta didik untuk mencapai keberhasilan peserta didik. Piaget menjabarkan implikasi teori kognitif pada pendidikan yaitu
1.        Memusatkan perhatian kepada cara berpikir atau proses mental anak, tidak sekedar kepada hasilnya. 
2.        Mengutamakan peran peserta didik dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan belajar. 
3.         Memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan. Teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh peserta didik tumbuh dan melewati urutan perkembangan yang sama, namun pertumbungan itu berlangsung pada kecepatan berbeda. Oleh karena itu pendidik harus melakukan upaya untuk mengatur aktivitas di dalam kelas yang terdiri dari individu - individu ke dalam kelompok - kelompok kecil peserta didik dari aktivitas dalam bentuk klasik,
4.        Mengutamakan peran peserta didik untuk saling berinteraksi. Menurut Piaget, pertukaran gagasan-gagasan tidak dapat dihindari untuk perkembangan penalaran. Meskipun penalaran tidak dapat diajarkan, perkembangannya dapat disimulasi.
Prinsip-prinsip dasar teori belajar kognitif dapat dirumuskan sebagai berikut:
a.       Belajar merupakan peristiwa mental yang berhubungan dengan berpikir, perhatian, persepsi, pemecahan masalah, dan kesadaran
b.      Sehubungan dengan pembelajaran, teori belajar perilaku dan kognitif pada akhirnya sepakat bahwa pendidik harus memperhatikan perilaku peserta didik yang tampak, seperti solusi tugas rumah, hasil tes, disamping itu juga harus memperhatikan faktor manusia dan lingkungan psikologisnya.
c.       Anggota kognitif percaya bahwa kemampuan berpikir setiap orang tidak sama dan tidak tetap dari waktu ke waktu.

1.4 Teori Belajar Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah bentukan (konstruksi) kita sendiri. Pengetahuan bukan tiruan dari realitas, bukan juga gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan merupakan hasil dari konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang dengan membuat struktur, kategori, konsep, dan skema yang diperlukan untuk membentuk pengetahuan tersebut.
Pengetahuan tidak bisa ditransfer begitu saja, melainkan harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang.Pengetahuan ini bukan sesuatu yang sudah ada, melainkan suatu proses yang berkembang terus-menerus. Dalam proses itu keaktivan seseorang sangat menentukan dalam mengembangkan pengetahuannya.
Konstruktivisme merupakan teori belajar dari piaget. Konstruktivisme juga bagian dari teori kognitif (Muchith, 2008:71). Teori konstruktivisme dikembangkan oleh Piaget pada pertengahan abad 20 (Sanjaya, 2009:123). Konstruktivisme adalah sebuah gerakan besar yang memiliki posisi filosofis sebesar strategi pendidikan. Konstruktivisme sangat berpengaruh di bidang pendidikan, dan memunculkan metode dan strategi mengajar baru (Muijs dan Reynolds, 2008:95).
Tokoh-tokoh aliran Konstruktivisme di antaranya adalah Jean Piaget, Von Galserfeld, Vygotsky.

1.4.1 Analisis Teori Belajar Kontruktivisme terhadap Pembelajaran
Teori Belajar konstruktivisme menekankan bahwa pengetahuan adalah bentukan (kontruksi) kita sendiri. Pengetahuan bukan juga gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan merupakan hasil dari kontruksi kognitif melalui melalui kegiatan seseorang dengan membuat struktur, kategori, konsep, dan sekma yang diperlukan untuk membentuk pengetahuan baru. Padangan kontruktivistik mengemukakan bahwa realitas ada pada pikiran seseorang. Manusia mengkonstruksi pengalamnnya. Konstruktivistik mengarahkan perhatiannya pada bagaimana seseorang mengkonstruksi pengetahuan dari pengalamnnya, struktur mental, dan keyakinan yang digunakan untuk menginterpretasikan obyek dan peristiwa-peristiwa. Pandangan konstruktivistik mengakui bahwa pikiran dalah instrumen penting dalam menginterpretasikan kejadian, obyek, dan pandangan dunia nyata, di mana interpretasi tersebut terdiri dari pengetahuan dasar manusia secara individual.
Adapun pandangan Konstruktivisme Tentang Belajar adalah sebagai berikut:
a.       Konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan non objektif, bersifat temporer, selalu berubah dan tidak menentu. 
b.      Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari dari pengalaman konkrit, aktifitas kolaboratif dan refleksi dan interpretasi. 
c.       Seseorang yang belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pengalamannya dan persepektif yang didalam menginterprestasikannya.

1.4.2 Implikasi Teori Belajar Konstruktivisme didalam Kelas
Model konstruktivis ini lebih menekankan pada penerapan konsep (Learning By Doing), maksudnya adalah peserta didik belajar sesuatu melalui kegiatan manual. Dengan demikian model konstmktivis ini lebih menekankan pada bagaimana peserta didik belajar melalui interaksi sosial, dan pada model ini anak menemukan konsep melalui penyelidikan, pengumpulan data, penginterprestasian data melalui suatu kegiatan yang dirancang oleh pendidik. Dan dalam model pembelajaran konstruktivis ini peserta didik dapat mencari pengetahuan sendiri melalui suatu kegiatan pembelajaran seperti pengamatan, percobaan, diskusi, tanya jawab, membaca buku, bahkan surfing di internet. Pendidik harus dapat mengembangkannya dengan menguasai pendekatan, metoda dan model pembelajaran yang sesuai. Agar dapat mendukung peserta didik dalam mengemukakan ide-ide, dan menumbuhkan rasa percaya diri. Pendidikan Kecakapan Hidup (life skills) lebih luas dari sekedar keterampilan manual. 
Prinsip-prinsip umum yang biasa dilakukan dalam pengaplikasian teori pembelajaran konstruktivisme di kelas adalah:
a.       Setiap pendidik harus dapat memfasilitasi peserta didiknya, sehingga pengetahuan materi yang dibangun atau dikonstruksi para peserta didik sendirisan bukan ditanamkan oleh pendidik. Para sisiwa harus dapat secara aktif mengasimilasikan dan mengakomodasi pengalaman baru kedalam kerangka kognitifnya.
b.      Untuk mengajar dengan baik, pendidik harus memahami model-model mental yang digunakan para peserta didik untuk mengenal dunia mereka dan penalaran yang dikembangkandan yang dibuat para sisiwa untuk mendukung model-model itu. 
b.      Peserta didik perlu mengkonstruksi pemahaman yang mereka sendiri untuk masing-masing konsep materi sehingga pendidik dalam mengajar bukannya "menguliahi", menerangkan atau upaya-upaya sejenis untuk mentransfer pengetahuan pada peserta didik tetapi menciptakan situasi bagi peserta didik yang membantu perkembangan mereka membuat konstruksi-konstruksi mental yang diperlukan. 
c.       Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadisituasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. 
d.      Latihan memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari. 
e.       Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai dengan dirinya. Pendidik hanya sebagai fasilitator, mediator, dan teman yang membuat situasi kondusif untuk terjadinya konstruksi engetahuan pada diri peserta didik.
2.1 Contoh Penerapan Teori Belajar di Sekolah Dasar
2.1.1 Contoh Penerapan Teori Belajar di Sekolah Dasar Kelas Rendah
Penerapan teori belajar kognitivisme dalam pembelajaran perkalian bilangan yang hasilnya dua angka pada pembahasaan dikelas 2 semester 1.
Dimisalkan  para  peserta didik  SD/MI  sudah  belajar  tentang  penjumlahan  dan  sudah menguasai penjumlahan seperti 2 + 2 + 2 = 6. Pada pembelajaran tentang perkalian, pendidik dapat mengawali kegiatan dengan menunjukkan adanya tiga piring yang berisi 2 kue pada setiap piringnya seperti ditunjukkan gambar di bawah ini.

Ketika pendidik meminta peserta didiknya untuk menentukan banyaknya kue yang ada, maka diharapkan para peserta didik akan dengan mudah menentukan jawabannya. Ada beberapa cara yang dapat digunakan peserta didik dan dapat diterima pendidik untuk menentukan hasilnya, yaitu: (1) dengan membilang dari 1 sampai 6 atau (2) dengan menjumlahkan 2 + 2 + 2 = 6. Setelah itu pendidik lalu menginformasikan bahwa notasi lain yang dapat digunakan adalah 3 × 2. Contoh ini menunjukkan bahwa pengetahuan yang baru tentang perkalian sudah dikaitkan atau disesuaikan dengan pengetahuan tentang penjumlahan yang sudah dimiliki peserta didik. Kata lainnya, perkalian telah diasimilasi sebagai  penjumlahan  berulang.  Selanjutnya,  akan  terjadi  juga  perubahan  pada kerangka  kognitif  si  peserta didik.  Kerangka  kognitifnya  tidak  hanya  berkait  dengan penjumlahan saja, akan tetapi sudah berkembang atau berubah dengan penjumlahan berulang yang dapat disebut juga dengan perkalian.
Dengan demikian jelaslah bahwa asimilasi terjadi jika pengalaman baru peserta didik sesuai atau memperkuat struktur kognitif yang sudah ada di benak peserta didik; sedangkan pada akomodasi, struktur kognitif yang sudah ada di benak peserta didik berubah akibat informasi atau pengalaman barunya. Berdasar contoh yang dikemukakan pendidik di atas, para peserta didik akan memahami bahwa untuk menentukan hasil 5 × 2  adalah sama dengan menentukan banyaknya semua kue yang ada pada lima piring yang berisi 2 kue pada setiap piringnya, seperti ditunjukkan gambar di bawah ini. Dengan cara seperti ini diharapkan para peserta didik akan dengan mudah menentukan bahwa: 5 × 2 = 2 + 2 + 2 + 2 + 2 = 10, namun pada struktur kognitif peserta didik belum ada konsep tersebut, sehingga ia harus mengubahnya yakni perkalian menjadi penjumlahan berulang.

2.1.2 Contoh Penerapan Teori Belajar di Sekolah Dasar Kelas Tinggi
Penerapan teori Belajar Konstruktivisme dalam Pembelajaran
Menghitung Nilai Rata-Rata Pembahasan materi kelas 6 semester 2
Langkah-langkah pembelajarannya:
a.       Siapkan beberapa menara blok yang tingginya berbeda-beda sebagai benda kongkrit bagi anak. 
b.      Minta anak untuk memotong beberapa menara blok yang lebih tinggi sesuai dengan keinginannya.
c.       Tempelkan potongan menara blok yang tertinggi kepada menara blok yang terpendek. Selanjutnya, potong sebagian menara blok yang lebih tinggi dan letakkan atau tempelkan pada menara blok yang kurang tinggi. Lakukan hal ini seterusnya hingga semua menara blok adalah sama tingginya. Tinggi menara blok tersebut yang sudah rata disebut rata-rata tingggi.
d.      Ulangi kegiatan di atas, dengan cara yang sedikit berbeda, yaitu setiap menara blok dipotong atau dipisahkan secara vertikal. Hal ini dilakukan secara berturut-turut. Selanjutnya, susun hasil potongan dengan cara melintang (horizontal), yaitu melengketkan pada kertas atau buku matematika anak. 
Setelah hal ini dilakukan oleh anak, ajak mereka untuk berpikir bagaimana jika menara blok tersebut dibagi oleh lima orang anak sama banyak? Dari sini peserta didik diharapkan dapat mengkonstruksi sendiri tentang konsep pembagian, yaitu
25/5 = 5. Dengan demikian, rata-rata tinggi menara blok tersebut adalah 5.
Dengan pendekatan seperti di atas, pada akhirnya anak dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuannya melalui aktivitas yang dilakukan. Dengan kata lain, tanpa mereka diajar secara paksa, anak akan memahami sendiri apa yang mereka lakukan dan pelajari melalui pengalamannya.

Referensi:
ü  Mustaqim Burham, dkk. 2008. Ayo Belajar Matematika. Jakarta: Pusat Perbukuan DEPDIKNAS (BSE)
ü  Permana Dadi, dkk. 2009. Bersahabat Dengan Matematika. Jakarta: Pusat Perbukuan DEPDIKNAS (BSE)
ü  http://hasanudin-bio.blogspot.com/2011/05/teori-belajar-behaviorisme-kognitif.html