BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Didalam kehidupan sehari-hari terdapat
berbagai macam segi kehidupan yang harus kita taati. Pakaian merupakan salah
satu kebutuhan yang tak bisa lepas dari hidup kita sebagai manusia. Seiring
dengan perkembangan zaman, berpakaian sudah menjadi salah satu pusat perhatian
dalam kemajuan globalisasi. Berbagai macam jenis pakaian telah muncul didalam
kehidupan kita, sehingga kita harus memilih–milih yang mana yang pantas untuk
kita pakai serta tidak melanggar ajaran agama islam. Begitu juga berhias,
pengaruh dunia barat sangat besar bagi dunia kita indonesia. Alat-alat semakin
canggih, utntuk berhiaspun tak jadi hal yang sulit bagi kita.
Ajaran agam islam tak hanya membahas hal besar
bagi manusia, hal yang kecil seperti berjalan, bertamu dan menerima tamu
dianggap hal yang kecil bagi sebagian besar ummat manusia untuk dipelajari.
Kesadaran akan pentingnya aturan yang telah ada didalam Al-Qur’an terkadang
terlupakan bagi kita. Mengabaikan hal-hal kecil yang akan berakibat bagi
kehidupan sehari-hari. Melewatkan hal-hal kecil secara terus menerus membuat
kita membentuk sebuah ebiasaan yang buruk sepanjang kita lupa akan aturan.
Untuk itu, sebagian besar manusia melupakan
aturan-aturan yang telah ditetapkan. Berpakaian tidak sesuai dengan ajaran
islam, berhias berlebihan, menempuh perjalaan tanpa ingat waktu, bertamu tanpa
mengenal siapa tuan rumah, dan menerima tamu tanpa meperhatikan apa yang harus
kita lakukan.
Makalah ini dibuat agar menjadi ulasan kembali
ingatan kita dan menambah pengetahuan kita, bahwa berpakaian, bertamu dan
menerima tamu, berhias, perjalanan, mempunyai aturan tersendiri dan telah
ditetapkan dalam ajaran islam.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan
masalah dari makalah ini adalah:
1. Jelaskan pengertian dan pentingnya akhlak berpakaian, berhias, perjalanan,
bertamu dan menerima tamu?
2. Sebutkan serta jelaskan bentuk akhlak berpakaian, berhias, perjalanan,
bertamu dan menerima tamu?
3. Apa saja nilai positif dari akhlak berpakaian, berhias, perjalanan, bertamu
dan menerima tamu?
4. Bagaimana cara membiasakan akhlak berpakaian, berhias, perjalanan, bertamu
dan menerima tamu?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan kami membuat makalah ini :
1. Mengetahui pengertian dan pentingya akhlak berpakaian, berhias, perjalanan,
bertamu dan menerima tamu.
2. Mengidentifikasi akhlak berpakaian, berhias, perjalanan, bertamu dan
menerima tamu.
3. Menunjukan nilai-nilai positif dari akhlak berpakaian, berhias, perjalanan,
bertamu dan menerima tamu dalam fenomena kehidupan sehari-hari.
4. Dapat membiasakan akhlak berpakaian, berhias, perjalanan, bertamu dan
menerima tamu.
1.4 Manfaat
Banyak sekali manfaat yang dapat kita ambil
dari makalah ini
1. Mengetahui pengertian dan pentingnya akhlak berpakaian, berhias,
perjalanan, bertamu dan menerima tamu.
2. Dapat mengetahui bentuk-bentk akhlak berpakaian, berhias, perjalanan,
bertamu dan menerima tamu.
3. Dapat mengetahui nilai-nilai positif dari akhlak berpakaian, berhias,
perjalanan, bertamu dan menerima tamu.
4.
Dapat membiasakan akhlak berpakaian, berhias,
perjalanan, bertau dan menerima tamu dalam kehidupan sehari-hari.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Akhlak berpakaian
Pakaian adalah salah satu alat pelindung tubuh
manusia. Tentunya pakaian tak lepas dari kehidupan manusia. Dan semua kehidupan
manusia haruslah sesuai syariat islam, yang mana telah diatur oleh Al-Qur’an.
Maka dari itu, manusia haruslah berpakaian sesuai dengan yag telah diatur oleh
Allah SWT. Berpakaian sesuai dengan syariat islam, akan membuat kita merasa itu
adalah sebuah untuk kewajiban untuk menjaganya agar tetap dengan aturan yang
ada.
2.1.1 Pengertian
Akhlak Berpakaian
Pakaian adalah kebutuhan pokok bagi seluruh
manusia sesuai dengan situasi dan kondisi dimana seorang beradapakaian termasuk
salah satu kebutuhan yang tak bisa lepas dari siklus kehidupan manusia. Karena
pakaian mempunyai manfaat manfaat yang sangat besar bagi keidupan kita.
Melindungi tubuh kita agar tidak mengalami dan mendapatkan bahaya dari luar. Dalam
bahasa arab pakaian disebut dengan kata “Libaasun atau tsiyaabun”.
Dan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pakaian diartikan sebagai barang yang biasa
dipakai oleh seseorang baik berupa jaket, celana, sarung, selendang, kerudung,
jubah, surban, DLL.
Secara istilah, pakaian adalah segala sesuatu
yang dikenakan seseorang dalam berbagai ukuran dan modelnya berupa (baju,
celana, sarung, jubah, ataupun yang lain), yang disesuaikan dengan kebutuhan
pemakainya untuk suatu tujuan yang bersifat khusus artinya pakaian yang
digunakan lebih berorientasi pada nilai keindahan yang disesuaikan dengan
situasi dan kondisi pemakaian.
Pakaian mempunyai tujuan umum untuk melindungi
ataupun melindungi tubuh manusia agar terhindar dari bahaya yang dapat merusak
tubuh kita secara langsung melalui kontak fisik, sedangkan menurut agama lebih
mengarah kepada menutup aurat tubuh manusia, agar tidak melanggar ketentuan
syariat.[1]
2.1.2 Bentuk Akhlak Berpakaian
Didalam pandangan islam, pakaian terbagi
menjadi dua bentuk yang pertama pakaian untuk menutupi aurat tubuh sebagai
reliasi dari perintah allah bagi wanita selurh tubuhnya kecuali telapak tangan
dan wajah, dan bagi pria menutup aurat dibawah lutut dan diatas pusar. Batasan
pakaian yang telah ditetapkan oleh allah ini melahirkan kebudayaan yang sopan
dan enak dilihat oleh kita dan kita pun merasa aman dan tenang karena pakaian
kita yang memenuhi kewajaran pikiran manusia.
Sedangkan yang kedua, pakaian merupakan
perhiasan yang menyatakan identitas diri sebagai konsekuensi perkembangan
peradaban manusia. Apabila berpakaian dalam tujuan menutup aurat dalam islam, memiliki ketentuan-ketentuan yang jelas, baik dalam hal ukuran pakaian
maupun jenis pakaian yang akan dipakai. Maka dari itu, sebagai muslim kita
harus mengikuti aturan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.[2]
Pakaian yang berfungsi sebagai perhiasan
menyatakan identitas diri, sesuai dengan adat dan tradisi dalam berpakaian,
yang menjadi kebutuhan untuk menjaga dan mengaktualisasi dirinya dalam
perkembangan zaman. Setiap manusia berhak mengekspresikan dirinya lewat pakaian
yang dipakainya, tetapi tidaklah sembarangan. Tetap harus mengikuti syariat
islam.
Didalam islam, kita mengenal salah satu jenis
pakaian yang dapat menutup aurat wanita yaitu jilbab. Jilbab mempunyai berbagai
macam jenisnya, tetapi walaupun banyak ragamnya jilbab boleh dibilang jilbab
apabila dapat menutup aurat, dari atas kepala kaum hawa sampai dengan dada kaum
hawa, menutupi bagian-bagian yang harus ditutupi kecuali wajah atau muka.
Bagi wanita, aurat adalah seluruh bagian tubuh
kecuali muka dan telapak tangan, yang lain haram untuk diperlihatkankepada
masyarakat umum. Kecuali bagi mahram atau maharimnya. Bagi suaminya, wanita
atau istrinya tidak mempunyai batasan aurat.[3]
Busana muslimah haruslah mempunyai kriteria
sebagai berikut :[4]
1. Tidak jarang atau ketat
2. Tidak menyerupai laki-laki
3. Tidak menyerupai busana khusus non muslimah
4. Pantas dan sederhana
2.1.3 Nilai Positif Akhlak Berpakaian
Pakaian sangat berfungsi bagi tubuh kita,
salah satunya untuk melindungi kulit kita. Apabila kulit kita tidak terlindungi
oleh pakaian atau langsung terkena pancaran sinar ultra vilet maka kulit kita akan
terbakar dan kita bsa mengalami kangker kulit.
Pakaian juga menjaga suhu tubuh manusia agar
tetap stabil, dengan menggunakan jenis bahan pakaian tertentu, kita bisa
menjaga suhu tubuh kita. Pakaian juga bisa menjadi identitas diri kita,
‘apabila kita menggunakan pakaian yang bagus dn kelihatan nyaman, berarti kita
sudah memenuhi kriteria berpakain yang sopan, dan kita pun bisa melakukan
ibadah tanpa harus khawatir, apakah baju kita suci dan pantas untuk dipakai.
2.1.4 Membiasakan Akhlak Berpakaian[5]
Agama islam memrintahkan pemeluknya agar
berpakaian yang baik dan bagus, sesuai dengan kemampuan masing-masing. Dalam
pengertian bahwa pakaian tersebut dapat memenuhi hajat tujuan berpakaian, yaitu
menutup aurat dan keindahan.
Islam memiliki etika berbusana yang telah
diatur oleh Allah SWT didalam Al-Qur’an dan hadist. Didalam islam, kita sebagai
ummat allah tidak diperbolehkan memakai pakaian yang melanggar aturan islam,
kita tetap harus mengikuti aturan tersebut
sampai kita meninggal. Jika kita melanggar, dan tidak mau mengikuti
aturan yang telah ditetapkan oleh Allah, maka sama saja kita orang munafiq.
Zaman semakin berkembang bukan berarti kita
harus mengikuti perkembangan yang ada secara keseluruhan. Pakaian merupakan
pengaruh yang besar bagi perkembangan zaman. Karena, akibat dari perkembangan
zaman yang datangnya dari dunia barat, sangat mempengaruhi mode pakaian kita
sebagai ummat muslim. Maka dari itu biasakannlah berpakaian sesuai syariat
islam, agar tidak terpengaruh oleh pengaruh-pengaruh negatif, yang membuat kita
lupa akan Allah serta aturannya.
2.2 Akhlak Berhias
2.2.1
Pengertian Akhlak Berhias
Berhias adalah naluri yang dimiliki oleh
manusia. Berhias sudah menjadi kebutuhan bagi sebagian besar manusia, agar
dapat memperindah diri baik dilingkungan sekitar maupun diluar lingkungan.
Berhias adalah salah satu alat alat untuk mengekspresikan diri, yang
menunjukkan jat diri seseorang.
Menurut kamus besar bahasa indonesia, berhias
diartikan “usaha memperelok diri denan pakaian ataupun yang lainnya yang indah,
berdandan dengan dandanan yang idah dan menarik”. Berhias dapat memberikan
kesan indah tersendiri bagi orng lain yang melihatnya, baik dari segi pakaian,
maupun make up wajah mereka. Maka dari itu berhias dikategorikan sebagai akhlak
terpuji. Tetapi berhias juga terhadap aturannya agar tidak melanggar syariat
islam. Dalam sebuah hadist nabi SAW bersabda yang artinya : sesungguhnya Allah
itu indah dan menyukai keindahan (HR. Muslim)
2.2.2 Bentuk Akhlak Berhias[6]
Berhias bukanlah dipandang dari segi dandanan
muka, tetapi pakaian juga termasuk sesuatu yang bisa dikatan alat untuk
berhias. Pakaian kita yang sederhana bisa menjadi pakaian yang mempunyai nilai
keindahan yang tinggi apabila kita beri hiasan agar kita terlihat cantik
memakainya. Jilbab juga dapat menjadi hiasan. Sekarang sudah banyak bentuk
jilbab yang berbagai macam, dan dapat menghias diri kita agar terlihat indah
dan nyaman dipakai.
Perhiasan kita juga termasuk salah satu alat
untuk berhias. Arloji, kalung, gelang, cincin dsb. Parfum juga termasuk, tapi
kita tidak boleh lupa. Jika kita ingi berhias terhadap rambut-rambut, agar
tidak melanggar syariat yang sudah ditetapkan oleh Allah :[7]
1. Niat yang lurus, berhias hanya untuk beribadah yang diorientasikan sebagai
rasa syukur atas nikmat yang telah Allah berikan.
2. Dalam berhias tidak diperbolehkan menggunakan hiasan yang menggunakan
bahan-bahan yang dilarang agama
3. Tidak boleh menggunakan hiasan yang menggunakan simbol non muslim
4. Tidak berlebih-lebihan
5. Tidak boleh berhias seperti orang jahiliyah
6. Berhias menurut kelaziman dan kepatutan dengan memperhatikan jenis kelamin
7. Berhias bukan untuk berfoya-foya
Ketika berhias terkadang kita lupa akan
aturan, melewati batas kewajaran yang telah ditetapkan. Seringkali naluri
manusia berubah menjadi hawa nafsu yang liar. Yang akan menyebabkan manusia
terjerumus kedalam hal yang menyesatkan. Agama islam memberi batasan dalam
atika berhias
2.2.3 Nilai Positif Akhlak Berhias[8]
Berhias dapat menunjukkan kepribadian kita.
Apabila kita menggunakan hiasan yang cocok dengan diri kita, maka orang akan
menilai diri kita dengan pandangan yang berbeda ketika kita berhias. Jika kita
menggunakan arloji, jas, kerudung, maka orang lain akan memandang kita dengan
penuh pemikiran. Bahwa kita sebenarnya tidak sesederhana yang dibayangkan. Kita
bisa berorientasi dengan waktu, tanpa meninggalkan syariat islam.
Berhias memberikan pengaruh positif dalam
berbagai aspek kehidupan, karena berhias diniatkan untuk beribadah, maka setiap
langkah kita akan menjadi langkah menggapai barokah dan pahala dari Allah SWT.
Namun sebaliknya apabila berhias hanya untuk menarik perhatian orang lain untuk
tergoda dan memuji-muji kita agar kita senang sendiri, maka itu menjadi alat
yang sesat. Lupa akan Allah, dan hanya ingin dijadikan alat pemuas diri kita.
Maka yang demikian itu adalah haram.
2.2.4 Membiasakan Akhlak Berhias
Berhias merupakan kebutuhan manusia untuk
menjaga dan mengaktualisasikan dirinya menurut tuntutan perkembangan zaman.
Nilai keindahan dan kekhasan dalam berhias menjadi tuntutan yang terus
dikembangkan seiring dengan perkembangan zaman. Dalam kaitannya dengan kegiatan
berhias atau berdandan, maka setiap manusia memiliki kebebasan untuk
mengekspresikan keinginan mengembangkan berbagai mode menurut fungsi dan
momentumnya, sehingga berhias dapat menyatakan identitas dari seseorang.
Dalam islam diperintahkan untuk berhias yang baik,
bagus, dan indah sesuai dengan kemampuan masing-masing.[9]
Terutama apabila kita akan melakukan ibadah shalat maka seyogyanya perhiasan
yang kita pakai itu haruslah baik, bersih, dan indah (bukan berarti mewah),
karena mewah itu sudah memasuki wilayah berlebihan. Hal ini sesuai firman Allah
: “Hai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah disetiap (memasuki) masjid,
makan, minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (Qs. Al-A’raf : 31)
2.3 Akhlak perjalanan (safar)
2.3.1 Pengertian Akhlak Perjalanan
Perjalanan dalam bahasa arab disebut dengan
kata “rihlah atau – safar” dalam kamus besar bahasa indonesia (KBBI) perjalanan
diartikan ; “perihal” (cara, gerakan, dsb) berjalan atau bepergian dari suatu tempat
menuju tempat untuk suatu tujuan”. Secara istilah, perjalanan sebagai aktifitas
seseorang untuk keluar ataupun meninggalkan rumah dengan berjalan kaki ataupun
menggunakan berbagai sarana transportasi yang mengantarkan sampai pada tempat
tujuan dengan maksud ataupun tujuan tertentu.
Pada
zaman Rasulullah, melakukan perjalanan telah mejadi tradisi masyarakat arab.
Dalam Al-Qur’an surah Al-Quraisy yang disebut diatas, Allah mengabadikan
tradisi masyarakat arab yang suka melakukan perjalanan pada musim tertentu
untuk berbagai keperluan. Karena itu tidak heran jika islam sebagai
satu-satunya agama yang megatur kegiatan manusia dalam melakukan perjalanan,
mulai dari masa persiapan perjalanan, ketika masih berada dirumah, selanjutnya
pada saat dalam perjalanan dan ketika sudah kembali pulang dari suatu
perjalanan.
2.3.2 Bentuk Akhlak Perjalanan
Islam mengajarkan agar setiap perjalanan yang
dilakukan bertujuan untuk mencari ridho Allah. Diantara jens perjalanan (safar)
yang dianjurkan dalam islam yaitu pergi haji, umroh, menyambungkan silaturahmi,
menuntut ilmu, berdakwah, berperan di jalan Allah, mencari karunia Allah,
mencari karunia Allah dll. Perjalanan (safar) juga berfungsi untuk menyehatkan
dan merefresikan kondisi jasmani dan rohani dari kelelahan dan kepenatan dalam
menjalani suatu aktifitas.
Sebagai pedoman islam mengajarkan adab dalam
melakukan perjalanan yaitu :[10]
1. Bermusyawarahkan dan shalat istikharah
2. Mengembalikan hak dan amanat kepada pemiliknya
3. Membawa 6 benda : gunting, siwak, tempat celak, tempat air minum, cebok dan
wudhu. Hal tersebut disunnahkan rasulullah
4. Menyertakan istri ataupun anggota keluarga
5. Wanita menyertakan teman atau muhrimnya
6. Memiliki kawan pendamping yang shalih dan shalihah
7. Mengangkat pemimpin atau ketua rombongan
8. Mohon pamitan pada keluarga dan memohon do’a
2.3.3 Nilai Positif Akhlak Perjalanan[11]
Keuntungan melakukan perjalanan diantaranya
yaitu :
1. Safar dapat menghibur diri dari kesedihan
2. Safar menjadi sarana seseorang untuk memperoleh pengalaman dari
ilmu pengetahuan
3. Safar dapat mengantarkan seseorang untuk memperoleh pengalaman dan ilmu
pengetahuan
4. Dengan safar maka seseorang akan lebih banyak mengenal adap kesopanan yang
berkembang pada suatu komunitas masyarakat
5. Perjalanan akan dapat menambah wawasan dan bahkan kawan yang baik dan mulia
2.3.4 Membiasakan Akhlak Perjalanan
Sebaiknya setiap orang memikirkan terlebih
dahulu secara matang terhadap sebuah perjalanan. Niat kita haruslah baik, ingin
beribadah kepada Allah SWT. Apabila melakukan safar atau rihlah denan
perhitungan jadwal yang matang, akurat, rinci dan jelas agendanya.
Sebaiknya jika suatu perjalanan tanpa adanya
agenda yang jelas, maka akan cenderung menyia-nyiakan waktu, biaya ataupun
energi, dan bahkan akan membuka celah bagi syaitan untuk menyesatan dan akhrnya
tujuan safar tak tercapai. Dan kita harusnya bersyukur jika kita sudah berhasil
melakukan perjalanan.
2.4 Akhlak bertamu
Islam memberikan aturan yang jelas agar setiap
muslim memuliakan etika tamu yang datang, karena memuliakan tamu sebagai
perwujudan keimanan kepada Allah dan hari akhir.
2.4.1 Pengertian Akhlak Bertamu
Bertamu
merupakan tradisi masyarakat yag selalu dilestarikan. Dengan bertamu seseorang bisa
menjalin persaudaraan bahkan dapat menjalin kerja sama untuk meringankan
berbagai masalah yang dihadapi dalam kehidupan. Adakalanya seorang bertamu
karena adanya urusan yang serius, misalnya untuk mencari solusi terhadap
problema masyarakat actual, sekedar bertandang karena lama tidak bertemu
(berjumpa) ataupun sekedar untuk mampir sejenak. Dengan bertandang kerumah
kerabat atau sahabat, maka kerinduan terhadap kerabat ataupun sahabat dapat
tersalurkan, sehingga jalinan persahabatan menjadi kokoh.
Bertamu dalam bahasa arab disebut dengan kata
“ataa liziyaroti atau استضاف – يستضيف ”. Menurut kamus bahas indonesia, bertamu diartikan : “datang berkunjung
kerumah seorang teman, atapun kerabat untuk suatu tujuan atau maksud (melawat
dan sebagainya)”. Secara istilah bertamu merupakan kegiatan mengunjungi rumah
sahabat, kerabat ataupun orang lain, dalam rangka menciptakan kebersamaan dan
kemaslahatan bersama.
Tujuan bertamu sudah jelas dengan tujuan untuk
menjalin tali silaturahmi, persaudaraan ataupun persahabatan. Sedangkan bertamu
kepada orang yang belum dikenal, memiliki tujuan untuk saling memperkenalkan
diri ataupun bermaksud lain ang belum diketahui kedua belah pihak.
Bertamu merupakan kebiasaan positif dalam
kehidupan bermasyarakat dari zaman tradisional sampai zaman modern. Dengan
melestarikan kegiatan kunjung mengunjungi, maka segala persoaalan mudah
dilestarikan, segala urusan mudah diselesaikan dan segala masalah mudah
diatasi.
2.4.2 Bentuk
Akhlak Bertamu
Sebelum memasuki rumah seseorang, hendaklah
orang yang bertamu terlebih dahulu meminta izin dan mengucapkan salam kepada penghuni
rumah. Allah berfirman yang artinya : Wahai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam
kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu)
ingat.” (Qs. An-nur : 27).
Berdasarkan isyarat al-Qur’an diatas, maka
yang pertama dilakukan adalah meminta izin, baru kemudia mengucapkan salam.
Sedangka menurut mayoritas ahli fiqih berpendapat sebaliknya. Menurut
rasulullah SAW, meminta izin maksimal boleh dilakukan tiga kali.
Disampig meminta izin dan mengucapkan salam,
hal lain yang perlu diperhatikan oleh setiap orang yang bertamu sebagai
berikut:
1. Jangan bertamu sembarang waktu
2. Kalau diterima bertamu jangan terlalu lama. Setelah urusan selesai
segeralah pulang.
3. Jangan melakukan kegiatan yang membuat tuan rumah terganggu
4. Jikalau disuguhi makanan atau minuman hormatilah jamuan itu. Bahkan
rasulullah SAW. Menganjurkan kepada orang yang berpuasa sunnah sebaiknya
berbuka atau membatalkan puasanya untuk menghormati jamuannya
5. Hendaklah pamit pada waktu mau pulang
2.4.3 Nilai Positif Akhlak Bertamu
Bertamu secara baik dapat menumbuhkan sikap
toleran erhadap orang lain dan menjauhkan dari sikap paksaan, tekanan, dan
intimidasi. Islam tidak mengenal tindakan kekerasan. Bukan saja dalam
meyakinkan orang lain terhadap tujuan dan maksud baik kedatangan, tetapi juga
dalam tingkah laku dan pergaulan dengan sesama manusia harus terhindar dari
cara-cara paksaan dan kekerasan.
Dengan bertamu atau bertandang, seorang akan
mempertemukan persamaan ataupun kesesuaian sehingga akan terjalin persahabatan
dan kerjasama dalam menjalin kehidupan. Dengan bertamu, seseorang akan
melakukan diskusi yang baik , sikap yang sportif, dan elegan terhadap
sesamanya. Bertamu dianggap sebagai sarana yang efektif untuk berdakwah dan
menciptakan kehidupan masyarakat yang bermartabat.
2.4.4. Membiasakan Akhlak Bertamu
Sesungguhnya
bertamu itu merupakan suatu kegiatan yang sangat mengasyikkan. Dengan tujun bertamu seseorang dapat
menemukan manfaat, baik berupa wawasan, pengalaman berharga ataupun menikmati
segala bentuk penyambutan tuan rumah. Menurut ungkapan Al-Qur’an, sebaiknya
orang bertamu tidak memaksa untuk pada saat tidak ada orang yang dirumah. Allah
SWT berfirman yang artinya : jika kamu tidak menemui seorangpun didalamnya,
maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendpat izin. Dan jika dikatakan
kepadamu: “kembali (saja) lah, maka hendaklah kamu kembali. Itu bersih bagimu dan
Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Qs. An-Nur: 28).
Al-Qur’an memberikan isyarat yang tegas,
betapa pentingnya setiap orang yang
bertamu dapat menjaga diri agar tetap menghormati tuan rumah. Setiap tamu harus
berusaha menahan segala keinginandan kehendak baiknya sekalipun, demikian pula
apabila kegiatan bertamu telah usai, maka seorang yang bertamu harus
meninggalkan kesan yang baik dan menyenangkan bagi tuan rumah. Karena itu haram
hukumnya orang yang bertamu meninggalkan kekecewaan ataupun kesusahn bagi tuan
rumah.
2.5 Akhlak menerima tamu
Islam memberikan aturan yang jelas agas setiap
muslim memulyakan setiap tamu yang datang, karena memulyakan tamu sebagai
perwujudan keimanan kepada Allah dan hari Akhir. Penjabaran lebih lanjut akan
dijelaskan di bawah ini
2.5.1. Pengertian Akhlak Menerima Tamu
Menurut kamus bahasa Indonesia, menerima
tamu(ketamuan) diartikan: “kedatangan orang yang bertamu, melawat atau
berkunjung”. Secara istilah menerima tamu dima’nai menyambut tamu dengan
berbagai cara penyambutan yang lazim(wajar) dilakukan menurut adat atau agama
dengan maksut yang menyenangkan atau memulyakan tamu, atas dasar keyakinan
untuk mendapatkan rahmad dan ridho dari Allah.
2.5.2 Bentuk Akhlak Menerima Tamu
Islam sebagai agama yang sangat serius dalam
memberikan perhatian orang yang sedang bertamu. Sesungguhnya orang yang bertamu
telah dijamit hak haknya dalam Islam. Karena itu menghormati tamu merupakan
perhatian yang mendatangkan kemulyaan di dunia dan akhirat. Setiap muslim wajib
memulyakan tamu, tanpa membeda bedakan status sosial ataupun maksud dan tujuan
bertamu.
Memulyakan tamu dilakukan antar lain dengan
menyambut kedatangannya dengan muka manis dan tuturkata yang lemah lembut,
mempersilahkan duduk di tempat yang baik. Kalau perlu, disediakan ruangan kusus
yang selalu dijaga kerapian dan kelestariannya. Kalau tamu daang dari tempat
yang jauh dan ingin menginap, tuan rumah wajib menerima dan menjamunya maksimal
tiga hari tiga malam. Lebih dari tiga hari terserah kepada tuan rumah untuk
tetap menjamunya atau tidak. Menurut Rasulullah SAW, menjamu tamu lebih dari
tiga hari nilainya sedekah, bukan lagi kewajiban.
2.5.3
Nilai Positif Akhlak Menerima Tamu
Setia orang Islam telah diikat oleh suatu
ikatan aturan supaya hidup bertetangga dan bersahabat dengan orang lain,
sekalipun berbeda agama atau suku. Hak-hak mereka tidak boleh dikurangi dan
tidak boleh dilanggar undang-undang atau perjanjian yang mengikat diantara
sesama manusia.
Menerima tamu sebagai perwujudan keimanan,
artinya semakin kuat iman seseorang, maka semakin ramah dan santun dalam menyambut
tamunya karena orang yang beriman meyakini bahwa menyabut tamu bagian dari
perintah Allah SWT.
Menyambut tamu dapat meningkatkan akhlak,
mengembangkan kepribadian dan tamu juga dapat dijadikan sebagai sarana untuk
mendapatkan kemaslakhatan dunia maupun akhirat.
2.5.4
Membiasakan Akhlak Menerima Tamu
Menerima tamu merupakan bagian dari aspek
sosial dalam ajaran Islam yang harus terus dijaga. Menerima tamu dengan
penyambutan yang baik merupakan cermin diri dan menunjukkan kualitas
kepribadian seorang muslim. Setiap muslim harus membiasakan diri untuk
menyambut setia tamu yang datang dengan penyambutan yang penuh suka cita.
Agar dapat menyambut tamu dengan suka cita
maka tuan rumah harus menghadirkan pikiran yang positif(khusnudzon) terhadap
tamunya, janga sampai kehadiran tamu disertai dengan munculnya pikiran negatif
dari tuan rumah(suudzon). Apabila suatu saat tuan rumah merasakan berat untuk
menerima kehadira tamunya, maka tuan rumah harus tetap menunjukkan sikap yang
arif dan bijak, jangan sampai menyinggung perasaan tamu.
seharusnya setiapmuslim harus menunjukkan
sikap yang baik terhadap tamunya, menyediakan sarana dan prasarana penyambutan
yang memadahi, serta memberikan jamuan makan ataupun minum yang memenuhi tamu.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Agama Islam adalah agama yang sempurna,
mengatur manusia dalam segala aspeknya. Berpakaian, berhias, perjalanan,
bertamu serta menerima tamu tetap ada aturannya dalam Islam. Semua akhlak
tersebut adalah akhlak terpuji. Apabila kita melakukannya hanya karena Allah
SWT, tanpa ada niat yang berlebihan dan lain daripada niat kita kepada Allah
SWT.
Maka dari itu, kita tidak boleh menyalah
gunakan arti pakaian. Yang sebetulnya untuk melindungi tubuh dari bahaya serta
menutup aurat, tetapi saat ini fungsinya telah berubah untuk memamerkan bentuk
lekuk tubuh. Berhias juga tidak boleh kita salah gunakan. Haruslah sesuai
kadarnya, agar tidak menimbulkan pandangan buruk terhadap kita. Dan jangan
gunakan berhias menjadi suatu hal yang maksiat dari kita. Perjalanan adalah
suatu hal yang mulia. Hal yang suka dilakukan oleh Rasulullah SAW, dengan
mempersiapkan segala aspek, baik waktu, tujuan, makanan(bekal), serta yang
lainnya.
Bertamu dapat menyambung tali silaturahmi,
baik kepada siapapun kita bertamu, juga harus ingat aturan. Karena kita bukan
berada dalam rumah sendiri. Menerima tamu juga hal yang mulia. Menerima tamu
hukumnya wajib, kita wajib menerima tamu apabila ia berada didalam rumah kita
selama tiga hari. Apabila tamu menginap di rumah kita lebih dari tiga hari,
maka menerima ia dirumah kita bukanlah wajib lagi. Kita berhak mengusir dia
apabila mengganggu ketentraman dalam rumah. Dan menjadi sedekah apabila kita
tetap melayani ia dalam rumah kita.
3.2. Saran
1. Dalam
berpakaian, kita
sebagai muslim haruslah tetap berpakaian dengan mengikuti syariat islam, dengan
menutup aurat, tidak menggunakan pakaian yang ketat atau membentuk lekukan
tubuh. Begitu pula dengan akhlak dalam berhias, dalam melakukan
perjalanan(safar), bertamu dan menerima tamu juga tetap harus dengan aturan dan
syariat agama islam sesuai dengan apa yang diajarkan oleh nabi Muhammad SAW
dalam sunnahnya dan juga sesuai dengan yang diperintahkan Allah SWT dalam kitab
Al-Qur’an dan kitab sebelumnya
DAFTAR PUSTAKA
An-nawawi, imam. 2011. Riyadhush
Sholihin (diterjemahkan oleh Arif Rahman Hakim, Lc, dkk). Solo: Insah
Kamil.
Ayyub, Hasan. 1994. Etika Islam:
Menuju Kehidupan yang Hakiki. Bandung: Trigenda Karya.
Fatimah, Khair Muhammad. 2002. Etika
Muslim Sehari-hari. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Kathur suhardi. 2003. Inul lebih
dari segelas arak cermin masyarakat jahiliyah, Jakarta: darul falah
Madjid Hasyim, Husaini A. 1993. Syarah:
Riyadhush Shalihin 3. Surabaya: Bina Ilmu.
Rahnavard Zahra. 2003. pesan
pemberontak hijab, bogor: cahaya
Salim, A. Abdul Mun’im. 2009. Kupas
Tuntas Etika Berhias Wanita Muslimah (diterjemahkan oleh Abu Ihsan
Al-Atsari). Solo: At-tibyan.
Shihab, M. Quraish. 2009. Jilbab
Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama’ Masa Lali dan Cendikiawan
Kontemporer. Tangerang: Lentera Hati.
Syarif, Isham M. 2010. Saat
Jilbab Terasa Berat. Semanggi: Wacana Ilmiah Press.
Talhah, Abu. 2008. Tata Busana
Para Salaf. Solo: Zam-zam Mata Air Ilmu.
Uwaidah, Muhammad Kamil. 2008. Fiqih
Wanita Edisi Lengkap. Jakarta: pustaka Al-Kautsar.
Zakaria, Abu Maryam. 2003. 40
Kebiasaan Buruk Wanita. Jakarta: pustaka Al-Kautsar.
[1]
Fatimah, Muhammad Khair. Etika Muslim Sehari-hari. (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2002).
[3] H. Masjfuk
Zuhdi, masail Fiqhiyah (Jakarta: CV Haji masaagung, 1990).
[5] Syarif, M Isham . Saat Jilbab Terasa Berat. (Semanggi:
Wacana Ilmiah Press, 2010.)
[6] A. Abdul Mun’im Salim. Kupas Tuntas Etika Berhias Wanita
Muslimah (diterjemahkan oleh Abu Ihsan Al-Atsari). (Solo: At-tibyan. 2009.)
[7]A. Abdul Mun’im Salim. Kupas Tuntas Etika Berhias Wanita
Muslimah (diterjemahkan oleh Abu Ihsan Al-Atsari). (Solo: At-tibyan. 2009.)
[8] M.
Quraish Shihab. Jilbab Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama’ Masa Lalu dan Cendikiawan Kontemporer. (Tangerang:
Lentera Hati, 2009.)
[9] A. Abdul Mun’im
Salim. Kupas Tuntas Etika Berhias Wanita Muslimah (diterjemahkan oleh Abu
Ihsan Al-Atsari). (Solo: At-tibyan. 2009.)