ABSTRAK
Pada umumnya metode yang digunakan dalam proses
pembelajaran yaitu metode ceramah, yaitu penjelasan yang dilontarkan oleh
seorang pendidik kepada peserta didik. Tidak hanya itu tetapi juga berbagai
macam metode telah dilakukan oleh seorang pendidik untuk memunculkan sikap
semangat para peserta didik dalam proses pembelajaran.
Namun demikian bukan berarti peserta didik
tidak akan mengalami kejenuhan, melainkan seiring berjalannya waktu peserta
didik juga merasa jenuh dengan metode yang menurut mereka monoton. Hingga
muncul metode-metode baru yang sekiranya bisa membuat pendidik nyaman dan
peserta didik juga bisa menerima materi dengan baik.
Banyak tokoh yang memiliki metode-metode
pendidikan Islam tersendiri yang dikembangkannya. Bukan hanya kalangan luar negeri
melainkan juga dari tokoh dalam negeri. Di dalam makalah ini, akan dibahas
tentang berbagai metode pendidikan Islam yang dikembangkan oleh para tokoh
pendidikan di dunia Islam. Yang nantinya suatu metode ini bisa dijadikan
pedoman dalam hal untuk mengimplementasikan rencana-rencana pendidikan yang ada
disuatu lembaga pendidikan.
Kata
kunci : Metode Pendidikan
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari khususnya
ruanglingkup pendidikan, sering kita mendengar tentang pendekatan, strategi, metode,
model, taktik, dan teknik. Keenam istilah tersebut dipahami sebagai struktur
berurutan. Salah satu struktur yang digunakan dalam proses pembelajaran PAI
adalah metode.
Metode merupakan suatu jalan yang dilalui untuk
mencapai tujuan.[1]
Metode juga dapat diartikan sebagai suatu cara yang harus dilalui untuk
menyajikan bahan pelajaran agar tercapai tujuan pengajaran.[2]
Banyak tokoh-tokoh yang memiliki beberapa metode yang digunakannya dalam
menyampaikan materinya.
Didalam makalah ini, penulis akan membahas
tentang metode yang sering digunakan dalam proses pembelajaran PAI serta
tokoh-tokoh dan metode yang telah dikembangkannya.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
metode yang sering digunakan dalam proses pembelajaran PAI?
2.
Bagaimana
pendapat beberapa tokoh mengenai metode-metode pendidikan Islam ?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
metode yang sering digunakan dalam proses pembelajaran PAI.
2.
Mengetahui
pendapat beberapa tokoh mengenai metode-metode pendidikan Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Metode Pendidikan
dalam Proses Pembelajaran PAI
Sebelum menjelaskan macam-macam metode
pendidikan Islam terlebih dahulu dijelaskan tentang pendekatan dalam pendidikan
Islam. karena metode lahir untuk merealisasikan pendekatan yang telah
ditetapkan sebelumnya. Metodologi pendidikan Islam yang dinyatakan dalam
Al-Qur’an menggunakan sistem multi approach yang meliputi antara lain
pendekatan religious, pendekatan filosofis, pendekatan rasio-kultural, dan
pendekatan scientific.
Berdasarkan multi approach tersebut, penggunaan
metode harus dipandang secara komprehensif terhadap anak. Karena anak didik
tidak saja dipandang dari segi perkembangan, tetapi juga harus dilihat dari
berbagai aspek yang mempengaruhinya. Beberapa metode pengajaran yang dikenal
secara umum, antara lain adalah :
1.
Metode
ceramah, memberikan pengertian dan uraian suatu masalah.
2.
Metode
diskusi, memecahkan masalah dengan berbagai tanggapan.
3.
Metode
eksperimen, mengetahui proses terjadinya suatu masalah.
4.
Metode
demonstrasi, menggunakan praga untuk memperjelas sebuah masalah.
5.
Metode
pemberian tugas, dengan cara member tugas tertentu secara bebas dan bertanggung
jawab.
6.
Metode
sosiodrama, menunjukkan tingkah laku kehidupan.
7.
Metode
drill, mengukur daya serap terhadap pelajaran.
8.
Metode
kerja kelompok.
9.
Metode Tanya
jawab.
10. Metode proyek, memecahkan masalah dengan
langkah-langkah secara ilmiah, logis, dan sistematis.[3]
Banyak kalangan menilai bahwa metode
pembelajaran agama Islam yang berjalan saat ini masih sebatas transfer nilai
dengan pendekatan hafalan. Bahkan Mastuhu (2002) menyatakan bahwa metode
pembelajaran yang berlaku saat ini masih bersifat klasik, dalam arti mewariskan
sejumlah materi ajaran agama yang diyakini benar untuk disampaikan kepada anak
didik tanpa memberikan kesempatan kepada mereka agar menyikapi materi-materi
tersebut secara kritis, mengoreksi, mengevaluasi dan mengomentari.[4]
Dalam perkataan lain, metode pembelajaran agama
Islam sampai kini bercorak menghafal, mekanis, dan lebih mengutamakan
pengkayaan materi. Dilihat dari aspek kemanfaatan, metode semacam ini kurang
bisa memberikan manfaat yang besar. Sebab metode-metode tersebut tidak banyk
memanfaatkan daya nalar siswa. Ia terkesan menjejali dan memaksakan materi
pelajaran dalam waktu singkat yang mungkin tidak sesuai dengan kondisi fisik dan
psikis siswa, sehingga proses pembelajaran cenderung kaku, statis, monoton,
tidak dialogis, dan bahkan membosankan. Akhirnya, siswa menjadi tidak kreatif
dan kritis dalam belajar.
Metode pembelajaran yang demikian ini hanya
sekedar mengantarkan anak didik mampu mengetahui dan memahami sebuah konsep,
sementara upaya internalisasi nilai belum dapat dilakukan secara baik.
Akibatnya muncul kesenjangan antara pengetahuan dengan praktik kehidupan
sehari-hari. Misalnya saja anak didik mengetahui dan menghafal seperangkat
nilai-nilai positif seperti kejujuran dan lain sebagainya tetapi nilai-nilai
tersebut tidak terwujud dalam perilaku. Banyak siswa yang mendapat nilai agama
sempurna, namun perilakunya tidak sejalan dengan tingginya nilai yang
didapatkan dibangu sekolah.
Untuk internalisasi dan aktualisasi nilai-nilai
tersebut mengharuskan pola-pola keteladanan dari pihak guru dalam mengajarkan setiap
nilai kepada anak didik. Artinya, seorang pendidik tidak hanya memberikan
seperangkat konsep tentang suatu nilai atau ajaran, tetapi juga menjadi teladan
atas penerapan nilai ajaran yang dimaksud.
Dengan demikian, metode pembelajaran agama
Islam seharusnya diarahkan pada proses perubahan dari normative ke praktis dan
dari kognitif ke afektif dan psikomotorik. Perubahan arah tersebut dengan
tujuan agar wawasan keislaman mampu ditransformasikan secara sistematik dan
komprehensif bukan saja dalam kehidupan konsep melainkan juga dalam kehidupan
riil ditengah-tengah masyarakat.
Matsuhu (2002) mencoba menawarkan konsep pemikiran
metode pendidikan Islam yang sifatnya lebih teknis, sebagai berikut :
Pertama, dalam melaksanakan metode pendidikan
dan pengajaran Islam, harus digunakan paradigma holistik, artinya memandang
kehidupan sebagai suatu kesatuan, sesuatu yang kongkrit dan dekat dengan
kehidupan sehari-hari dan hal-hal yang abstrak dan transcendental. Materi
pengajaran agama Islam harus terintegrasi dengan disiplin ilmu-ilmu umum,
sementara ilmu-ilmu umum harus disajikan dalam paradigma nilai ajaran Islam.[5]
Kedua, perlu digunakan model penjelasan yang
rasional, disamping pembiasaan melaksanakan ketentuan-ketentuan doktrin
spiritual dan norma peribadatan. Model penjelasan yang rasional, misalnya
digunakan dalam menjelaskan rukun iman.
Ketiga, perlu digunakan teknik-teknik pembelajaran
partisipatoris. Dalam arti anak didik diberikan kesempatan untuk melakukan
eksplorasi dan menemukan permasalahan serta bertanggungjawab terhadap apa yang
mereka hasilkan. Metode partisipatoris mengharuskan anak didik belajar
mengidentifikasi masalah, mengkonsep cara-cara pemecah masalah dan mengambil
keputusan. Hal ini dapat dilakukan secara kolektif dalam suatu forum diskusi.
Keempat, metode pendidikan Islam lebih
diorientasikan pada apa yang dikerjakan anak didik, sehingga pemberian
pengalaman kepada anak didik merupakan hal yang penting dalam proses belajar
mengajar. Perlu ada interaksi aktif dan partisipatif antara anak didik dengan
materi atau dengan situasi akademik tertentu. Dengan cara ini, materi pelajaran
dapat ditransformasikan dalam bentuk pengalaman anak didik yang dilakukan
melalui berbagai aktivitas belajar yang relevan dengan tujuan pembelajaran.
Prinsip-prinsip Menggunakan Metode Pendidikan
Islam
Prinsip disebut juga dengan asas atau dasar.
Dalam hubungannya dengan metodologi pendidikan Islam berarti prinsip yang
dimaksud disini adalah dasar pemikiran yang digunakan dalam mengimplementasikan
metode pendidikan Islam.[6]
Prinsip-prinsip melaksanakan metodologi
pendidikan Islam menurut Omar Muhammad Al-Toumy Al-Saibany adalah sebagai berikut
:
1.
Mengetahui
motivasi, kebutuhan dan minat anak didiknya;
2.
Mengetahui
tujuan pendidikan yang sudah ditetapkan sebelum pelaksanaan pendidikan.
3.
Mengetahui
taham kematangan, perkembangan serta perubahan anak didik.
4.
Mengetahui
perbedaan-perbedaan individu didalam anak didik.
5.
Memperhatikan
kepahaman dan mengetahui hubungan-hubungan, integrasi pengalaman dan
kelanjutannya, keaslian, pembaharuan dan kebebasan berfikir.
6.
Menjadikan
proses pendidikan sebagai pengalaman yang menggembirakan bagi anak didik.
7.
Menegakkan
“Uswah Hasanah”.[7]
B.
Metode-metode
Pendidikan Menurut Beberapa Tokoh
Berbicara tentang metode yang digunakan dalam
pembelajaran, dibawah ini akan dijelaskan beberapa pendapat dari para tokoh
mengenai metode yang telah dikembangkannya. Antara lain yaitu :
1.
Al-Ghozali
Berikut ini adalah pendapat beliau tentang hal
tersebut :
Ø Pendidikan Akhlak Hendanya Didasarkan atas
Mujahadah (Ketekunan) dan Latihan Jiwa.
Mujahadhah dan riyadhah-nafsiyah (ketekunan dan
latihan kejiwaan) menurut al-ghazzaly ialah membebani jiwa dengan amal-amal
perbuatan yang ditujukan kepada khuluk yang baik, sebagaimana kata beliau :
“maka barang siapa ingin menjadikan dirinya bermurah hati, maka caranya ialah
membebani dirinya dengan perbuatan yang bersifat dermawan yaitu mendermakan
harta. Maka jiwa tersebut akan selalu cenderng berbuat baik, dan ia terus
menerus melakukan mujahadah (menekuni) dalam perbuatan itu, sehingga hal itu
akan menjadi watak. disamping itu ia ringan melakukan perbuatan baik yang
akhirnya ia menjadi orang yang dermawan. Demikian juga orang yang ingin
menjadikan dirinya berjiwa tawadhu’ (rendah hati) kepada orang-orang yang lebih
tua, maka caranya ia harus membiasakan diri bersikap tawadhu’ terus menerus,
dan jiwanya benar-benar menekuninya, terhadapa perbuatan tersebut sampai hal itu menjadi akhlak dan wataknya
itu. Semua akhlak terpuji dibentuk
melalui cara-cara ini yang akhirnya perilaku yang diperbuatnya benar-benar
dirasakan kenikmatannya.”[8]
Konsepsi pendidikan modern saat ini sejalan
dengan pandangan al-ghazzali tentang pentingnya pembiasaan melakukan perbuatan
sebagai suatu pembentukan akhlak yang utama, terutama karena pembiasaan itu
dapat berpengaruh baik terhadap jiwa manusia, yang memberikan rasa nikmat jika
diamalkan sesuai dengan akhlak yang telah
terbentuk dalam dirinya.
Begitu pula metode mendidik anak/murid pada
masa kini yang menetapkan bahwa dengan cara mengulang-ulangi pengalaman dalam
berbuat sesuatu dapat meninggalkan kesan-kesan yang baik dalam jiwanya, dan
dari aspek inilah anak akan mendapatkan kenikmatan pada waktu mengulangi-ulangi
pengalaman yang baik itu, berbeda dengan pengalaman yang diperoleh dengan tanpa
melalui praktik, maka kesan-kesan yang ditinggalkan adalah jelek.
Ø Menganjurkan untuk Menghilangkan Akhlak Buruk
dari Dorongan Tingkah Laku yang Kontradiktif.
“ ...sebagaimana halnya penyakit yang
menggoyahkan keseimbangan tubuh yang
menyebabkan penyakitnya tak dapat disembuhkan kecuali dengan sebaliknya
(berlawanan) misalnya panas disembuhkan
dengan dingin dan sebaliknya. Demikian pula kerendahan jiwa yang merupakan
penyakit hati disembuhkan dengan yang sebaliknya (yang berlawanan dengannya).
Penyakit kebodohan disembuhkan dengan belajar, penyakit bakhil disembuhkan
dengan kedermawanan , penyakit sombong/congkak disembuhkan dengan tawadu,dan
akhlak buruk disembuhkan degan cara menjauhi dorongan napsu atau keinginan
secara paksa.[9]
Murid-murid yang tidak membiasaakan diri
bersembahyang, dan menjauhiya karena tiadanya peraturan yang mengharuskan
mereka membiasakan sembahyang. Maka mungkin kita dapat membiasakan mereka untuk
bersembahyang dengan jalan mendorong rasa cinta mereka kepada sembahyang/kebijakan
lainya. Kesemuanya itu dapat mereka lakukan dengan membiasakan berbuat
kebajikan dengan cara pembiasaan. Kita mengajak mereka membentuk kelompok
kelompok murid yng cinta kaebajikan dan cinta kepada pelayanan sosial (pulbic
service) dan ita mendorong mereka berbuat aktif dengan amal-amal secara
berkelompok.
Ø Metode Pendidikan Anak Hendaknya dengan
Menggunakan Beberapa Metode.
Janganlah di batasi dengan satu lingkungan
pergaulan yang satu macam saja untuk penyembuhan dan perbaikan kebiasaan
hidupnya. Karena anak-anak memiliki perbedaan-perbedaan dan pembawaannya, serta
usia dan lingkungan. Dalam hubungan ini beliau mengatakan : “sebagaimana halnya
seorang dokter jika menyembuhkan pasien-pasien dengan satu macam obat maka akan
matilah kebanyakan mereka mangalami kematian begitu pula seorang pendidik, jika
mengajar murid-muridnya hanya dengan satu macam latihan maka akan merusak
mereka, dan mematikan pikiran mereka oleh karena itu hendaknya pendidikan
memperhatikan penyakit murid dan perilakunya, usianya serta baik dari segi
bakat pembawaannya, juga kemampuan jiwanya untuk melekukan latihan yang
diberikan kepadanya, sehingga dengan latihan yang diberikan kepada mereka
bena-benar sebagai mata usaha pembina.”
Konsepsi pendidikan modern saat ini sejalan
dengan pandangan al-ghazali tentang pentingnya pembiasaan melakukan suatu
perbuatan sebagai suatu metode pembentukan akhlak yang utama, terutama karena
pembiasaan itu dapat berpengaruh baik terhadaap jiwa manusia ,yang memberikan
rasa nikmatika di amalkan sesuai dengan akhlak yang telah terbentuk dalam
dirinya.
Begitu pula metode mendidik anak atau murid
pada masa kini yang menetapkan bahwa dengan cara mengulang-ulangi pengalaman
dalam berbuat sesuatu dapat meninggalkan kesan-kesan yang baik dalam jiwanya, dan
dari aspek inilah anak akan mendapat kenikmatan pada waktu mengulang-ulangi
pengalaman yang baik itu, berbeda dengan pengalaman yang diperoleh dengan tanpa
melalui praktek, maka kesan-kesan yang ditinggalkan adalah jelek.
Pandangan al-ghazali tersebut sesuai dengan
pandangan ahli pendidikan amerika serikat, John Dewey, yang menyatakan ”
pendidikan moral itu terbentuk dari proses pendidikan dalam kehidupan dan
kegiatan yang di lakukan murid secara terus-menerus.
2.
Ibnu
Khaldun
Metode yang diajarkan adalah metode dengan cara
mengajar yang berproses dari bahan pelajaran yang mudah terhadap yang sulit,
dari yang dapat diamati dengan panca indera kepada yang dapat dipikirkan dengan
akal, dan dari yang diketahui, kepada hal-hal yang belum diketahui. Metode
efektif adalah semakin meningkat ilmunya dengan cara mengulang-ulangi
pelajaran, dan beralih dari pengarahan anak untuk mendekatinya, kepada menganalisanya.[10]
Ø Metode mengajar dan gaya yang harus dipelihara
oleh guru
a.
Metode
pentahapan dan pengulangan (tadarruj wat tikraari).
Adalah tahap permulaan pengetahuan adalah
bersifat total (keseluruhan), kemudian secara bertahap, baru terperinci,
sehingga anak dapat menerima dan memahami permasalahan pada tiap bagian dari
ilmu yang diajarkan, lalu guru mendekatkan ilmu itu kepada pikirannya dengan
penjelasan dan uraian-uraian sesuai dengan tingkat kemampuan berpikirnya
anak-anak tersebut serta kesiapan kemampuan menerima apa diajarkan.
b.
Menggunakan
sarana tertentu untuk menjabarkan pelajaran.
Ibnu kholdun mendorong kepada penggunaan
alat-alat peraga, karena anak pada waktu mulai belajar permulaannya lemah dalam
memahami dan kurang daya pengamatannya. Alat-alat peraga itu membantu kemampuan
memahami ilmu yang diajarkan kepadanya, dan hal inilah yang ditekankan oleh
beliau , karena memang anak bergantung kepada panca inderanya dalam proses
penyusunan pengalamannya.
c.
Widya-wisata
meruapakan alat untuk mendapatkan pengalaman yang langsung.
Mendorong agar melakukan perlawatan untuk
menuntut ilmu karena dengan cara ini murid-murid akan mudah mendapat
sumber-sumber pengetahuan yang banyak sesuai dengan tabiat ekploratif anak, dan
pengetahuan mereka berdasarkan observasi langsung itu berpengaruh besar dalam
memperjelas pemahamannya terhadap pengetahuan lewat pengamatan inderawinya.
d.
Tidak
memberikan presentasi yang rumit kepada anak yang baru belajar permulaan.
Mengajarkan hendaknya jangan mengajarkan anak-anak
dengan definisi-defenisi, dan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan, khususnya pada
permulaan belajar akan tetapi seharusnya guru memulai dengan contoh-contoh yang
mudah dan membahasa nas-nas serta menginstimbatkan (mengambil kesimpulan) yang
khusus.
e.
Harus ada
keterkaitan dalam disiplin ilmu.
Dalam mengajarkan ilmu kepada muridnya
mengkaitkan dengan ilmu lain, (jangan terpisah-pisah). Karena memisah-misahkan
satu sama lain menyebabkan kelupaan; hal ini diperkuat dengan uraian terdahulu
tentang perlunya mengajar dengan pengulangan
sampai 3 kali tanpa terpisah-pisah atu terputus-putus, agar memudahkan
orang tidak lupa.
f.
Tidak
mencampuradukkan antara dua ilmu pengetahuan dalam satu waktu.
Tidak menganjurkan dua ilmu dalam satu waktu
kepada muridnya karena sebelum memperoleh salah satu ilmuakan mengakibatkan
terecahnya konsentrasi pikiran dan melepaskan ilmu yanng lainya untuk memahami
problematika yang lain. Hal ini mengakibatkan kerugian dan kesulitan.
3.
HAMKA
Materi-materi keimanan Islam harus benar-benar tertanam
dalam diri anak didik sejak sedini mungkin sehingga potensi keagamaan akan
dapat tumbuh dan berkembang secara baik dan dapat menghasilkan suatu pandangan
sikap hidup yang bertendensi pada nilai-nilai religi. Dengan kata lain,
menciptakan insan yang hidup dibumi tetapi berorientasi ke langit (atas).
Sebaliknya, bila potensi keagamaan ini dibiarkan begitu saja tidak di pupuk,
tidaklah mustahil timbul sikap ateis.
Hal ni sesuai dengan konsep Islam bahwasannya iman itu bisa bertambah dan
berkurang tergantung pada pemeliharaannya sebagaimana firman Allah “ supaya
keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada) dan
kepunyaan Allah lah tentara langit dan bumi. Dan Allah maha mengetahui dan maha
bijaksana” (QS Al-Fath[48]:4).[11]
Proses penidikan tauhid apabila kita kaji,
dapat dilakukan melalu tiga tahap, yatu tahap pembiasaan, tahap pembentukan
pengertian, dan tahap pembentukan budi luhur. Ketiga tahapan pendidikan
tersebut diberikan kepada anak didik sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan
mereka. Oleh karena itu, salah satu perangkat penidikan yang harus diperhatikan
oleh pendidik dalam penanaman tauhid ini adalah metode. Maka, seorang guru
harus mengenal agar dapat menggunakan dengan variasinya sehingga guru mampu
menumbuhkan proses belajar yang berhasil guna dan berdaya guna secara efektif
dan efesien.
Menurut Hamka, secara global pendidikan tauhid
dapat dijalankan dengan menggunakan berbagai metode. Salah satu metode yang
diajarkan Al-Qur’an adalah metode hikmah
(terhadap orang yang belum tahu) dan ada pula yang dengan metode
mauizhah (terhadap orang yang sudah tahu tetapi lalai). Selain itu, ada pula
metode mujadalah, artinya bertukar pikiran terhadap orang yang menyangka bahwa
pendiriannya benar padahal salah, sebagaimana tertulis dalam surat Al-Nahl,
“serulah (manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu (Dialah yang
lebih mengetahui siapa yang mengetahui siapa yang tesebut dari jalan-Nya dan
dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS Al-Nahl
[16]: 125).
Metode Islami yang dikemukan oleh Hamka
tersebut menuntut kepada para pendidik untuk berorientasi pada kebutuhan pendidikan
anak didik, dimana fakta hukum alam yang potensial tiap pribadi individu
dijadikan focus dalam proses pendidikan sama kepada batas maksimal sehingga
anak didik akan memperoleh perkembangan yang optimal.
Metode yang dikemukakan Hamka adalah metode amar
ma’ruf nahi munkar. Untuk itu dapat melihat dari kutipan berikut kalau sudah
mempergunakan amar maruf nahi mungkar .” menyuruh berbuat baik dan mencegah
berbuat jahat serta tulus hati pula dalam memperjuangkannya akan tertariklah
manusia kedalam kebenaran dan sentosalah pergaulan hidup.[12]
Metode observasi pun digunakan hamka dalam
rangka memberikan penjelasan dan pemahaman tauhid kepada anak. “untuk mengenal
Tuhan diikhtiarkan dan diusahakan menurut keyakinan dan kesungguhan
masing-masing misalnya dengan melihat alam memperbanyak ilmu, dan mengkaji
sifat-sifat Tuhan.” Dengan mengenal terhadap sifat-sifat Tuhan pada anak didik,
hal itu akan dapat menumbuhkan dan memudahkan anak untuk menerima pemikiran
tentang Tuhan dan mendekatkan diri kepada-Nya. Dengan demikian perlulah jika
dikemukakan kepada anak sifat-sifat Tuhan yang baik, pengasih, penyayang, dan
lain-lain yang mendorong anak pada rasa aman.
Dari beberapa keterangan tersebut dapat
disimpulkan bahwa metode pendidikan tauhid tersebut masih relevan dengan
pendidikan modern. Dalam pendidikan modern, orientasi belajar mengajar adalah
pada diri siswa dan memerhatikan prinsip diferensiasi individual sehingga dalam
memberikan materi disesuaikan dengan kemampuan anak didik masing-masing. Dalam
hadits disebutkan, “bicaralah denagan manusia sesuai dengan akalnya”. Prinsip
ini merupakan salah satu prinsip penting dalam pendidikan Islam termasuk
terbaru di dalam dunia pendidikan modern.
Metode observasi partisipan yang ditaawarkan
hamka untuk mengenalkan Tuhan kepada anak didik sangat sesuai pula dengan
pendidikan dewasa ini. Dimana dalam pendidikan dewasa ini anak dalam proses
belajar mengajar secara aktif dilibatkan melalui mendorong perhatiannya, daya
khayalnya, dan kegairahannya, serta hal-hal sederhana dan alam urutan yang
logis, hingga cara ia belajar tampak benar-benar normal.
4.
KH
Abdurahman Wahid
Berbicara mengenai prinsip-prinsip dasar
pendidikan pasantren, tidak terlepas dari kitab-kitab klasik atau literature
universal pasantren yang merupakan latar belakang kultural system nilai yang
dikembangkan di pasantren. Untuk mempelajarinya, para santri mempunyai
keyakinan bahwa bimbingan seorang kiai merupakan syarat utama untuk menguasai
ilmu-ilmu tersebut dengan baik dan benar. Para santri sangat taat pada kiainya,
baik yang berbentuk perintah maupun sikap dan perilaku kiai senantiasa
dijadikan sebagai pedoman dalam kesaharian mereka. Dalam hal kependidikan,
kepemimpinan kiai mempunyai peran ganda, yakni satu sisi sebagai pelestari
tradisi Islam dan disisi lain sebagai penjaga ilmu-ilmu agama.[13]
Metode pendidikan diartikan sebagai prinsip-prinsip
yang mendasari kegiatan pengarahan perkembangan seseorang khususnya proses
belajar mengajar. Atas dasar inilah, metode pendikan Islam harus didasarkan dengan
hal-hal berikut :
·
Metode
pendidikan Islam didasarkan pandangan bahwa manusia dilahirkan dengan potensi
bawaan tertentu dan dengan itu ia mampu berkembang.
·
Metode pendidikan
Islam didasarkan pada karakteristik masyarakat madani, yaitu manusia yang bebas
dari ketakutan, bebas berekspresi, dan bebas menentukan arah kehidupannya.
·
Metode
pendidikan Islam didasarkan pada learning competency, yakni peserta didik akan
memiliki seperangkat pengetahuan, ketrampilan, sikap, wawasan, dan penerapan
sesuai dengan kriteria atau tujuan pembelajaran.
Mastuhu mengusulkan konsep pemikiran metodologi
pendidikan Islam yang sifatnya lebih teknis sebagai berikut: Pertama, bagi studi
pendidikan Islam, tidak ada pemisahan istilah pendidikan dan pengajaran. Kedua,
dalam melaksanakan metodelogi pendidikan dan pengajaran Islam harus
dipergunakan paradigma holistic. Artinya, memandang kehidupan sebagai suatu
kesatuan, sesuatu yang konkret dan dekat dengan kepentingan hidup sehari-hari
sampai dengan hal-hal abstrak dan transcendental. Ketiga, perlu digunakan model
penjelasan yang rasional disamping pelatihan dan keharusan melaksanakan
ketentuan-ketentuan donktrin spiritual dan norma peribadatan. Keempat, perlu
digunakan teknik pembelajaran partisipatoris.
Strategi-strategi lain yang dijelaskan oleh Gusdur
dalam kaitannya dengan pasantren sebagai institunsi pendidikan Islam, guna
untuk menegakkan syiar Islam adalah sebagai berikut :
1.
Startegi
politik
Disini ditekankan pentingnya formalisasi
ajaran-ajaran Islam ke dalam lembaga-lembaga Negara. Hal demikian ini merupakan
dasar bagi terbentuknya partai-partai Islam di Indonesia. Orang-orang Islam
khususnya, warga nahdliyah, harus belajar mengenai moral Islam yang benar dan
sekaligus mampu menerapkannya dalam kehidupa bermasyarakat.
Gus dur adalah sosok plural yang berjuang hanya
demi kemaslahatan umat. Salah satu metode pendidikan Islam dalam perspektif Gus
dur, yaitu pendidikan Islam haruslah beragam, mengingat penduduk bangsa
Indonesia yang majemuk secara geografis. Pendidikan Islam dalam persefektif Gus
Dur haruslah mempunyai metode yang mampu mengakomodasi seluruh
kepentingan-kepentingan rakyat Indonesia, khususnya pada pendidikan Islam.[14]
Gus dur mengambil sikap dan langkah yang berbeda
dengan mayoritas aktivis Islam karena ia memiliki dasar yang kuat. Wawasannya
sangat luas karena ia memahami dengan baik teks-teks keagamaan dan khazanah
intelektual Islam, baik klasik maupun kontemporer. Pemahamnya terhadap banyak
khazanah intelektual Islam dan juga
khazanah intelektual secara umum membuatnya menjadi pribadi yang berpandangan
komprehensif terhadap berbagai persoalan yang ada. Oleh karena itulah, Gusdur
memandang keberagaman harus mendapat perlindungan dan tak ada yang memiliki hak
untuk menindas, apalagi meniadakan sesuatu karena alasan perbedaan walaupun
yang berbeda secara numerik hanya sejumlah kecil saja.
Starategi politik merupakan wahana untuk
menyatukan umat dalam bingkai perbedaan. Secara metodelogis, pasantren sebagai
lembaga pendidikan Islam mempunyai semangat yang tinggi ketika Gus Dur memimpin
negeri ini. Hal tersebut merupakan salah satu anugerah yang harus terus
dikembangkan mengingat masyarakat di negeri ini sangatlah plural.
Pada era 1990-an Gus Dur menentang berdirinya
ICMI yang disponsori oleh Soeharto dan BJ. Habibie. Menurutnya pendirian ICMI
hanya akan mendorong tumbuhnya sentimen sekretarisme dalam masyarakat. Gus Dur,
yaitu bahwa Soeharto sedang memanipulasi sentimen agama bagi kepentingan
dirinya. Hal ini merupakan salah satu cara dalam aspek politik, yaitu
mengarahkan kondisi bangsa pada posisi yang tepat.
Kondisi riil yang melatarbelakangi kehidupan
dan pemikiran kebangsaan dan rasa nasionalisme dalam kehidupan sosok humanis
Gus Dur adalah cara pandang terhadap sesuatu dari berbagai persoalan keutamaan
dan kebangsaan, di samping itu pula sisi kehidupan yang membentuk pribadi dan
pola berfikirnya yang jauh melampaui batas kemampuan para intelektual di
masanya. Kepentingan konkret yang merekayasa masyarakat guna mendukung
pembangunan ekonomi secara passif akan menggeser kedudukan ideology yang selama
masa sebelumnya merupakan tumpuan kehidupan poliitk. Contoh paling dekat yang
sangat perlu untuk disadari adalah negeri kita sendiri, yang secara sadar atau
tidak, telah menurunkan suhu ideology kehidupan politik kita secara drastic
dalam masa satu dasawarsa, yaitu setelah masa orde baru direncanakan. Berbagai
rekayasa masyarakat di berbagai bidang, dari aspek politik hingga pendidikan,
sudah tentu tak akan dapat dilakukan, kalau tekanan terhadap ideology
mendapatkan tempat.
Gus Dur semasa perjalanan karier dan
kehidupannya, memang secara total bergerak dalam dunia pendidikan. Akan tetapi,
Gus Dur Mampu menggerakan system di berbagai aspek, terutama memasukkan
pemikiran dan ideologinya terhadap perpaduan pemikiran klasik-kontemporer,
dalam aspek pendidikan. Gusdur memberikan ruang yang luas terhadap masyarakat
untuk memanfaatkan situasi yang terbaik. Ketika gusdur menjabat sebagai
presiden RI, ruang istana mulai dari manusia-manusia elitis dan populis, sampai
pada masyarakat paling awam sekalipun, masih diberi ruang untuk menyampaikan
keinginan dan aspirasinya mengenai tata kehidupan secaara Islami.
Pada sisi yang lain, ada banyak kelemahan,
terutama bagi kalangan kaum Nahdliyin yang sangat menghormati peran dan
tindakan dari seorang kiai tanpa adanya analisis mengenai kebenaran dan
keserasiannya dengan konteks yang ada di tubuh masyrakat. Disinilah sebabnya
ketidakmampuan menerjemahkan dan menafsirkan berbagai bentuk tindakan dan sikap
dari pemikiran Gus Dur dianggap nyeleneh, kontroversial, dan diangap munafik
karena tidak konsisten dengan apa yang menjadi pernyataannya.
Dengan demikian, strategi politik adalah salah
satu metode dari sekian banyak cara untuk melakukan dan mencapai suatu yang
diperjuangkan. Pada aspek strategi politik, pandangan Gus Dur terhadap
nilai-nilai pendidikan Islam terejawantahkan
pada sisi kemanusiaan yang harus memanusiakan manusia. Tentu bimbingan dan arahan
menjadi tugas seluruh umat Islam dan mencapai nilai-nilai kemanusiaan melalui system
dalam metode pendidikan Islam.
2.
Startegi
kultural
Startegi ini dirancang bagi pengembangan
kepribadian orang-orang Islam, yakni dengan cara memperluas pengetahuan mereka.
Artinya mereka harus mampu bersaing dengan dunia luar dengan tidak hanya
terfokus pada literatul universal mereka. Mereka harus membuka diri dengan
seluruh ideology-ideologi pemikiran barat dengan tujuan memberdayakan umat Islam
agar secara mudah dalam mengakses segala macam pengetahuan dan informasi. Pada strategi
kultural, konsep ingklusifitas dalam pandangan Gus Dur artinya pendidikan Islam
jangan kemudian terjebak pada literarur universal yang dimiliki. Akan tetapi,
harus membuka cakrawala pemikiran kita untuk melihat perkembangan dunia dan
mengakses berbagai macam ideology dunia, sebagian bentuk pengetahuan dan
informasi supaya mampu bersaing secara komperitif dengan dunia luar. Tentu
saja, hal tersebut diatas dirancang sebagai pengembangan kepribadian
orang-orang muslim yang ideal.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa
metode yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh didunia Islam antara lain yaitu: a).
Al-Ghazali : Pendidikan Akhlak Hendanya Didasarkan atas Mujahadah (Ketekunan)
dan Latihan Jiwa. Menganjurkan untuk Menghilangkan Akhlak Buruk dari Dorongan
Tingkah Laku yang Kontradiktif. Metode Pendidikan Anak Hendaknya dengan
Menggunakan Beberapa Metode. b). Ibnu Khaldun : Metode pentahapan dan
pengulangan (tadarruj wat tikraari). Menggunakan sarana tertentu untuk
menjabarkan pelajaran. Widya-wisata meruapakan alat untuk mendapatkan
pengalaman yang langsung. Tidak memberikan presentasi yang rumit kepada anak
yang baru belajar permulaan. Harus ada keterkaitan dalam disiplin ilmu. Tidak
mencampuradukkan antara dua ilmu pengetahuan dalam satu waktu. c). Hamka :
Metode yang dikemukakan hamka adalah metode amar ma’ruf nahi munkar. d).
Metodelogi pendidikan Islam didasarkan pandangan bahwa manusia dilahirkan
dengan potensi bawaan tertentu dan dengan itu ia mampu berkembang. Metodelogi
pendidikan Islam didasarkan pada karakteristik masyarakat madani, yaitu manusia
yang bebas dari ketakutan, bebas berekspresi, dan bebas menetukan arah
kehidupannya. Metodelogi pendidikan Islam didasarkan pada learning competency,
yakni peserta didik akan memiliki seperangkat pengetahuan, ketrampilan, sikap,
wawasan, dan penerapan sesuai dengan kriteria atau tujuan pembelajaran.
B.
Saran
Penulis
menyarankan agar metode yang diterapkan sesuai dengan yang dibutuhkan oleh
peserta didik, supaya sistem pembelajaran tidak monoton dan tidak membuat
peserta didik merasa jenuh.
Daftar Pustaka
Arifin.M. Ilmu
Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1996, Cet.ke-5
Arief, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan
Islam , Ciputat : Ciputat Pers, 2002,
cet.I
Nasih, Ahmad Munjin
dan Lilik Nur Khalidah, Metode dan Teknik Pembelajaran Pendidikan Agama
Islam, Bandung : PT Refika Aditama, 2009, cet. I
Al-Saibany, Omar
Muhammad Al-Toumy. Falsafah Pendidikan Islam,Terj. Hasan Langgulung,
Jakarta : Bulan Bintang, 1979, Cet. I
Al jumbulati, Ali. Perbandingan Pendidikan Islam. PT RINEKA
CIPTA, 1994
Kurniawan.Syamsul
dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam,
Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2011, Cet.I
Faisol, Gus Dur
& Pendidikan Islam , Jogjakarta : Ar-Ruzz, 2011, Cet.I
[1] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1996),
Cet.ke-5, hlm. 61
[2] Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam
(Ciputat : Ciputat Pers, 2002), cet.I, hlm. 40
[3] Ibid, hlm. 41-42
[4] Ahmad Munjin Nasih dan Lilik Nur Khalidah, Metode dan Teknik Pembelajaran
Pendidikan Agama Islam ( Bandung : PT Refika Aditama, 2009) , cet. I, hlm. 32
[5] Ibid, hlm. 33
[6] Op.Cit, Armai Arief, hlm. 93
[7] Omar Muhammad Al-Toumy Al-Saibany, Falsafah Pendidikan Islam (Terj.
Hasan Langgulung), (Jakarta : Bulan Bintang, 1979), Cet. I, hlm. 65
[8] Ali al jumbulati “ Perbandingan Pendidikan Islam” PT RINEKA CIPTA,
1994, hlm 156
[9] Ibid
[10] Ibid. 199-200
[11] Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh
Pendidikan Islam, (Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2011), Cet.I, hlm. 244
[12] Ibid. hlm. 246
[13] Faisol, Gus Dur & Pendidikan Islam ,(Jogjakarta : Ar-Ruzz,
2011), Cet.I, hlm. 126
[14] Ibid. hlm. 127
No comments:
Post a Comment