Saturday, February 4, 2017

Karakterisasi Perkembangan Sosial dan Moral Peserta Didik



KATA PENGANTAR


Puji syukur penyusun ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan taufik, hidayah serta inayah-Nya, sehingga semua pembaca masih bisa beraktifitas sebagaimana mestinya, begitupun dengan penyususun makalah ini. Sehingga dapat tersusun makalah dengan judul “Karakteristik Perkembangan Sosial dan Moral Peserta Didik”.
Makalah ini berisi tentang definisi, tahapan, faktor yang mempengaruhi dan karakteristik perkembangan moraldan sosial peserta didik serta implikasinya dalam dunia pendidikan. Terimakasih penyususn ucapkan kepada rekan seperjuangan yang telah membantu, baik langsung berupa perbuatan dan juga tak langsung berupa doa untuk penyusunan makalah ini, sehingga dapat terselesaikan tepat waktu. Paling utama terimakasih penyusun ucapkan kepada dosen mata kuliah Psikologi Pendidikan Agama Islam, Devi Pramitha, M.Pd.I yang telah membimbing penyusun sehingga makalah ini dapat tersususn denga insyaallah baik dan benar.
Harapan penyusun, dengan tersusunnya makalah “Karakteristik Perkembangan Sosial dan Moral Peserta Didik” dapat memberikan manfaat , serta memperluas pengetahuan tentang psikologi pendidikan agama Islam tersebut untuk pembaca dan penyusunnya. Kemudian, penyusun kembali pada fitrah manusia yang tak pernah lepas dari salah dan dosa juga jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu pula penyusun meminta maaf bila terdapat kekurangan dalam makalah ini. Tak lupa untuk memperbaiki kesalahan dan kekurangan dalam makalah ini penyususn juga meminta kritik dan saran atas makalah ini.
Malang, 29 Maret 2016
Penyusun        




DAFTAR ISI

Halaman Judul................................................................................ i




BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Pendidikan merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan, dimana aspek yang menjadi subjek yang penting dalam hal ini adalah peserta didik. Pendidikan yang diberikan tidak hanya dalam lingkup akademik namun mendidik disini dimaksutkan untuk membentuk kepribadian yang sesuai dengan norma hukum dan agama. Setiap peserta didik bersifat khas dan unik karena setiap peserta didik itu berbeda.
Dalam pendidikan dan pembelajaran diperlukan sesuatu pengetahuan akan perkembangan-perkembangan yang terjadi pada peserta didik. Dimana aspek-aspek peserta didik cukup banyak seperti perkembangan fisik, perkembangan intelektual, perkembangan moral, perkembangan sosial atau kesadaran beragama atau lain sebagainya. Setiap aspek-aspek tersebut dapat dikadi berdasarkan fase-fasenya untuk membantu dalam memahami cara belajar dan tentunya sikap maupun tingkah laku peserta didik. Selain itu, aspek pembelajaran yang diberikan kepada peserta didik juga merupakan pendidikan moral sosial untuk membentuk pribadi-pribadi yang sesuai dengan harapan bangsa yang dituliskan pada tujuan pendidikan bangsa Indonesia.
Di dalam kehidupan bermasyarakat arti nilai sebuah moral sangat penting. Dalam hal ini orang dapat dikatakan bermoral apabila dalam menjalani kehidupan sesuai dengan aturan yang berlaku, dalam kehidupan manusia tidak bisa hidup sendiri atau dengan kata lain manusia dengan manusia yang lain melakukan interaksi. Pengalaman berinteraksi bagi orang lain menjadi pemicu dalam memahami tentang perilaku mana yang baik dikerjakan dan yang tidak baik dikerjakan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip moral. Perkembangan moral merupakan proses perkembangan kepribadian siswa selaku seorang anggota masyarakat dalam berhubungan dengan orang lain. Perkembangan ini berlangsung sejak masa bayi hingga akhir hayat. Perkembangan itu sendiri merupakan proses perubahan kualitatif yang mengacu pada kualitas fungsi organ-organ jasmaniah, dan bukan pada organ jasmani tersebut, sehingga penekanan arti perkembangan terletak pada kemampuan organ psikologis.
Selain itu perkembangan moral hampir dapat dipastikan merupakan perkembangan sosial, sebab perilaku mmoral pada umumnya merupakan unsur fundamental dalam bertingkah laku sosial. Seorang siswa hanya akan berprilaku sosial tertentu secara memadai apabila meguasai pemikiran norma perilaku moral yang diperlukan seperti proses perkembangan yang lainnya, proses perkembangan moral selalu berkaitan dengan proses belajar, belajar itu sendiri memiliki tujuan untuk memenuhi kebutuhan yang belum terpenuhi dengan kompetensi-kompetensi yang dimiliki. Konsekuensinya, kualitas hasil perkembangan sosial sangat bergantung pada kualitas proses belajar (khususnya belajar sosial), baik di lingungan sekolah, keluarga, maupun di lingkungan masyarakat. Jadi proses belajar sangat menentukan kemampuan siswa dalam bersikap dan berperilaku sosial yang selaras dengan norma moral agama, moral tradisi, moral hukum, dan norma moral yang berlaku didalam masyarakat.  

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, terbentuk beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud perkembangan moral dan sosial ?
2. Bagaimana tahapan-tahapan perkembangan moral dan sosial ?
3. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral dan sosial?
4. bagaimana karakteristik perkembangan moral dan sosial ?
5. Bagaimana implikasi perkembangan moral dan perkembangan sosial terhadap penyelenggaraan pendidikan ?

C.    Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian perkembangan moral dan perkembangan sosial
2. Untuk memahami tahapan-tahapan perkembangan moral dan perkembangan sosial
3. Untuk mengetahui faktor-faktor perkembangan moral dan perkembangan sosial
4. Untuk mengetahui karakteristik perkembangan moral dan perkembangan sosial
5. untuk memahami implikasi perkembangan sosial terhadap penyelenggaraan pendidikan


BAB II

PEMBAHASAN

A. Perkembangan Moral Peserta Didik

1.      Definisi Perkembangan Moral.

Secara etimologi istilah moral berasal dari bahasa latin mos, moris (adat istiadat, kebiasan, cara tingkah laku, kelakuan) mores (adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak, akhlak). Sedangkan moralits merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan prinsip-pprinsip, peraturan, dan nilai-nilai moral. Nilai-nilai moral tersebut antara lain, seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, atau larangan untuk tidak berbuat jahat kepada orang lain. Jadi, dapat disimpulkan bahwa moral merupakan tingkah laku manusia yang berdasarkan atas baik-buruk dengan landasan nilai dan norma yang berlaku didalam masyarakat. [1]
Seseorang dikatakan bermoral apabila ia mempunyai pertimbangan baik dan buruk yang ditunjukkan melalui tingkah lakunya yang sesuai dengan adat dan sopan santun. Sebaliknya seseorang dikatakan memiliki perilaku tak bermoral apabila perilakunya tidak sesuai dengan harapan sosial yang disebabkan dengan ketidak setujuan dengan standar sosial atau kurang adanya perasaan wajib menyesuaikan diri. Selain itu ada perilaku amoral atau nonmoral yang merupakan perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial yang lebih disebabkan karena ketidak acuhan terhadap harapan kelommpok sosial dari pada pelanggaran sengaja terhadap standar kelompok.
Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan mengenai apa yag seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain. Perkembangan moral juga merupakan perubahan-perubahan perilaku yang terjadi dalam kehidupan anak berkenaan dengan tata cara, kebiasaan, adat, atau standar nila yang berlaku dalam kelompok sosial. Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral akan tetapi dalam dirinya terdapat potensi moral yag siap untuk dikembangkan. Melalui pengalamannya berinteraksi dengan orang lain anak belajar memahami tingkah laku mana yang buruk atau tidak boleh dilakukan sehingga terjadi perkembangan moral anak tersebut.[2] 
Perkembangan moral dijelaskan diatas bahwa nilai-nilai moral untuk berbuat baik kepad orang lain, atau larangan untuk tidak berbuat jahat kepada orang lain. Tapi, bilamana peserta didik yang dilahirkan dikalangan yang kondisi moral masyarakatnya tidak baik. Dan dia melakukan suatu tindakan yang baik menurut lingkungannya, akan tetapi dilingkungan lain tindakan tersebut dianggap tidak baik atau tidak bermoral. Sehingga perkembangan moral yang dialami oleh peserta didik itu terasa abstrak. Karena melihat lingkungan tempat dia berkembang berbeda. Dan indikator baik dan tidak baik melihat situasi dan kondisi masyarakat yang berlaku dilingkungan tersebut.

2.      Tahapan Perkembangan Moral Peserta Didik.

Tahapan perkembangan moral Kohlberg adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya seperti yang diungkapkan oleh Lawrence Kohlberg tahapan tersebut dibuat saat dia belajar di University Of Chicago berdasarkan teori yang dia buat setelah terinspirasi hasil kerja Jean Piaget dan kekagumannya akan reaksi anak-anak terhadp dilema moral. Ia menulis disertasi Doktornya pada tahun 1998 yang menjadi awal dari apa yang sekarang disebut tahapan-tahapan perkembangan moral dari Kohlberg.
Teori itu berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari perilaku etis, mempunyai enam tahapan perkembangan yang dapat teridentifikasi. Yang mengikuti perkembangan dari keputusan moral seiring penambahan usia yang semula diteliti Piaget, yang menyatakan bahwa logika dan moralits perkembangannya melalui tahapan-tahapan konstruktif. Keenam tahapan tersebut dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:
·         Pra Konvensional
·         Konvensional
·         Pasca-Konvensional
Tingkatan pra konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak, walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang berada dalam tingkat pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris.
Dalam Tahap Pertama, individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Contoh: suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman yang diberikan dianggap semakin salah tindakan tersebut. Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis pandangan otoriterisme.[3] 
Tahap Dua, menempati posisi apa untungnya buat saya perilaku yang benar didefinisikan dengan apa yang paling dinikmatinya. Penalaran tahap kedua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpegaruh terhadap kebutuhannya sendiri, seperti “kamu garuk punggungku, dan aku juga akan garuk punggungmu.” Dalam tahap dua perhatian kepada orang lain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang bersikap intrinsik. Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat pra-konvensional, berbeda dengan  kontak sosial, sebab semua tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua perspektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara normal.
Konvensional pada umumnya pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang ditahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat.pasca-konvensional
Kenyataan bahwa individu-individu adlah intensitas yang terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat sebelum perspektif masyarakat. Akibat hakikat mendahului orang lain ini membuat tingkatan pasca-konvensional sering tertukar dengan perilaku pra-kovensional.[4]
Dalam penjelasan perkembangan moral pada peserta didik diatas, perlu adanya pengawasan dan kontrol serta arahan dari lingkungan keluarga, moral, maupun masyarakat. Agar peserta didik ini memliki moral yang baik di masyarakat kelak.  

3.      Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Moral

perkembangan adalah proses perubahan kualitatif yang mengacu pada kualitas fungsi organ-organ jasmaniah dan bukan pada organ jasmani. Arti perkembangan terletak pada peyempurnaan fungsi psikologis yang termanifestasi pada kemampuan organ fisiologis dan proses perkembangan akan berlangsung sepanjang kehidupan manusia. Dalam perkembangan moral tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal seperti berikut:
a. konsisten dalam mendidik anak, ayah dan ibu harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam melarang dan membolehkan tingkah laku tertentu kepada anak. Suatu tingkah laku anak yang dilarang oleh orangtua pada suatu waktu, harus juga dilarang apabila dilakukan kembali pada waktu lain.
b. sikap orangtua dalam keluarga, secara tidak langsung, sikap orang tua terhadap anak, sikap ayah terhadap ibu, atau sebaliknya dapat mempengeruhi perkembangan moral anak, yaitu melalui proses peniruan (imitasi). Sikap orangtua yang otoriter cenderung melahirkan sikap disiplin kepad seorang anak, sedangkan sikap yang acuh tak acuh, atau sikap masa bodoh, cenderung mengembangkan sikap tidak bertanggung jawab dan kurang memperdulikan norma pada diri anak. Sikap yang sebaiknya dimilik oleh orang tua adalah sikap kasih sayang, keterbukaan, musyawarah dan konsisten.
c. penghayatan dan pengamalan agama yang dianut, orangtua merupakan panutan bagi anak, disini termasuk panutan dalam mengamalkan ajaran agama. Orangtua yang menciptakan iklim yang religius (agamis), dengan cara membersihkan ajaran atau bimbingan tentang nilai-nilai agama kepada anak, maka anak akan mengalami perkembangan moral yang baik.
d. sikap konsisten orangtua dlam menerapkan norma, orangtua yang tidak menghendaki anaknya berbohong atau berlaku tidak jujur, maka mereka harus menjauhkan dirinya dari perilaku berbohong atau tidak jujur. Apabila orangtua mengajarkan kepada anak agar berlaku jujur, bertutur kata yang sopan, bertanggung jawab atau taat beragama, tetapi orangtua menampilkan perilaku yang sebaliknya, maka anak akan mengalami konflik pada dirinya, dan akan menggunakan ketidak konsistenan orangtua sebagai alasan untuk tidak melakukan apa yang diinginkan oleh orangtuanya, bahkan mungkin dia akan berperilaku seperti orangtuanya.[5]
Faktor yang mempengaruhi perkembangan moral anak sebagaimana yang dijelaskan diatas, alangkah orangtua juga menyadari bahwa apa yang mereka perlihatkan dan mereka ajarkan kepada anak akan terekam di ingatan anak. Dan akan menjadi contoh berperilaku mereka. Jadi untuk orangtua harus mengawasi dan mengontrol dengan hati-hati perkembangan moral anak baik dilingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.

4.      Karakteristik Perkembangan Moral Peserta Didik

dari beberapa penjelasan diatas dapat kita ketahui karakteristik-karakteristik perkembangan moral diantaranya, Meningkatkan kemampuan kognitif dari berfikir kongkrit menjadi kemampuan berfikir abstrak. Peningkatan kemampuan berfikir berkaitan dengan peningkatan kemampuan bertingkah laku moral. Dengan dicapainya kemampuan berfikir abstrak, dan mampu memecahkan masalah-masalah yang bersifat hipotesis maka pemikiran remaja terhadap suatu permasalahan tidak lagi hanya terikat pada waktu, tempat, dan situasi, tetapi juga pada sumber moral yang menjadi dasar hidup mereka. Perkembangan pemikiran moral remaja dicirikan dengan mulai tumbuhnya kesadaran akan kewajiban mempertahankan kekuasaan dan pranata yang ada karena dianggap sesuatu yang bernilai, walau belum mampu mempertanggung jawabkannya secara pribadi. Pada perkembangan moral ini anak atau peserta didik mempunyai dorongan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai baik oleh orang lain. Anak berperilaku bukan hanya untuk memenuhi kepuasan fisiknya, tetapi psikologis. Adanya penerimaan dan penilaian positif dari orang lain terhadap perbuatannya.[6] 
Karakteristik yang dijelaskan, timbul kesadaran bagi peserta didik dengan kondisi dan situasi yang ada memberika ia kematangan dalam berfikir kongkrit tentang apa yang ia butuhkan dalam kehidupannya.


5.      Implikasi Perkembangan Moral Terhadap Dunia Pendidikan

Perkembangan moral anak dapat berlangsung memalui beberapa cara, salah satunya melalui pendidikan langsung. Pendidikan langsung yaitu melalui penanaman pengertian tentang tingkah laku yang benar-salah atau baik-buruk oleh orangtua dan gurunya. Selain lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan juga menjadi sarana kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan moral peserta didik. Untuk itu, sekolah diharapkan dapat berfungsi sebagai kawasan yang sejuk untuk melakukan sosialisasi bagi anak-anak dalam perkembangan moral dan segala aspek kepribadiannya.
Pendidikan moral dikelas hendaknya dihubungkan dengan kehidupan yang ada diluar kelas. Dengan demikian, pembinaan perkembangan moral peserta didik sangat penting karena percuma saja jika mendidik anak-anak hanya untuk menjadi orangtua yang berilmu pengetahuan, tetapi jiwa dan wataknya tidak dibangun dan dibina.[7]
Penjelasan implikasi perkembangan moral merupakan pemberian pengetahuan dan teladan yang baik dan seimbang yang akan dapat dirasakan hasil yang baik pula oleh diri peserta didik sendiri, keluarganya, lingkungan dan masyarakat.

B. Perkembangan Sosial Peserta Didik

1.      Definisi Perkembangan Sosial

Pada pembahasan berikut ini, terdapat beberapa pengertian mengenai perkembangan sosial yang dikemukakan oleh para ahli, diantaranya seperti berikut ini: Menurut Hurlock, perkembangan sosial berarti “perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntunan sosial”. Menjadi orang yang mampu bermasyarakat (sozialized) memerlukan tiga proses. Diantaranya adalah belajar berprilaku yang dapat diterima secara sosial.[8] Sedangkan menurut Ahmad Susanto, perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Dapat juga diartika sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral dan tradisi, meleburkan diri menjadi satu kesatuan dan saling berkomunikasi serta bekerja sama.[9]
Perkembangan sosial biasanya dimaksudkan sebagai perkembangan tingkah laku anak dalam menyesuaikan diri dengan aturan-aturan yang berlaku didalam masyarakat dimana anak berada. Perkembangan sosial diperoleh dari kematangan dan kesempatan belajar dari berbagai respons lingkungan terhadap anak. Dalam periode prasekolah, anak dituntut untuk mampu menyesuaikan diri dengan berbagai orang dari berbagai tatanan, yaitu keluarga, sekolah, dan teman sebaya. Menurut berbagai pendapat diatas, perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Baik itu dalam tatanan keluarga, sekolah dan masyarakat.

2.      Tahapan Perkembangan Sosial Peserta Didik dan Bentuk-Bentuk Tingkah Laku Sosial

Menurut Abu Ahmadi yang mengutip dark Charlotte Buhler menjelaskan, tingkatan perkembangan sosial anak menjadi 4 (empat) tingkatan sebagai berikut:
a. Tingkatan Pertama
Sejak dimulai umur 0,4/0,6 tahun, anak mulai mengadakan reaksi positif terhadap orang lain, antara lain ia tertawa karena mendengar suara orang lain.
b. Tingkatan Kedua
Adanya rasa bangga dan segan yang terpancar dalam gerakan dan mimiknya, jika anak tersebut dapat mengulangi yang lainnya. Contoh: anak yang berebut benda atau mainan, jika menang dia akan kegirangan dalam gerak dan mimik. Tingkatan ini biasa terjadi pada anak usia ±2 tahun keatas.
c. Tingkatan Ketiga
Jika anak lebih dari umur ±2 tahun, mulai timbul perasaan simpati (rasa setuju) atau rasa antipati (tidak setuju) kepada orang lain, baik yang sudah dikenalnya atau belum.
d. Tingkatan Keempat
Pakhir masa tahun kedua atau akhir masa umur dua tahun, anak telah menyadari akan pergaulannya dengan anggota keluarga, anak timbul keinginan untuk ikut campur dalam gerak dan lakunya. Dan pada usia empat tahun, anak makin senang bergaul dengan anak lain terutama teman yang usianya sebaya. Ia dapat bermain dengan anak lain berdua atau bertiga, tetapi bila lebih banyak anak lagi biasanya mereka akan bertegkar. Kemudian pada usia 5-6 tahun ketika memasuki usia sekolah, anak lebih mudah diajak bermain dalam suatu kelompok. Ia juga mulai memilih teman bermainnya, entah tetangga atau teman sebayanya yang dilakukan diluar rumah.[10]
Penjelasan diatas ditunjukkan pada perkembangan sosial anak usia dini. Dimana pada usia dini mereka sudah memulai berinteraksi dengan individu lain, meskipun masih dalam lingkup yang kecil. Pada awal manusia dilahirkan belum bersifat sosial, dalam artian belum memiliki kemampuan dalam berinteraksi dengan orang lain. Kemampuan sosial anak diperoleh dari berbagai kesempatan dan pengalaman bergaul dengan orang-orang dilingkungannya.
Ditinjau dari sudut psikososial, pendidikan adalah upaya penumbuh kembang sumber daya manusia melalui proses hubungan interpersonal (hubungan antar pribadi) yang berlangsung dalam ligkungan masyarakat yang terorganisir, dalam hal ini masyarakat, pendidikan dan keluarga. Sedangkan dalam merespon pelajaran dikelas misalnya, siswa bergantung pada persepsinya terhadap guru pengajar dan teman-teman sekelasnya. Positif atau negatifnya persepsi siswa terhadap guru dan teman-teman itu sangat mempengaruhi kualitas hubungan sosial para siswa dengan lingkungan sosial kelasnya dan bahkan mungkin dengan lingkungan sekolahnya.[11]
Hubunan sosial dimulai dari tingkat yang sederhanadan terbatas yang didasari oleh kebutuhan yang sederhana. Semakin dewasa dan bertambah umur, kebutuhan manusia menjadi semakin kompleks dan dengan demikian tingkat hubungan sosial juga berkembang amat kompleks. Dari kutipan diatas dapatlah dimengerti bahwa semakin bertambah usia anak, maka semakin kompleks perkembangan sosialnya karena anak semakin membutuhkan untuk berinteraksi dengan orang lain.
Perkembangan sosial yang terjadi mulai dari tahap pertama hingga tahap keempat yang dijelaskan diatas, peserta didik perlu adanya arahan dan kontrol orangtua, lingkungan dan masyarakat. Agar tahapan yang dilalui oleh anak dapat menjadi perkembangan sosial yang baik bagi anak.

3.      Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Sosial

Perkembangan sosial dipegaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: keluarga, kematangan anak, status ekonomi keluarga, tingkat pendidikan, dan kemampuan mental terutama emosi dan intelegensi[12].
a.                  Keluarga, keluarga merupakan lingkungan pertama yang memberikan pengaruh terhadap berbagai aspek perkembangan anak, termasuk perkembangan sosialnya. Kondisi dan tatacara kehidupan keluarga merupakan lingkungan yang kondusif bagi sosialisasi anak didik. Di dalam keluarga berlaku norma norma kehidupan keluarga, dan dengan demikian pada dasarnya keluarga merekayasa perilaku kehidupan anak. Proses tujuan pendidikan yang mengembangkan kepribadian anak lebih banyak ditentukan oleh keluarga, pola pergaulan dan bagaimana norma dalam menetapkan diri terhadap lingkungan yang lebih luas ditetapkan dan diarahkan oleh keluarga.
b.                 Kematangan anak, bersosialisasi merupakan kematangan fisik dan psikis untuk mampu mempertimbangkan dalam proses sosial, memberi dan menerima pendapat orang lain, memerlukan kematangan intelektual dan emosional. Disamping itu, kemampuan berbahasa ikut pula menentukan.
c.                  Status social ekonomi, kehidupan sosial banyak dipengaruhi oleh kondisi atau status kehidupan sosial keluarga dalam lingkungan masyarakat.masyarakat akan memandang anak, bukan sebagai anak yang independent, akan tetapi akan dipandang dalam konteksnya yang utuh dalam keluarga anak itu. “ia anak siapa?”, secara tidak langsung dalam pergaulan sosial anak, masyarakat dan kelompoknya akan memperhitungkan norma yang berlaku didalam keluarganya. Dari pihak anak itu sendiri, perilakunya akan banyak memperhatikan kondisi normatif yang telah ditanamkan oleh keluarganya. Sehubungan dengan itu, dalam kehidupan sosial anak akan senantiasa “menjaga” status sosial dan ekonomi keluarganya. Dalam hal tertentu, maksud menjaga status sosial keluarganya itu mengakibatkan menetapkan dirinya dalam pergaulan sosial yang tidak tepat. Hal ini dapat berakibat lebih jauh, yaitu anak jadi lebih toleransi dari kelompoknya. Akibat lain mereka akan memebentuk kelompok elit lain dengan normatif dirinya.
d.                 Pendidikan, pendidikan merupakan proses sosialisasi terarah. Hakikat pedidikan sebagai proses pengoperasian ilmu yang normatif, akan memberikan warna kehidupan sosial anak didalam masyarakat dan kehidupan mereka dimasa yang akan datang. Pendidikan dalam arti luas harus diartikan bahwa perkembangan anak dipengaruhi oleh kehidupan keluarga, masyarakat dan kelembagaan. Penanaman norma perilaku yang benar secara sengaja diberikan kepada peserta didik yang belajar dikelembagaan pendidikan (sekolah). Kepada peserta didik bukan hanya diperkenalkan kepada norma-norma lingkungan dekat, tetapi dikenalkan dengan norma lingkungan bangsa (nasional) dan norma kehidupan antar bangsa. Etik pergaulan membetuk perilaku kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
e.                  Kapasitas mental, emosi, dan intelegensi kemampuan berfikir banyak mempengaruhi berbagai hal, hasil kemampuan belajar, memecahkan masalah, dan berbahasa. Anak yang berkemampuan intelektual tinggi akan berkemampuan berbahasa secara baik. Oleh karena itu kemampuan intelektual tinggi, kemampuan berbahasa baik, dan pengendalian emosional secara seimbang sangat menetukan kebarhasilan dalam perkembangan sosial anak. Sikap saling pengertian dan kemampuan memahami orang lain merupakan modal utama dalam kehidupan sosial dan hal ini akan dengan mudah dicapai oleh remaja yang berintelektual tinggi.
Pendapat lain proses sosialisasi induvidu terjadi di tiga lingkungan utama, yaitu linkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat. Yang pertama, lingkungan keluarga, anak mengembangkan pemikiran sendiri yang merupakan pengukuhan dasar emosional dan optimisme sosial melalui frekuensi dan kualitas interaksi dengan orang tua dan saudara-saudaranya. Proses sosialisasi ini turut mempengaruhi perkembangan sosial dan gaya hidup dihari-hari yang akan datang. Ada sejumlah faktor dalam keluarga yang sangat dibutuhkan oleh anak dalam proses perkembangan sosialnya, yaitu kebutuhan rasa aman, duhargai, disayangi, diterima, dan kebebasan untuk menyatakan diri.
Kedua, lingkungan sekolah. Anak belaar membina hubungan dengan teman-teman sekolahnya yang datang dari berbagai keluarga dan status dan wearna sosial yang berbeda. Perluasan lingkungan sosial dalam sosialisasinya merupakan faktor yang menantang atau mencemaskan dirinya. Para guru dan teman-teman sekelas membentuk suatu sistem yang kemudian menjadi semacam lingkungan norma bagi dirinya. Selama tidak ada pertentangan, selama itu pula anak tidak akan mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri. Namun, jika salah satu kelompok lebih kuat dari lainnya, anak akan menyesuaikan dirinya dengan kelompok dimana dirinya dapat diterima dengan baik.
Ketiga, dalam lingkungan masyarakat anak akan dihadapakan dengan berbagai situasi dan masalah kemasyarakatan. Sebagaimana lingkungan keluarga dan sekolah maka iklim kehidupan dalam masyarakat yang kondusif juga sangat diharapkan kemunculannya dalam perkembangan sosial.[13]
Menurut penjelasan di atas dari aspek lingkungan keluarga, kondisi ekonomi dan pendidikan berhubungan dengan perkembangan sosial kematangan anak dalam berinteraksi, sekolah menjadi pengembang dan pembentuk serta masyarakat sebagai wadah bagi anak untuk mengaplikasikannya memiliki peran yang penting dalam memberikan pengaruhnya dalam perkembang sosial anak.

4.      Karakteristik Perkembangan Sosial Peserta Didik

Pada usia ini anak mulai memiliki kesanggupan menyesuaikan diri sendiri (egosentris) kepada sikap yang kooperatif (bekerja sama) atau sosiosentris (mau memperhatikan kepentingan orang lain). Berkat perkembangan sosial anak dapat menyesuaikan dirinya dengan kelompok teman sebayanya maupun dengan lingkungan masyarakat sekitarnya. Dalam proses belajar di sekolah, kematangan perkembangan sosial ini dapat dimanfaatkan atau dimaknai dengan memberikan tugas-tugas kelompok, baik yang membutuhkan tenaga fisik maupun tugas yang membutuhkan pikiran. Hal ini dilakukan agar peserta didik belajar tentang sikap dan kebiasaan dalam bekerja sama, saling menghormati dan bertanggung jawab.
Pada masa remaja berkembang “social cognition”, yaitu kemampuan untuk memahami orang lain. Remaja memahami orang lain sebagai individu yang unik, baik menyangkut sikap pribadi, minat, nilai-nilai, maupun perasaannya. Pada masa ini juga berkembang sikap “conformity”, yaitu kecendrungan untuk menyerah atau mengikuti opini, pendapat, nilai-nilai, kebiasaan, kegemaran atau keinginan orang lain (teman sebaya). Apabila kelompok teman sebaya yang diikuti menampilkan sikap dan perilaku yang secara moral dan agama dapat dipertanggungjawabkan maka kemungkinan remaja tersebut akan menampilkan pribadinya yang baik. Sebaliknya, apabila kelompoknya itu menampilkan pribadi yang melecehkan nilai-nilai moral maka sangat dimungkinkan remaja akan melakukan perilaku seperti kelompoknya tersebut.
Selama masa dewasa, dunia dan personal dari individu menjadi lebih luasdan kompleks dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Pada masa dewasa ini, individu memasuki peran kehidupan yang lebih luas. Pola dan tingkah laku sosial orang dewasa berbeda beberapa hal dari orang yang lebh muda. Perbedaan tersebut tidak disebabkan oleh perubahan fisik da kognitif yang berkaitan dengan penuaan, tetapi lebih disebabkan oleh peristiwa-peristiwa kehidupan yang dihubungkan dengan keluarga dan pekerjaan. Selama periode ini orang melibatkan diri secara khusus dalam karir, pernikahan dan hidup berkeluarga. Menurut Erikson, perkembangan psikososial selama masa dewasa dan tua ini ditandai denga tiga gejala penting, yaitu keintiman, generatif dan integritas.[14]
Penjelasan diatas memberikan gambaran bahwa anak yang mengalami perkembangan sosial perlu adanya kontrol dari orang tua agar tidak mudah meniru dan mengimitasi perilaku anak sebaya yang kurang baik. Sehingga orang tua tidak hanya memberikan, menyerahkan segalanya pada guru disekolah. Tetapi orang tua juga memerlukan evaluasi terhadap anak agar perkembangan sosial anak dalam berinteraksi dapat berjalan dengan baik.

5.      Implikasi Perkembangan Sosial Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan

Sikap menentang dan sikap canggung dalam pergaulan akan menimbulkan hubungan sosial yang kurang serasi. Dimana masa yang dilalui peserta didik belum memahami benar tentang norma-norma sosial yang berlaku dalam bermasyarakat dan masa mereka masih dalam tahap mencari jati diri. Oleh karena itu, diperlukan adanya upaya pengembangan hubungan sosial yang diawali dari lingkungan keluarga, sekolah, serta lingkungan masyarakat.
1.      Lingkungan Keluarga
Orangtua hendaknya mengakui keberadaan anak, sebagai mana dalam faktor yang mempengaruhi anak merasa bahwa dirinya dihargai, diterima, dicintai, dan dihormati oleh orangtua dan anggota keluarga lainnya. Sehingga keluarga dapat memberikan kebebasan terbimbing untuk mengambil keputusan dan tanggung jawab sendiri. Iklim kehidupan keluarga yang memberikan kesempatan secara maksimal terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak akan dapat embantu anak memliki kebebasan psikologis untuk mengungkapkan perasaannya. Dalam konteks bimbingan orangtua terhadap remaja, Hoffman (1989) mengemukakan tiga jenis pola asuh orangtua yaitu :
A.    Pola asuh bina kasih (induction), yaitu pola asuh yang diterapkan orangtua dalam mendidik anaknya dengan senantiasa memberikan penjelasan yang masuk akal terhadap setiap keputusan dan perlakuan yang diambil oleh anaknya.
B.     Pola asuh unjuk kuasa (power assertion), yaitu pola asuh yang diterapkan orang tua dalam mendidik anaknya dengan senantiasa memaksakan kehendaknya untuk dipatuhi oleh anak meskipun anak tidak menerimanya.   
C.     Pola asuh lepas kasih (love withdrawal),  yaitu pola asuh yang diterapkan orangtua dalam mendidik anaknya dengan cara menarik sementara cinta kasihnya ketika anak tidak menjalankan apa yang dikehendaki orangtuanya, tetapi jika anak sudah mau melaksanakan apa yang dikehendaki oleh orangtuanya maka cinta kasihnya itu dikembalikan seperti sediakala.
Dalam konteks pengembangan kepribadian remaja, termasuk didalamnya pengembangan hubungan sosial, pola asuh yang disarankan oleh Hoffman (1989) untuk diterapkan adalah pola asuh bina kasih (induction). Artinya, setiap keputusan yang diambil oleh orangtua tentang anaknya atau setiap perlakuan yang diberikan orangtua terhadap anaknya harus senantiasa disertai dengan penjelasan atau alasan yang rasional. Dengan cara demikian anak dapat mengembangkan pemikirannnya untuk kemudian mengambil keputusan mengikuti atau tidak terhadap perlakuan atau keputusan orangtuanya.[15]
2.      Lingkungan Sekolah
Didalam mengembangkan hubungan sosial, guru juga harus mampu mengembangkan peroses pendidikan yang bersifat demokratis, guru harus berupaya agar pelajaran yang diberikan selalu cukup menarik minak anak, sebab tidak jarang anak menganggap pelajaran yang diberikan guru kepadanya tidak bermanfaat. Tugas guru tidak hanya semata-mata mengajar tetapi juga mendidik. Artinya, selain menyampaikan pelajaran sebagai upaya mentransfer pengatahuan kepada peserta didik, juga harus membina para peserta didik menjadi manusia dewasa yang bertanggung jawab. Dengan demikian, perkembangan hubungan sosial dapat berkembang secara maksimal.  
3.      Lingkungan Masyarakat
A.    Penciptaan kelompok sosial remaja perlu dikembangkan untuk memberikan rangsangan kepada mereka kearah perilaku yang bermanfaat.
B.     Perlu sering diadakan keiatan sosial atau masyarakat seperti kerja bakti, bakti karya untuk dapat mempelajari para remaja dalam bersosialisasi kepada sesamanya dalam nasyarakat.[16]
Penjelasan diatas dapat difahami bahwa sistem dalam setiap lingkungan perlu perpaduan dan tidak bisa setiap lingkungan berdiri sendiri. Perlu keseimbangan dalam ketiga lingkungan tersebut.


BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

B.     Saran

Adapun saran yang dapat kami sampaikan, setelah kami mengkaji tentang perkembangan moral dan sosial pada peserta didik adalah :
1.      Orangtua didalam rumah harus bertanggung jawab dalam mendidik moral anaknya.
2.      Guru disekolah atau dosen dikampus juga sangat bertanggung jawab mendidik moral anak didiknya, karena guru ataupun dosen tidak hanya sebagai pengajar tetapi juga lebih ditekankan pada seorang pendidik yang tidak hanya menjadikan peserta didiknya pintar dalam keilmuan tetapi juga harus pintar dalam bertindak dan bersikap (berakhlak).
3.      Masyarakat juga harus ikut serta mencegah anak yang amoral dan mendukung anak yang bermoral tanpa melakukan diskriminasi terhadap anak yang amoral tetapi membinanya agar anak bermoral.
Upaya pengembangan nilai, moral dan sikap diharapkan dapat menjadikan seseorang menjadi individu yang diharapkan yakni melalui penciptaan komunikasi serta penciptaan iklim lingkungan yang serasi.


DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi Abu, Munawar Sholeh, Psikologi Perkembangan, jakarta: PT. Rieka Cipta, 2005
Al-Mighwar, Muhammad, Psikologi Remaja, Jakarta: Pustaka Setia, 2006
Ali Mohammad. Asrori Mohammad, psikologi Remaja Peserta Didik, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012
B. Hurlock, Elizabeth, Perkembangan Anak Jilid I, Jakarta: Penerbit Erlangga, 1995
Hartinah Siti, Pengembangan Peserta Didik, Bandung: Reflika Aditama, 2008
http://abstrak.web.id/unggah/berkas/pdf/Contoh-Makalah.pdf, pada rabu, 17 februari 2016. Pukul: 09.30
Sunarto dan B. Agung Hartono, Perkembangan Peserta Didik, Jakarta: Rineka Cipta, 2002
Sunanto Ahmad, perkembangan Anak Usia Dini, Pengantar dalam Berbagai Aspeknya, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012
Syah Muhibbin, Psikologi Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset, 2014
Yusuf LN, Syamsu, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung: Remaja Posdakarya, 2007


[1] Dr. Syamsu Yusuf LN, M.Pd, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, bandung: Remaja Posdakarya, 2007, hlm. 132
[2] Muhammad Al-Mighwar, M.Ag, Psikologi Remaja, Jakarta: Pustaka setia, 2006, hlm. 139
[3] Sunarto dan B. Agung Hartono, Perkembangan Peserta Didik, Jakarta: Rineka Cipta, 2002, hlm. 169
[4] Ibid, hlm. 170
[5] Dr.Syamsu Yusuf LN, M.Pd, Psikologi Perkembangan Anak Dan Remaja, Bndung: Remaja Posdakarya, 2007, hlm. 133-134
[6] Siti Hartinah, Pengembangan Peserta Didik, Bandung: Reflika Aditama, 2008, hlm. 82
[7] Elizabet B. Hurlock, Perkembangan Anak Jilid I, jakarta: Erlangga, 1995, hlm 170
[8] Ibid. hlm 250
[9] Ahmad Susanto, Perkembangan Anak Usia Dini, Pengantar dalam berbagai aspeknya, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012, hlm. 40
[10] Abu Ahmadi. Munawar Sholeh, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: PT. Rieka Cipta, 2005), hlm. 102-103
[11] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset, 2014), hlm.74
[12] Dikutip dari http://abstrak.web.id/unggah/berkas/pdf/contoh-makalah.pdf, pada  rabu 17 februari 2016. Pukul: 09.30 WIB
[13] Mohammad Ali. Mohammad Asrori, Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik(Jakarta:PT Bumi Aksara, 2012), hlm. 93-97
[15] Ibid, hlm. 102.

No comments:

Post a Comment