Pembelajaan yang berpijak dari teori belajar behavioristik
dan implikasinya dalam PAI
Makalah ini dibuat untuk belajar
nama : fitrah nurmansyah
Nim : 13110273
Kelas : pai,a
BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan dunia yang penuh dengan
perkembangan. Dalam dunia pendidikan teori dan praktik pendidikan dipengaruhi
oleh aliran filsafat pendidikan.
Aliran filsafat pendidikan yang memengaruhi
arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dewasa ini adalah aliran
behavioristik dan kognitif-konstruktivistik. Aliran behavioristik menekankan
terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar, sedangkan aliran
kognitif-konstruktivistik lebih menekankan pembentukan perilaku internal yang
sangat memengaruhi perilaku yang tampak itu. Teori behavioristik dengan model
hubungan Stimulus-Response (S-R) mendudukkan pebelajar pada posisi pasif.
Respon (perilaku) tertentu dapat dibentuk karena dikondisikan dengan cara
tertentu, menggunakan metode drill (pembiasaan) semata. Munculnya perilaku akan
semakin kuat bila diberikan reinforcement (dorongan), dan akan menghilang bila
dikenakan hukuman. Hubungan S-R, individu pasif, perilaku yang tampak,
pembentukan perilaku dengan penataan kondisi secara ketat, reinforcement dan
hukuman merupakan unsur-unsur terpenting dalam teori behavioristik.
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama
dianut oleh para pendidik. Teori behavioristik banyak dikritik karena
seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks. Selain itu
pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat
emosi pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama.
Dalam makalah in akan membahas terkait pengertian,
tokoh, teori dan penerapan teori behavioristik.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Teori Belajar Aliran
Behavioristik
Pandangan tentang belajar
menurut aliran tingkahlaku, tidak lain adalah perubahan dalam tingkahlaku
sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Atau dengan kata
lain, belajar adalah perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk
bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus
dan respons.[1] Pendapat para ahli
mengenai teori beajar behaviouristik ini antara lain:
1. J.B. Watson: Conditioning Reflect
John B. Watson
(1878-1958) menggunakan penemuan Pavlow sebagai suatu dasar untuk teori
belajarnya. Watson percaya bahwa belajar adalah suatu proses dari conditioning reflect (respon) melalui pergantian dari suatu
stimulus kepada yang lain. Menurut Watson, manusia dilahirkan dengan beberapa
reflek dan reaksi emosi, ketakutan, cinta, dan marah. Semua tingkah laku
dikembangkan oleh pembentukan hubungan S-R baru melalui conditioning.[2]
Menurut Watson, stimulus
dan respon harus berbentuk tingkah laku yang “bisa diamati” (observable).
Dengan kata lain, Watson mengabaikan berbagai perubahan mental yang mungkin
terjadi dalam belajar dan menganggapnya sebagai faktor yang tidak perlu
diketahui. Bukan berarti semua perubahan mental yang terjadi dalam benak siswa
tidak penting. Semua itu penting, akan tetapi faktor-faktor tersebut tidak bisa
menjelaskan apakah proses belajar sudah terjadi atau belum. Hanya dengan asumsi
demikianlah, menurut Witson dapat diramalkan perubahan apa yang akan terjadi
pada siswa.
1. Clark Hull
Clark hull mengemukakan
konsep pokok teorinya yang sangat dipengaruhi oleh teori evolusinya Charles
Darwin. Bagi hull tingkah laku seseorang berfungsi untuk menjaga kelangsungan
hidup. Menurut Hull, kebutuha dikonsepkan sebagai dorongan (drive),
seperti lapar, haus, tidur, hilangnya rasa nyeri, dan sebagainya. Stimulus
hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis ini, meskipun respon mungkin
bermacam-macam bentuknya.
1. Edwin Guthrie
Edwin Guthrie mengemukakan teori kontiguiti
yang memandang bahwa belajar merupakan kaitan asosiatif antara stimulus
tertentu dan respons tertentu. Hubungan antara stimulus dan respon merupakan
faktor kritis dalam belajar. Oleh karena itu diperlukan pemberian stimulus yang
sering agar hubungan menjadi lebih langgeng. Selain itu, suatu respon akan
lebih kuat (dan bahkan menjadi kebiasaan) apabila respon tersebut berhubungan
dengan berbagai macam stimulus.
Guthrie juga mengemukakan bahwa “hukuman”
memegang peranan penting dalam proses belajar. Menurutnya suatu hukuman yang
diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah kebiasaan seseorang. Sebagai
contoh, seorang anak perempuan yang setiap kali pulang dari sekolah, selalu
mencampakkan baju dan topinya dilantai. Kemudian ibunya menyuruh agar baju dan
topi dipakai kembali oleh anaknya, lalu kembali keluar, dan masuk rumah kembali
sambil menggantungkan topi dan bajunya ditempat gantungannya. Setelah beberapa
kali melakukan hal itu, respon menggantung topi dan baju menjadi terasosiasi
dengan stimulus memasuki rumah. Meskipun dengan demikian faktor hukuman tidak
lagi dominan dalam teori-teori tingkah laku.
1. B.F. Skinner: Operant Conditioning
Menurut Skinner, diskripsi hubungan antara
stimulus dan respon untuk menjelaskan tingkah laku (dalam hubungannya dengan
lingkungan) menurut versi Watson tersebut adalah deskripsi yang tidak lengkap.
Respon yang diberikan siswa tidak sesederhana itu, sebab pada dasarnya stimulus
yang diberikan berinteraksi satu dengan lainnya, dan interaksi ini pada
akhirnya mempengaruhi respon yang dihasilkan. Sedangkan respon yang diberikan
juga menghasilkan berbagai konsekuensi, yang pada gilirannya akan mempengaruhi
tingkah laku siswa.
Oleh karena itu, untuk
memahami tingkah laku siswa secara tuntas, diperlukan pemahaman terhadap respon
itu sendiri, dan berbagai konsekuensi yang diakibatkan oleh respon tersebut.
Skinner juga menjelaskan bahwa menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai
alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya untuk membuat segala sesuatunya
menjadi lebih rumit, sebab “alat” itu akhirnya juga harus dijelaskan lagi.
Misalnya apabila dikatakan bahwa “seorang siswa berprestasi buruk sebab siswa
ini mengalami frustasi” akan menuntut perlu dijelaskan “apa itu frutasi”.
Penjelasan tentang frustasi ini besar kemungkinan akan memerlukan penjelasan
lain. Begitu seterusnya.[3]
Menurut skinner dalam kondisioning
operan ada dua prinsip umum, yaitu:
1. Setiap respon yang
diikuti oleh reward (merupakan reinforcing stimuli) akan cenderung diulangi.
1. E.L. Thorndike: The law of effect
Teorinya dikenal sebagai connectionism (pertautan, pertalian) karena dia berpendapat
bahwa belajar adalah suatu proses “stamping in” (diingat), forming,
hubungan antara stimulus dan respon.
Thorndike mengembangkan
teorinya dari penelitian yang intensif pada binatang. Salah satu penelitiannya
menggunakan kucing yang ditempatkan di “puzzle box”, kurungan kecil
dengan pintu yang akan terbuka jika kucing menarik tali yang tergantung di
dalam kurungan. Tugas kucing ialah keluar dari kurungan untuk mendapatkan
makanan yang ditempatkan diluar kurungan. Mula-mula kucing akan berjalan
sekeliling kurungan, mencakar-cakar lantai, meloncat ke kiri-kanan hingga
sampai pada gerakan yang tidak sengaja dia menarik tali pembuka pintu kurungan.
Thorndike mengulang percobaan ini beberapa kali, kucing masih lari sekitar kandangnya,
tetapi manarik tali lebih cepat. Setelah beberapa cobaan, kucing memusatkan
tingkahlakunya di sekeliling tali, akhirnya menarik tali, pintu terbuka dan
mendapatkan makanan.
Teori belajar thorndike mengarah pada sejumlah
praktik pendidikan. Saran umum bagi guru adalah tahu apa yang hendak diajarkan,
respon apa yang diharapkan, dan kapan harus memberikan hadiah atau penguat.
1. Ivan Pavlow: Classical Conditioning
Ivan pavlow (1849-1936)
tidak sengaja sampai pada penemuan terhadap fenomena belajar selama dalam
praktik dengan anjing dalam laboratoriumnya. Pavlow mengidentifikasi makanan
sebagai unconditioned stimulus (US) dan air liur sebagai unconditioned respons (UR) atau respon tak bersyarat. Unconditioned stimulus (US) atau perangsang tak bersyarat atau perangsang
alami, yaitu perangsang yang secara alami dapat menimbulkan respon tertentu,
misalnya makanan bagi anjing dapat menimbulkan air liur. Perangsang bersyarat
atau conditoned stimulus (CS), yaitu perangsang yang secara alami tidak dapat
menimbulkan respon tertentu, tetapi melalui proses persyaratan dapat
menimbulkan respon tertentu, misalnya suara lonceng yang dapat menimbulkan
keluarnya air liur.[5]
1. Prinsip-Prinsip dalam
Teori Behavioristik
1.Perilaku nyata dan terukur memiliki makna
tersendiri, bukan sebagai perwujudan dari jiwa atau mental yang abstrak
2.Aspek mental dari kesadaran yang tidak
memiliki bentuk fisik adalah pseudo problem untuk sciene, harus dihindari.
3.Penganjur utama adalah Watson : overt,
observable behavior, adalah satu-satunya subyek yang sah dari ilmu psikologi
yang benar.
4.Dalam perkembangannya, pandangan Watson yang
ekstrem ini dikembangkan lagi oleh para behaviorist dengan memperluas ruang
lingkup studi behaviorisme dan akhirnya pandangan behaviorisme juga menjadi
tidak seekstrem Watson, dengan mengikutsertakan faktor-faktor internal juga,
meskipun fokus pada overt behavior tetap terjadi.
5.Aliran behaviorisme juga menyumbangkan
metodenya yang terkontrol dan bersifat positivistik dalam perkembangan ilmu
psikologi.
6.Banyak ahli membagi behaviorisme ke dalam
dua periode, yaitu behaviorisme awal dan yang lebih belakangan.
1. Penerapan Tingkah Laku Di
Dalam Kelas:
Mengembangkan Suatu Program Pengubahan Tingkah
Laku
1. Langkah dasar untuk
pengubahan tingkah laku
1. Mendefinisikan dan
menyatakan secara operasional tingkah laku yang dapat diubah
2. Memperoleh suatu gambaran
dari tingkah laku tingkat operant dimana kita mempertimbangkan untuk mengubah
3. Mengatur situasi belajar
atau situasi perlakuan sehingga tingkah laku yang kita inginkan terjadi
4. Mengidentifikasi
reinforcer yang potensial
5. Membentuk dan/atau
memperkuat tingkah laku yang diinginkan, dan jika perlu menggunakan prosedur
memperlemah tingkah laku yang tidak tepat
6. Menyusun catatan dari
tingkah laku yang diperketat untuk menentukan apakah penguatan atau frekuensi
dari respons bertambah[6]
1. Teori Pembelajaran Sosial
Bandura mengemukakan bahwa siswa belajar
melalui meniru. Pengertian meniru disini bukan berarti menyontek, tetapi meniru
hal-hal yang dilakukan oleh orang lain, terutama guru. Jika tulisan guru baik,
guru berbicara sopan santun dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar,
tingkahlaku yang terpuji, menerangkan dengan jelas dan sistematik, makasiswa
akan menirunya. Jika contoh-contoh yang dilihatnya kurang baik ia pun
menirunya. Dengan demikian guru harus menja dimanusia model yang profesional.
Bandura memandang tingkah laku manusia bukan
semata-mata refleks otomatis atas stimulus, melainkan juga akibat reaksi yang
timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif manusia
itu sendiri. Teori belajar sosial dari Bandura ini merupakan gabungan antara teori
belajar behavioristik dengan penguatan dan psikologi kognitif, dengan prinsip
modifikasi perilaku.
Teori Belajar Sosial (Social
Learing Theory) dari Bandura didasarkan pada tiga konsep, yaitu:
1. Reciprocal determinism
Pendekatan yang menjelaskan tingkahlaku
manusia dalam bentuk interaksi timbal-balik yang terus menerus antara kognitif,
tingkahlaku dan lingkungan. Orang menentukan/ mempengaruhi tingkahlakunya
dengan mengontrol lingkungan, tetapi orang itu juga dikontrol oleh kekuatan
lingkungan itu.
1. Beyond reinforcement
Bandura memandang teori
Skinner dan Hull terlalu bergantung pada reinforcement. Jika setiap unit respon sosial yang kompleks
harus dipilah-pilah untuk direforse satu persatu, bisa jadi orang malah tidak
belajar apapun. Menurutnya, reinforcemet penting dalam menentukan apakah suatu
tingkahlaku akan terus terjadi atau tidak, tetapi itu bukan satu-satunya
pembentuk tingkahlaku. Orang dapat belajar melakukan sesuatu hanya dengan
mengamati dan kemudian mengulang apa yang dilihatnya. Belajar melalui observasi
tanpa adareinforcement yang terlibat,
berarti tingkahlaku ditentukan oleh antisipasi konsekuensi.
1. Self-regulation/
cognition
Teori belajar tradisional
sering terhalang oleh ketidaksenangan atau ketidak mampuan mereka untuk
menjelaskan proses kognitif. Konsep bandura menempatkan manusia sebagai pribadi
yang dapat mengatur dirisendiri (self regulation), mempengaruhi
tingkahlaku dengan cara mengatur ingkungan, menciptakan dukungan kognitif,
mengadakan konsekuensi bagi tingkahlakunya sendiri.
Prinsip dasar belajar
sosial (social learning) adalah:
1. Sebagian besar dari yang
dipelajari manusia terjadi melalui peniruan (imitation), dan penyajian contoh
perilaku (modeling).
2. Dalam hal ini, seorang
siswa mengubah perilaku sendiri melalui penyaksian cara orang/sekelompok orang
yang mereaksi/merespon sebuah stimulus tertentu.
3. Siswa dapat mempelajari
respons-respons baru dengan cara pengamatan terhadap perilaku contoh dari orang
lain, misalnya: guru/orang tuanya. Pendekatan teori belajar sosial terhadap
proses perkembangan sosial dan moral siswa ditekankan pada perlunya pembiasaan
merespons (conditioning) danpeniruan (imitation).
Langkah-langkah belajar
sosial (social learning) adalah:
1. Conditioning.
Dalam belajar
mengembangkan perilaku social dan moral pada dasarnya sama dengan belajar untuk
mengembangkan perilaku-perilaku lainnya, yakni perlunya hadiah/ganjaran (reward),
dan hukuman (punishment).
1. Imitation.
Orang tua dan guru
seyogyanya memainkan peranan penting sebagai seorang model/ tokoh yang dijadikan
contoh berperilaku sosial dan moral bagi siswa. Contoh: mula-mula seorang siswa
mengamati model gurunya sendiri yang sedang melakukan sebuah aktivitas sosial,
umpamanya menerima tamu, lalu perbuatan menjawab salam, berjabat tangan,
beramah-tamah, dan seterusnya yang dilakukan model itu diserap oleh memori
siswa tersebut
Di tahun 1941, dua orang
psikolog – Neil Miller dan John Dollard – dalam laporan hasil percobaannya
mengatakan bahwa peniruan (imitation) di antara manusia tidak disebabkan
oleh unsur instink atau program biologis. Penelitian kedua orang tersebut
mengindikasikan bahwa kita belajar (learn) meniru perilaku orang
lain. Artinya peniruan tersebut merupakan hasil dari satu proses belajar, bukan bisa begitu saja karena instink.
Proses belajar tersebut oleh Miller dan Dollard dinamakan “social learning ” – “pembelajaran sosial”. Perilaku peniruan (imitative
behavior) kita terjadi karena kita merasa telah memperoleh imbalan ketika
kita meniru perilaku orang lain, dan memperoleh hukuman ketika kita tidak
menirunya. Agar seseorang bisa belajar mengikuti aturan baku yang telah
ditetapkan oleh masyarakat maka “para individu harus dilatih, dalam berbagai
situasi, sehingga mereka merasa nyaman ketika melakukan apa yang orang lain
lakukan, dan merasa tidak nyaman ketika tidak melakukannya.”, demikian saran
yang dikemukakan oleh Miller dan Dollard.
Dalam penelitiannya,
Miller dan Dollard menunjukan bahwa anak-anak dapat belajar meniru atau tidak
meniru seseorang dalam upaya memperoleh imbalan berupa permen. Dalam
percobaannya tersebut, juga dapat diketahui bahwa anak-anak dapat membedakan
orang-orang yang akan ditirunya. Misalnya jika orang tersebut laki-laki maka
akan ditirunya, jika perempuan tidak. Lebih jauh lagi, sekali perilaku peniruan
terpelajari (learned), hasil belajar ini kadang berlaku umum untuk
rangsangan yang sama. Misalnya, anak-anak cenderung lebih suka meniru
orang-orang yang mirip dengan orang yang sebelumnya memberikan imbalan. Jadi,
kita mempelajari banyak perilaku “baru” melalui pengulangan perilaku orang lain
yang kita lihat. Kita contoh perilaku orang-orang lain tertentu,
karena kita mendapatkan imbalan atas peniruan tersebut dari orang-orang
lain tertentu tadi dan juga dari mereka yang mirip dengan orang-orang lain tertentu
tadi, di masa lampau.
Dua puluh tahun
berikutnya, Albert Bandura dan Richard Walters (1959, 1963), mengusulkan satu
perbaikan atas gagasan Miller dan Dollard tentang belajar melalui peniruan.
Bandura dan Walters menyarankan bahwa kita belajar banyak perilaku melalui
peniruan, bahkan tanpa adanya penguat (reinforcement) sekalipun yang
kita terima. Kita bisa meniru beberapa perilaku hanya melalui pengamatan
terhadap perilaku model, dan akibat yang ditimbulkannya atas model tersebut.
Proses belajar semacam ini disebut “observational learning” – pembelajaran melalui pengamatan.
Contohnya, percobaan Bandura dan Walters mengindikasikan bahwa ternyata
anak-anak bisa mempunyai perilaku agresif hanya dengan mengamati perilaku
agresif sesosok model, misalnya melalui film atau bahkan film karton.
1. Aplikasi Teori
Behavioristik dalam Pembelajaran
Aplikasi teori
behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti:
tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan
fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak
pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti,
tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga
belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan
pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau
pebelajar. Fungsi pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yang
sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna
yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik
struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman
yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh
pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar
dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan
dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang
terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses
pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses
evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat
diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam
proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam
proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi
pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya
sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam
menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau
robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi
yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa
pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang
belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih
dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam
belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan
disiplin. Kegagalan atau ketidak mampuan dalam penambahan pengetahuan
dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar
atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah.
Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan
belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai
dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada
di luar diri pebelajar.
Tujuan pembelajaran menurut teori
behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi
aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali
pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes.
Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi
atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran
mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih
banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan
mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan
evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan
secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil
belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar”
sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah
menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang
terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai
kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar
secara individual.
1. Implikasi Teori Belajar
Sosial Dalam Pembelajaran
Teori belajar sosial memiliki banyak implikasi
untuk penggunaan di dalam kelas, yaitu:
1. Siswa sering belajar
banyak hanya dengan mengamati orang lain, yaitu guru.
2. Menggambarkan konsekuensi
perilaku yang dapat secara efektif meningkatkan perilaku yang sesuai dan
menurunkan yang tidak pantas. Hal ini dapat melibatkan berdiskusi dengan
pelajar tentang imbalan dan konsekuensi dari berbagai perilaku.
3. Modeling menyediakan alternative untuk membentuk
perilaku baru untuk mengajar. Untuk mempromosikan model yang efektif, seorang
guru harus memastikan bahwa empat kondisi esensial ada, yaitu perhatian,
retensi, motor reproduksi, dan motivasi,
4. Guru dan orang tua harus
menjadi model perilaku yang sesuai dan berhati-hati agar mereka tidak meniru
perilaku yang tidak pantas,
5. Siswa harus percaya bahwa
mereka mampu menyelesaikan tugas-tugas sekolah. Sehingga sangat penting untuk
mengembangkan rasa efektivitas diri untuk siswa. Guru dapa tmeningkatkan
efektivitas diri seperti itu dengan memiliki rasa percaya diri siswa
memperlihatkan pengalaman orang lain menjadi sukses, dan pengalaman sukses
mereka sendiri.
6. Guru harus membantu siswa
menetapkan harapan yang realistis untuk prestasi akademiknya. Pada umumnya di
kelas yang berarti memastikan bahwa harapan tidak diatur terlalu rendah.
7. Teknik pengaturan diri
menyediakan metode yang efektif untuk meningkatkan perilaku siswa.
BAB III
PENUTUP
Teori behavioristik merupakan teori yang menggunakan hubungan
stimulus-responnya dan menganggap orang yang belajar sebagai individu yang
pasif. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal
penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Diantara tokoh-tokoh aliran behavioristik,
teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori
belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine,
Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang
berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons, merupakan program pembelajaran
yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.
Metode behavioristik ini sesuai untuk
perolehan kemampaun yang membuthkan praktek dan pembiasaan juga sesuai
diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang
dewasa.
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah B Uno. 2006. Orientasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.
Sri Esti Wuryani
Djiwandono. 2006. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Gramedia
Widasarana Indonesia.
Bimo Walgito. 2004.
Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi.
[1] Hamzah B Uno, Orientasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), hal. 7.
[2] Sri Esti Wuryani
Djiwandono, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Gramedia Widasarana Indonesia,
2006), hal. 129.
Analisis Kajian Teori
Belajar Terhadap Implikasi Pembelajaran di Sekolah Dasar
1.1 Teori Belajar
Behavioristik
Teori
belajar behavioristik adalah sebuah teori perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari
interaksi antara stimulus dan respon. Perubahan perilaku tersebut dapat
berwujud sesuatu yang konkret atau yang non konkret, berlangsung secara mekanik
memerlukan penguatan. Teori ini lalu
berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan
teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran
behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak
sebagai hasil belajar.
Teori
behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, menganggap orang yang
belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan
menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan
semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Belajar
merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin,
2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan
perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah
input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa
saja yang diberikan pendidik kepada peserta didik, sedangkan respon berupa
reaksi atau tanggapan peserta didik terhadap stimulus yang diberikan oleh
pendidik tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting
untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang
dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan
oleh pendidik (stimulus) dan apa yang diterima oleh peserta didik (respon)
harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab
pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya
perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor
lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan(reinforcement).
Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan
semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.
Beberapa
prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi:
a. Reinforcement and
Punishment;
b. Primary and Secondary
Reinforcement;
c. Schedules of
Reinforcement;
d. Contingency Management;
e. Stimulus Control in
Operant Learning;
f. The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).
Tokoh-tokoh
aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin
Guthrie, dan Skinner.
1.1.1 Analisis
Teori Belajar Behavioristik Terhadap Pembelajaran
Kaum
behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah
laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang peserta didik dalam
berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya
merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian
kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian
tersebut disusun secara hierarki, dari yang sederhana sampai yang komplek.
Pandangan
teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari
semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap
perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program
pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta
mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program
pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.
Teori
behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi
belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan
pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus
dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang
terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.
Pandangan
behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi
peserta didik, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama.
Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan
dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu
pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat
kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon
yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau
perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori
behavioristik juga cenderung mengarahkan peserta didik untuk berfikir linier,
konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar
merupakan proses pembentukan atau shaping,
yaitu membawa peserta didik menuju atau mencapai target tertentu, sehingga
menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak
faktor yang mempengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar
pembentukan atau shaping.
Skinner
lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif
tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus
diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang
sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar
respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang peserta didik perlu
dihukum karena melakukan kesalahan. Jika peserta didik tersebut masih saja
melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak
mengenakkan peserta didik (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan
malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong peserta didik untuk memperbaiki
kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan
negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya
bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif
menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.
1.1.2 Implikasi
Teori Belajar Behavioristik di Kelas
Dalam menerapkan teori behavioristik
terdapat beberapa prinsip kuat yang mendasarinya, diantaranya yaitu:
a. Mementingkan pengaruh
lingkungan (faktor eksternal)
b. Mementingkan
bagian-bagian
c. Mementingkan peranan
reaksi
d. Mengutamakan mekanisme
terbentuknya hasil belajar melalui prosedur stimulus (S) respon (R)
e. Mementingkan peranan
kemampuan yang sudah terbentuk sebelumnya
f. Mementingkan pembentukan
kebiasaan melalui latihan dan pengulangan
g. Hasil belajar yang
dicapai adalah munculnya perilaku yang diinginkan.
Berdasarkan teori-teori yang sudah
dikemukakan, para pendidik yang menggunakan paradigma behaviorisme akan
menyusun bahan ajar secara matang, sehingga tujuan pembelajaran yang harus
dikuasai peserta didik disampaikan secara utuh oleh pendidik. Pendidik
harus memberikan stimulus sebanyak-banyaknya agar peserta didik melakukan
respon positif, selain itu seorang pendidik juga harus mampu memilah dan
memilih stimulus yang bisa menyentuh perhatian peserta didik yang tidak kalah
pentingnya dalam menyusun bahan ajar harus disusun secara hierarki dari yang
paling sederhana sampai pada hal yang kompleks .
Kurikulum yang
berorientasi pada aliran behaviorisme harus sudah menggambarkan perincian
tentang apa-apa yang hendak disajikan kepada peserta didik. Kurikulum harus
dikristalisasikan dalam satuan acara pembelajaran (SAP) yang dirancang
sedemikian rupa sebelum proses pembelajaran dimulai.
Ketika menentukan tujuan pembelajaran
dibagi dalam bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu keterampilan
tertentu atau kompetensi dasar (KD), dan indikator-indikator yang berorientasi
padatujuan pembelajaran yang ingin dicapai dan harus dapat
diukur. Kesalahan harus segera diperbaiki. Pengulangan dan latihan
digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil
yang diharapkan dari penerapan teori behavioristik ini adalah tebentuknya suatu
perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan
positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan
negatif. Evaluasi atau penilaian didasari atas perilaku yang tampak.
Evaluasi menekankan
pada respon pasif, keterampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper
and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya
bila peserta didik menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan pendidik,
hal ini menunjukkan bahwa peserta didik telah menyelesaikan tugas belajarnya.
Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan
pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran.
Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan peserta didik secara individual.
Implikasi dari teori
behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak
yang bebas bagi peserta didik untuk berkreasi, bereksperimentasi dan
mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut
bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga
terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya peserta didik kurang mampu
untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
1.2 Teori Belajar Humanistik
Tokoh pelopor teori
belajar Humanisme antara lain Abraham Maslow dan Carl Rogers. Maslow meyakini
bahwa belajar merupakan kebutuhan akan perkembangan motivasi. Dalam
mencapai sesuatu manusia tidak akan pernah puas,rasa puas hanya terjadi
sesaat saja sehingga manusia mencari peluang lain untuk menutupi
kebutuhannya. Menurut Maslow, puncak kebutuhan yang sekaligussebagai ukuran
keberhasilan individu ialah berhasil dalam mengaktualisasikan diri dalam
dunianya (Agus Taufik, 2007: 6.6). Sementara Carl Rogers seorang ahli bimbingan
konseling dengan teori client centered -nya berpendapat bahwa
manusia adalah makhluk yang rasional,sosialis, ingin maju dan realistis
sehingga manusia memiliki potensi untuk tumbuh dengan aktual serta memiliki
martabat yang tinggi. Rogers menempatkan manusia secara manusiawi
dalam martabat kemanusiannya. Bagi Rogers, pendidik merupakan fasilitator
yang memungkinkan peserta didik paham akan sesuatu hal. Selain itu, dalam
membimbing perlu diberinya kebebasan.
1.2.1 Analis Teori Belajar
Humanistik Terhadap Pembelajaran
Tujuan belajar adalah
untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika pelajar telah
memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Peserta didik dalam proses
belajarnya harus berusaha, agar lambat laun mampu mencapai aktualisasi diri
dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar
dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang
pengamatnya.(Sugihartono, dkk).
Tujuan belajar ini ingin memperbaiki sikap para pendidik yang dinilai membunuh karakter peserta didik. Masih banyak para pendidik yang memberikan label jelek pada peserta didik, seperti anak bodoh, anak nakal, peserta didik bandel, atau julukan negatif yang lainnya. Dengan teori belajar humanistik, diharapkan kita dapat mengubah paradigma tersebut dan lebih memanusiakan peserta didik.
Tujuan belajar ini ingin memperbaiki sikap para pendidik yang dinilai membunuh karakter peserta didik. Masih banyak para pendidik yang memberikan label jelek pada peserta didik, seperti anak bodoh, anak nakal, peserta didik bandel, atau julukan negatif yang lainnya. Dengan teori belajar humanistik, diharapkan kita dapat mengubah paradigma tersebut dan lebih memanusiakan peserta didik.
Tujuan utama para
pendidik ialah membantu peserta didik untuk mengembangkan dirinya, yaitu
membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai
manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada pada
diri mereka. (Sugihartono, dkk). Perbedaan kecepatan belajar bukan lagi menjadi
alasan pendidik untuk meninggalkan peserta didik dengan kecepatan belajar
rendah. Hasil akhir dari pembelajaran yang diinginkan adalah ketercapaian
kompetensi pembelajaran secara menyeluruh.
Manusia adalah
subjek/pribadi yang memiliki cipta, rasa, karsa yang mengerti dan menyadari
akan keberadaan dirinya yang dapat mengatur, menentukan, dan menguasai dirinya,
memiliki budi dan kehendak, memiliki dorongan untuk mengembangkan pribadinya
menjadi lebih baik dan lebih sempurna. (Driyarkara). Pendidik menjadi
fasilitator dan motivator agar peserta didik dapat mengembangkan cipta, rasa,
dan karsa yang telah dimilikinya. Pendidik yang fasilitatif memiliki beberapa cirri,
diantaranya:
· Merespon
perasaan peserta didik,
· Menggunakan
ide-ide peserta didik untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang,
· Berdialog
dan berdiskusi dengan peserta didik,
· Menghargai
peserta didik,
· Menyesuaikan
antara kata dengan perbuatan,
· Menyesuaikan
isi kerangka berpikir peserta didik, dan
· Tersenyum
kepada peserta didik.
1.2.2 Implikasi Teori Belajar
Humanistik di Kelas
Pandangan kalangan
humanisme tentang proses belajar mengimplikasikan perlunya penataan peran
tenaga kependidikan dan prioritas pendidikan (AgusTaufik, 2007: 6.21). Teori
ini meyakini bahwa pendidik adalah fasilitator bukan sebagai pendidik belaka.
Artinya, pendidik harus bisa memfasilitasi tumbuhnya motivasi belajar dalam
diri peserta didik, bukannya berpusat pada proses pembelajaran. Peserta didik
harus diberi kesempatan untuk mengeksplorasi dan mengembangkan kesadaran
dirinya untuk perkembangan aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik
agar peserta didik bisa lebih menguasai informasi ataupengetahuan. Pendidik
berperan sebagai fasilitator, bukan berarti ia harus pasif,akan tetapi justru
pendidik harus berperan aktif dalam suatu proses pembelajaran (Agus Taufik,
2007: 6.21). Menurut Rogers seorang pendidik harusberperan aktif dalam hal-hal
berikut ini.
a. Membantu
menciptakan iklim kelas yang kondusif dan sikap positif terhadap
pembelajaran.
b. Membantu
peserta didik mengklasifikasikan tujuan belajar dengan caramemberikan
kesempatan kepada peserta didik secara bebas menyatakanapa yang ingin mereka
pelajari.
c. Membantu
peserta didik mengembangkan dorongan dengan tujuannyasebagai kekuatan
pembelajaran.
d. Menyediakan
sumber-sumber belajar.
Belajar bermakna
terjadi jika kebutuhan peserta didik disertai motivasi instrinsik dapat
terpenuhi. Selain itu kurikulum juga tidak bersifat kaku. Pendidik harus arif
dan paham betul atas keunikan peserta didik. Rogers menyarankan agar
terciptanya iklim kelas yang memungkinkan terjadinya belajar bermakna perlu
dilakukan hal-hal berikut:
· Terimalah
peserta didik apa adanya;
· Kenali
dan bina minat peserta didik melalui penemuannya terhadap dirisendiri;
· Usahakan
sumber belajar yang mungkin dapat diperoleh peserta didik untuk dapat
memilih dan menggunakannya;
· Gunakan
pendekatan inquiry-discovery;
· Tekankan
pentingnya penilaian diri sendiri dan biarkan peserta didik mengambil
tanggung jawab untuk memenuhi tujuan belajarnya.
Langkah-langkah umum
yang biasa dilakukan dalam pengaplikasian teori pembelajaran humanistik di
kelas adalah:
· Pendidik
merumuskan tujuan belajar yang jelas;
· Pendidik
mengusahakan partisipasi aktif peserta didik melalui kontrak belajar yang
bersifat: jelas, jujur, dan positif;
· Pendidik
mendorong peserta didik untuk mengembangkan kesanggupannya untuk belajar atas
inisiatif sendiri;
· Pendidik
mendorong peserta didik untuk bebas mengemukaan pendapat, memilih pilihannya
sendiri, melakukan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dari perilaku yang
ditunjukkan;
· Pendidik
merumuskan tujuan belajar yang jelas;
· Pendidik
mengusahakan partisipasi aktif peserta didik melalui kontrak belajar yang
bersifat: jelas, jujur, dan positif;
· Pendidik
mendorong peserta didik untuk mengembangkan kesanggupannya untuk belajar atas
inisiatif sendiri;
· Pendidik
mendorong peserta didik untuk bebas mengemukaan pendapat, memilih pilihannya
sendiri, melakukan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dari perilaku yang
ditunjukkan;
1.3 Teori Belajar Kognitivistik
Teori Kognitif, dikembangkan oleh Jean Piaget,
seorang psikolog Swiss yang hidup tahun 1896-1980. Teorinya memberikan banyak konsep utama dalam
lapangan psikolog perkembangan dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep
kecerdasan, yang bagi Piaget, berarti kemampuan untuk secara lebih tepat
merepresentasikan dunia dan melakukan operasi logis dalam representasi konsep
yang berdasar pada kenyataan. Teori ini membahas munculnya
dan diperolehnya schemata -skema tentang bagaimana
seseorang mempersepsi lingkungannya-dalam tahapan-tahapan perkembangan, saat
seseorang memperoleh cara baru dalam merepresentasikan informasi mental.Teori
ini digolongkan ke dalam konstruktivisme, yang berarti, tidak seperti teori
nativisme (yang menggambarkan perkembangan kognitif sebagai pemunculan
pengetahuan dan kemampuan bawaan), teori ini berpendapat bahwa kita membangun
kemampuan kognitif kita melalui tindakan yang termotivasi dengan sendirinya
terhadap lingkungan.
Menurut teori ini, belajar adalah perubahan
persepsi dan pemahaman. Perubahan persepsi dan pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan
tingkah laku yang bisa diamati. Asumsi dasar teori ini adalah
setiap orang telah memiliki pengalaman dan pengetahuan dalam dirinya. Pengalaman dan pengetahuan ini tertata dalam bentuk struktur
kognitif. Menurut teori ini proses belajar akan berjalan baik bila materi
pelajaran yang baru beradaptasi secara klop dengan struktur kognitif yang telah
dimiliki oleh peserta didik.
Prinsip kognitif banyak dipakai di dunia
pendidikan, khususnya terlihat pada perencanaan suatu sistem instruksional,
prinsip-prinsip tersebut antara lain:
a. Seseorang yang belajar akan lebih mampu mengingat dan memahami
sesuatu apabila pelajaran tersebut disusun berdasarkan pola dan logika tertentu
b. Penyusunan materi pelajaran
harus dari sederhana ke kompleks
c. Belajar dengan memahami akan jauh lebih baik dari dengan hanya
menghafal tanpa pengertian penyajian
Model teori belajar kognitif yang banyak diterapkan dalam dunia
pendidikan adalah model belajar penemuan dari Brunner, model belajar bermakna
dari Ausebel, model pemrosesan informasi dan jenis peristiwa pembelajaran dari
Rober Gagne, dan model "perkembangan intelektual" dari Jean Piaget.
1.3.1 Analisis Teori Belajar
Kognitivisme Terhadap Pembelajaran
Teori ini sangat baik untuk kemajuan intelektual peserta didik.
Tetapi peserta didik menjadi miskin kepribadian dan moralnya karena hanya
menganndalkan kemampuan intelek saja. Seharusnya teori ini dapat menyeimbangkan
antara moral kepribadian dengan dan intelektual agar lulusan yang dihasilkan
bermutu baik. Perkembangan kognitif anak akan lebih berarti apabila
didasarkan pada pengalaman nyata dari bahasa yang digunakan berkomunikasi
ketika berinteraksi dengan subjek belajar lainnya. dalam teori kognitivisme
dikatakan bahwa belajar atau pembelajaran adalah suatu proses yang tidak
hanya sekedar pada stimulus-respon, namun juga lebih menitikberatkan proses
membangun ingatan, retensi pengolahan informasi, emosi, dan aspek-aspek yang
bersifat intelektualitas lainnya. Perkembangan kognitif seseorang atau peserta
didik adalah suatu proses yang bersifat genetik, artinya proses belajar
didasarkan pada mekanisme biologis perkembangan system syarafnya.
Sedangkan pembelajaranya dipengaruhi oleh dinamika perkembangan realitas
yang ada disekitar kehidupan peserta didik. Belajar juga merupakan proses yang
didasarkan pada pemahaman, karena sebenarnya setiap tingkah laku seseorang
selalu didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal dan memikirkan situasi
di mana tingkah laku tersebut terjadi. Pada situasi belajar, keterlibatan
seseorang secara langsung akan menghasilkan pemahaman yang dapat membantu
individu memecahkan masalah.
1.3.2 Implikasi Teori Belajar
Kognitivisme didalam Kelas
Implikasi teori belajar kognitif dalam
pembelajaran, pendidik harus memahami bahwa peserta didik bukan sebagai orang
dewasa yang mudah dalam proses berpikirnya, anak usia pra sekolah dan awal
sekolah dasar belajar menggunakan benda-benda konkret, keaktifan peserta didik
sangat dipentingkan, pendidik menyusun materi dengan menggunakan pola atau
logika tertentu dari sederhana ke kompleks, pendidik menciptakan pembelajaran
yang bermakna, memperhatian perbedaan individual peserta didik untuk mencapai
keberhasilan peserta didik. Piaget
menjabarkan implikasi teori kognitif pada pendidikan yaitu
1. Memusatkan
perhatian kepada cara berpikir atau proses mental anak, tidak sekedar kepada
hasilnya.
2. Mengutamakan
peran peserta didik dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam
kegiatan belajar.
3. Memaklumi
akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan. Teori
Piaget mengasumsikan bahwa seluruh peserta didik tumbuh dan melewati urutan perkembangan
yang sama, namun pertumbungan itu berlangsung pada kecepatan berbeda. Oleh
karena itu pendidik harus melakukan upaya untuk mengatur aktivitas di dalam
kelas yang terdiri dari individu - individu ke dalam kelompok - kelompok kecil
peserta didik dari aktivitas dalam bentuk klasik,
4. Mengutamakan
peran peserta didik untuk saling berinteraksi. Menurut Piaget, pertukaran
gagasan-gagasan tidak dapat dihindari untuk perkembangan
penalaran. Meskipun penalaran tidak dapat diajarkan, perkembangannya dapat
disimulasi.
Prinsip-prinsip dasar
teori belajar kognitif dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Belajar
merupakan peristiwa mental yang berhubungan dengan berpikir, perhatian,
persepsi, pemecahan masalah, dan kesadaran
b. Sehubungan
dengan pembelajaran, teori belajar perilaku dan kognitif pada akhirnya sepakat
bahwa pendidik harus memperhatikan perilaku peserta didik yang tampak, seperti
solusi tugas rumah, hasil tes, disamping itu juga harus memperhatikan faktor
manusia dan lingkungan psikologisnya.
c. Anggota
kognitif percaya bahwa kemampuan berpikir setiap orang tidak sama dan tidak
tetap dari waktu ke waktu.
1.4 Teori Belajar Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah
salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah
bentukan (konstruksi) kita sendiri. Pengetahuan bukan tiruan dari
realitas, bukan juga gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan
merupakan hasil dari konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang dengan
membuat struktur, kategori, konsep, dan skema yang diperlukan untuk membentuk
pengetahuan tersebut.
Pengetahuan tidak bisa
ditransfer begitu saja, melainkan harus diinterpretasikan sendiri oleh
masing-masing orang.Pengetahuan ini bukan sesuatu yang sudah ada, melainkan
suatu proses yang berkembang terus-menerus. Dalam proses itu keaktivan
seseorang sangat menentukan dalam mengembangkan pengetahuannya.
Konstruktivisme merupakan teori belajar
dari piaget. Konstruktivisme juga bagian dari teori kognitif (Muchith,
2008:71). Teori konstruktivisme dikembangkan oleh Piaget pada pertengahan
abad 20 (Sanjaya, 2009:123). Konstruktivisme adalah sebuah gerakan besar
yang memiliki posisi filosofis sebesar strategi
pendidikan. Konstruktivisme sangat berpengaruh di bidang pendidikan, dan
memunculkan metode dan strategi mengajar baru (Muijs dan Reynolds, 2008:95).
Tokoh-tokoh
aliran Konstruktivisme di antaranya adalah Jean Piaget, Von
Galserfeld, Vygotsky.
1.4.1 Analisis Teori Belajar
Kontruktivisme terhadap Pembelajaran
Teori Belajar konstruktivisme menekankan
bahwa pengetahuan adalah bentukan (kontruksi) kita sendiri. Pengetahuan
bukan juga gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan merupakan
hasil dari kontruksi kognitif melalui melalui kegiatan seseorang dengan membuat
struktur, kategori, konsep, dan sekma yang diperlukan untuk membentuk
pengetahuan baru. Padangan kontruktivistik mengemukakan bahwa realitas ada
pada pikiran seseorang. Manusia mengkonstruksi
pengalamnnya. Konstruktivistik mengarahkan perhatiannya pada bagaimana seseorang
mengkonstruksi pengetahuan dari pengalamnnya, struktur mental, dan keyakinan
yang digunakan untuk menginterpretasikan obyek dan
peristiwa-peristiwa. Pandangan konstruktivistik mengakui bahwa pikiran
dalah instrumen penting dalam menginterpretasikan kejadian, obyek, dan
pandangan dunia nyata, di mana interpretasi tersebut terdiri dari pengetahuan
dasar manusia secara individual.
Adapun pandangan
Konstruktivisme Tentang Belajar adalah sebagai berikut:
a. Konstruktivisme
memandang bahwa pengetahuan non objektif, bersifat temporer, selalu berubah dan
tidak menentu.
b. Belajar
adalah penyusunan pengetahuan dari dari pengalaman konkrit, aktifitas
kolaboratif dan refleksi dan interpretasi.
c. Seseorang
yang belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan
tergantung pengalamannya dan persepektif yang didalam menginterprestasikannya.
1.4.2 Implikasi Teori Belajar
Konstruktivisme didalam Kelas
Model konstruktivis
ini lebih menekankan pada penerapan konsep (Learning By Doing), maksudnya
adalah peserta didik belajar sesuatu melalui kegiatan manual. Dengan demikian
model konstmktivis ini lebih menekankan pada bagaimana peserta didik belajar
melalui interaksi sosial, dan pada model ini anak menemukan konsep melalui
penyelidikan, pengumpulan data, penginterprestasian data melalui suatu kegiatan
yang dirancang oleh pendidik. Dan dalam model pembelajaran konstruktivis ini
peserta didik dapat mencari pengetahuan sendiri melalui suatu kegiatan
pembelajaran seperti pengamatan, percobaan, diskusi, tanya jawab, membaca buku,
bahkan surfing di internet. Pendidik harus dapat mengembangkannya dengan
menguasai pendekatan, metoda dan model pembelajaran yang sesuai. Agar dapat
mendukung peserta didik dalam mengemukakan ide-ide, dan menumbuhkan rasa
percaya diri. Pendidikan Kecakapan Hidup (life skills) lebih luas dari
sekedar keterampilan manual.
Prinsip-prinsip umum
yang biasa dilakukan dalam pengaplikasian teori pembelajaran konstruktivisme di
kelas adalah:
a. Setiap
pendidik harus dapat memfasilitasi peserta didiknya, sehingga pengetahuan
materi yang dibangun atau dikonstruksi para peserta didik sendirisan bukan
ditanamkan oleh pendidik. Para sisiwa harus dapat secara aktif
mengasimilasikan dan mengakomodasi pengalaman baru kedalam kerangka
kognitifnya.
b. Untuk
mengajar dengan baik, pendidik harus memahami model-model mental yang digunakan
para peserta didik untuk mengenal dunia mereka dan penalaran yang
dikembangkandan yang dibuat para sisiwa untuk mendukung model-model itu.
b. Peserta
didik perlu mengkonstruksi pemahaman yang mereka sendiri untuk masing-masing
konsep materi sehingga pendidik dalam mengajar bukannya "menguliahi",
menerangkan atau upaya-upaya sejenis untuk mentransfer pengetahuan pada peserta
didik tetapi menciptakan situasi bagi peserta didik yang membantu perkembangan
mereka membuat konstruksi-konstruksi mental yang diperlukan.
c. Kurikulum
dirancang sedemikian rupa sehingga terjadisituasi yang memungkinkan pengetahuan
dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik.
d. Latihan
memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan
menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari.
e. Peserta
didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai dengan
dirinya. Pendidik hanya sebagai fasilitator, mediator, dan teman yang
membuat situasi kondusif untuk terjadinya konstruksi engetahuan pada diri
peserta didik.
2.1 Contoh Penerapan Teori Belajar di Sekolah Dasar
2.1.1 Contoh Penerapan Teori Belajar
di Sekolah Dasar Kelas Rendah
Penerapan teori
belajar kognitivisme dalam pembelajaran perkalian bilangan yang hasilnya dua
angka pada pembahasaan dikelas 2 semester 1.
Dimisalkan
para peserta didik SD/MI sudah belajar
tentang penjumlahan dan sudah menguasai penjumlahan seperti 2
+ 2 + 2 = 6. Pada pembelajaran tentang perkalian, pendidik dapat mengawali
kegiatan dengan menunjukkan adanya tiga piring yang berisi 2 kue pada setiap
piringnya seperti ditunjukkan gambar di bawah ini.
Ketika pendidik meminta
peserta didiknya untuk menentukan banyaknya kue yang ada, maka diharapkan para
peserta didik akan dengan mudah menentukan jawabannya. Ada beberapa cara yang
dapat digunakan peserta didik dan dapat diterima pendidik untuk menentukan
hasilnya, yaitu: (1) dengan membilang dari 1 sampai 6 atau (2) dengan
menjumlahkan 2 + 2 + 2 = 6. Setelah itu pendidik lalu menginformasikan bahwa
notasi lain yang dapat digunakan adalah 3 × 2. Contoh ini menunjukkan bahwa
pengetahuan yang baru tentang perkalian sudah dikaitkan atau disesuaikan dengan
pengetahuan tentang penjumlahan yang sudah dimiliki peserta didik. Kata
lainnya, perkalian telah diasimilasi sebagai penjumlahan
berulang. Selanjutnya, akan terjadi juga
perubahan pada kerangka kognitif si peserta didik.
Kerangka kognitifnya tidak hanya berkait dengan
penjumlahan saja, akan tetapi sudah berkembang atau berubah dengan penjumlahan
berulang yang dapat disebut juga dengan perkalian.
Dengan demikian
jelaslah bahwa asimilasi terjadi jika pengalaman baru peserta didik sesuai atau
memperkuat struktur kognitif yang sudah ada di benak peserta didik; sedangkan
pada akomodasi, struktur kognitif yang sudah ada di benak peserta didik berubah
akibat informasi atau pengalaman barunya. Berdasar contoh yang dikemukakan
pendidik di atas, para peserta didik akan memahami bahwa untuk menentukan hasil
5 × 2 adalah sama dengan menentukan banyaknya semua kue yang ada pada
lima piring yang berisi 2 kue pada setiap piringnya, seperti ditunjukkan gambar
di bawah ini. Dengan cara seperti ini diharapkan para peserta didik akan dengan
mudah menentukan bahwa: 5 × 2 = 2 + 2 + 2 + 2 + 2 = 10, namun pada struktur
kognitif peserta didik belum ada konsep tersebut, sehingga ia harus mengubahnya
yakni perkalian menjadi penjumlahan berulang.
2.1.2 Contoh Penerapan Teori Belajar
di Sekolah Dasar Kelas Tinggi
Penerapan teori
Belajar Konstruktivisme dalam Pembelajaran
Menghitung Nilai
Rata-Rata Pembahasan materi kelas 6 semester 2
Langkah-langkah
pembelajarannya:
a. Siapkan
beberapa menara blok yang tingginya berbeda-beda sebagai benda kongkrit bagi
anak.
b. Minta
anak untuk memotong beberapa menara blok yang lebih tinggi sesuai dengan
keinginannya.
c. Tempelkan
potongan menara blok yang tertinggi kepada menara blok yang terpendek.
Selanjutnya, potong sebagian menara blok yang lebih tinggi dan letakkan atau
tempelkan pada menara blok yang kurang tinggi. Lakukan hal ini seterusnya
hingga semua menara blok adalah sama tingginya. Tinggi menara blok tersebut
yang sudah rata disebut rata-rata tingggi.
d. Ulangi
kegiatan di atas, dengan cara yang sedikit berbeda, yaitu setiap menara blok
dipotong atau dipisahkan secara vertikal. Hal ini dilakukan secara
berturut-turut. Selanjutnya, susun hasil potongan dengan cara melintang
(horizontal), yaitu melengketkan pada kertas atau buku matematika anak.
Setelah hal ini
dilakukan oleh anak, ajak mereka untuk berpikir bagaimana jika menara blok
tersebut dibagi oleh lima orang anak sama banyak? Dari sini peserta didik
diharapkan dapat mengkonstruksi sendiri tentang konsep pembagian, yaitu
25/5 = 5. Dengan demikian, rata-rata tinggi menara blok tersebut adalah 5.
25/5 = 5. Dengan demikian, rata-rata tinggi menara blok tersebut adalah 5.
Dengan pendekatan
seperti di atas, pada akhirnya anak dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuannya
melalui aktivitas yang dilakukan. Dengan kata lain, tanpa mereka diajar
secara paksa, anak akan memahami sendiri apa yang mereka lakukan dan
pelajari melalui pengalamannya.
Referensi:
ü Mustaqim
Burham, dkk. 2008. Ayo Belajar Matematika. Jakarta: Pusat
Perbukuan DEPDIKNAS (BSE)
ü Permana
Dadi, dkk. 2009. Bersahabat Dengan Matematika. Jakarta: Pusat
Perbukuan DEPDIKNAS (BSE)
ü http://hasanudin-bio.blogspot.com/2011/05/teori-belajar-behaviorisme-kognitif.html