KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil‘alamin.
Segala puji bagi Allah SWT, yang telah melimpahkan taufik dan hidayah-Nya
kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Dengan
segala keterbatasan dan kekurangan pengetahuan yang dimiliki, penulis mencoba
membuat makalah ini dengan judul “Pembelajaran Yang Berpijak Dari Teori Belajar
Behavioristik Dan Implikasinya Dalam PAI”
untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori
Belajar dan Pembelajaran.
Sholawat serta salam semoga tetap
terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW., yang telah membawa kita
dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang.Tak lupa penulis mengucapkan
terima kasih kepada Dosen pengampu bidang studi yang telah memberikan motivasi
dan bimbingan kepada penulis dalam penyusunan makalah ini, khususnya bagi penulis
yang masih serba kekurangan dalam pemahaman materi.Penulis telah berusaha maksimal
untuk menyusun makalah ini dengan sebaik mungkin, dan apabila ada kesalahan
atau kekurangan dalam makalah ini, kami mohon maaf. Oleh karena itu, segala
kritik dan saran demi perbaikan makalah ini sangat kami harapkan. Akhirnya
kami menyampaikan terima kasih yang banyak kepada semua pihak yang telah
membantu kami, semoga segala amal baiknya selalu mendapat pahala dari Allah
Swt., Amin.
Malang, 30 Oktober 2014
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
B.
Rumusan Masalah
- Apa itu Teori Belajar Psikologi Behavioristik
?
- Apa itu Pendidikan Agama Islam ?
- Apa Hakikat Pendidikan Islam ?
- Apa Asas Pendidikan Islam ?
- Apa Tujuan Pendidikan Islam ?
- Apa Prinsip Pendidikan Islam ?
- Bagaimana Implikasi Teori Kepribadian
Behavioristik Terhadap PAI ?
- Sejauh mana Kecocokan Penerapan Teori
Behavioristik dalam PAI ?
C.
Tujuan Penulisan
- Mengetahui Apa itu Teori Belajar Psikologi
Behavioristik.
- Mengetahui Apa itu Pendidikan Agama Islam.
- Mengetahui Hakikat Pendidikan Islam.
- Mengetahui Asas Pendidikan Islam.
- Mengetahui Tujuan Pendidikan Islam.
- Mengetahui Prinsip Pendidikan Islam.
- Mengetahui Bagaimana Implikasi Teori Kepribadian
Behavioristik Terhadap PAI .
- Mengetahui Sejauh mana Kecocokan Penerapan
Teori Behavioristik dalam PAI.
BAB II
PEMBELAJARAN YANG BERPIJAK DARI TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK DAN IMPLIKASINYA DALAM PAI
A.
Teori-teori Belajar Psikologi
Behavioristik
Teori belajar psikologi behavioristik dikemukakan oleh
para psikolog behavioristik. Mereka ini sering disebut “ contemporary behaviorist“ atau juga disebut “S-R psikologists”. Mereka berpendapat, bahwa tingkah laku manusia
itu dikendalikan oleh ganjaran (reward)
atau penguatan (reinforcement) dari
lingkungan.
Guru-guru
yang menganut pandangan ini berpendapat, bahwa tingkah laku murid-murid
merupakan reaksi-reaksi terhadap lingkungan mereka pada masa lalu dan masa
sekarang, dan bahwa segenap tingkah laku merupakan hasil belajar. Kita
dapat menganalisis kejadian tingkah lakudengan jalan mempelajari latar
belakangreinforcement terhadap tingkah laku tersebut.
Obyek psikologi menurut aliran ini ialah: tingkah laku,
dan bukannya kesadaran. Karena itu behaviorisme adalah psikologi tingkah laku;
dan studinya terbatas mengenai pengamatan serta penulisan tingkah laku.
Aliran behaviorisme kuat berorientasi pada ilmu alam;
dan sesuai dengan psikologi asosiasi, ia selalu mencari elemen-elemen tingkah
laku yang paling sederhana, yaitu refleks.
Aliran behaviorisme menyatakan, bahwa semua tingkah laku
manusia itu bisa ditelusuri asalnya dari bentuk refleks-refleks. Refleks adalah
reaksi-reaksi yang tidak disadari terhadap perangsang-perangsang tertentu.
Setiap bentuk tingkah laku manusia dapat dijelaskan diluar peristiwa kesadaran.
Maka diri manusia disebut sebagai kompleks refleks-refleks, atau sebagai mesin
reaksi belaka. Faktor pembawaan tidak mempunyai peranan sama sekali;
“pendidikan” yang maha kuasa dalam membentuk diri manusia. Maka manusia itu
hanyalah merupakan makhluk kebiasan belaka, karena sang pendidik dengan sesuka
hati bisa mampengaruhi refleks-refleks anak-anak didiknya dalam membentuk
prilaku dan kebiasaan-kebiasaannya.
Prinsip-prinsip
dasar pembelajaran menurut teori behaviorisme adalah :
1. Menekankan pada
pengaruh lingkungan terhadap perubahan tingkah perilaku.
2. Menggunakan prinsip
penguatan, yaitu untuk mengidentivikasi aspek paling diperlukan dalam
pembelajaran dan untuk mengarahkan kondisi agar peserta didik dapat mencapai peningkatan yang diharapkan
dalam tujuan pembelajaran.
3. Mengidentifikasi
karakteristik peserta didik, untuk menetapkan pencapaian tujuan pembelajaran.
4. Lebih menekankan pada
hasil belajar dari pada proses pembelajaran.[1]
1.
Teori-teori yang Mengawali
Perkembangan Psikologi Behavioristik
Psikologi
aliran behavioristik mulai berkembang sejak lahirnya teori-teori tentang
belajar yang dipeloopori oleh Thorndike, Pavlov, Watson, dan Guthrie.
Di
Amerika Serikatpendidikan dan pengajaran didominasi oleh Thorndike (1874-1949).
Teori beljar Thorndike disebut “connectionism”
karena belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan
respon. Teori ini sering disebut “trial
and error learning” individu yang belajar melakukan kegiatan melalui proses
trial and error dalam rangka memilih
respon yang tepatbagi stimulus tertentu. Thorndike mendasarkan teori-teorinya
atas hasil-hasil penelitiannya terhadap tingkah laku berbagai binatang antara
lain kucing, tingkah laku anak-anak dan orang dewasa.
Objek
penelitian dihadapkan kepada situasi baru yang belum dikenal dan membiarkan
objek melakukan berbagai pola aktivitas untuk merespon situasi itu. Dalam
halitu objek mencoba berbagai cara bereaksi sehingga menemukan keberhasilan
dalam membuat koneksi sesuatu reaksi dengan stimulasinya. Ciri-ciri belajar
dengan trial and error, yaitu:
a.
ada motif pendorong aktivitas
b.
ada berbagai respon terhadap reksi
c.
ada eliminasi respon-respon yang
gagal
d.
ada kemajuan reaksi-reaksi
mencapai tujuan
Dari penelitian itu, Thorndike menemukan hukum-hukum:
a.
Laf of readines: jika reksi terhadap stimulus didukung oleh
kesiapan untuk bertindak atau bereaksi itu, maka reaksi menjadi memuaskan.
b.
Law of exercise: makin
banyak dipraktekkan atau diguinakannya hubungan stimulus respon, makin kuat
hubungan itu. Praktek perlu disertai “reward”
c.
Law of effect: bilamana terjadi hubungan antara stimulus dan respon,
dan dibarengi dengan “state of affair”
yang mengganggu, maka kekuatan hubungan menjadi berkurang.
Di Rusia Ivan Pavlov (1849-1936) juga menghasilkan teori
belajar yang disebut “classical
conditioning” atau “stimulus
subtituation”.
Teori Pavlov berkembang dari percobaan laboratoris terhadap
anjing. Dalam percobaan ini, anjing diberi stimulus bersyarat sehingga terjadi
reaksi bersyarat pada anjing.
Jhon B. Watson (1878-1958) adalah orang pertama di Amerika
serikat yang mengembangkan teori belajar berdasarkan hasil penelitian Pavlov.
Watson berpendapat “bahwa belajar merupakan proses terjadinya refleks-refleks
atau respon-respon bersyarat melalui stimulus pengganti”.
Salah satu percobaannya adalah terhadap anak umur 11 bulan
dengan seekor tikus putih. Rasa takut dapat timbul tanpa dipelajari dengan
proses ekstrinsik, dengan mengulang stimulus bersyarat tanpa dibarengi stimulus
tak bersyarat.
E.R. Guhtrie (1886-1959) memperluas penemuan Watson tentang
belajar. Ia mengemukakan prinsip belajar yang disebut “the law of association” yang berbunyi: suatu kombinasi stimulus
yang telah menyertai suatu gerakan, cenderung akan menimbulkan gerakan itu,
apabila kombinasi stimulus itu muncul kembali.
2.
Skinner Operant Conditioning
Skinner
menganggap “reward” atau “reinforcement” sebagai faktor terpenting
dalam proses belajar. Skinner berpendapat, bahwa tujuan psikolgi adalah meramal
dan mengontrol tingkah laku.
Skinner
membagi dua jenis respon dalam proses belajar, yakni:
a.
Respondent: respon yang terjadi
karena stimulus khusus
b.
Operant: respon yang etrjadi
karena stiuasi random
Operant
conditioning, suatu situasi belajar dimana suatu respon dibuat lebih kuat
akibat reinforcement langsung.
Dalam
pengajaran, operants conditioning menjamin respon-respon terhadap stimulus.
Apabila murid tidak menunjukkan reaksi-reaksi terhadap stimulus, guru tak
mungkin dapat membimbing tingkah lakunya terhadap arah tujuan behavior.
Jenis-jenis
stimulus:
a)
Positive reinforcement: penyajian
stimulus yang meningkatkan probabilitas suatu respon.
b)
Negative reinforcement: pembatasan
stimulus yang tidak menyenangkan, yang jika dihentikan akan mengakibatkan
probabilitas respon.
c)
Hukuman: pemberian stimulus yang
tidak menyenangkan misalnya “contradiction or reprimand”. Bentuk hukuman
lain berupa penangguhan stimulus yang menyenangkan.
d)
Primary reinforcement: stimulus
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan fisiologis.
e)
Secondary or learned
reinforcement.
f)
Modifikasi tingkah lakuguru:
perlakuan guru terhadap murid-murid berdasarkan minat kesenangan mereka.
Penjadwalan reinforcement:
Jadwal
reinforcement menguraikan tentang kapan dan bagaimana suatu respon diperbuat.
Ada empat cara penjadwalan reinforcement:
1)
Fixed ratio schedule; yang
didasarkan pada penyajian bahan pelajaran, yang mana pemberi reinforcement baru
memberikan penguatan respon setelah terjadi jumlah tertentu dari respon.
2)
Variable ratio schedule; yang
didasarkan atas penyajian bahan pelajaran dengan penguat setelah sejumlah
rata-rata respon.
3)
Fixed internal schedule; yang
didasarkan atas satuan waktu tetep diantara “reifforcements”.
4)
Variable interval schedule;
pemberian reinforcement menurut respon betul yang pertama setelah terjadi
kesalahan-kesalahan respon.
B.
Pengertian Pendidikan Agam Islam
Pendidikan agama islam adalah upaya sadar dan terencana
dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga
mengimani, bertaqwa, dan berakhlaq mulia dalam mengamalkan ajaran agama islam
dari sumber utamanya kitab suci Al-Qur’an dan Al-Hadits, melalui kegiatan
bimbingan, pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman. Disertai dengan
tuntunan untuk menghormati agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan antar
ummat beragama dalam masyarakat hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa.
Mata pelajaran pendidikan agama islam itu secara
keseluruhannya terliput dalam lingkup Al-Qur’an dan Al-Hadits, keimanan,
akhlaq, fiqh atau ibadah, dan sejarah, sekaligus menggambarkan bahwa ruang
lingkup pendidikan agama islam mencakup perwujudan keserasian, keselarasan, dan
keseimbangan hubungan manusia dengan Allah SWT, diri sendiri, sesama manusia,
makhluk lainnya maupun lingkungannya (hablun minallah wa hablun minannas).
Jadi, pendidikan agama islam merupakan usaha sadar yang
dilakukan pendidik dalam mempersiapkan peserta didik untuk meyakini, memahami,
dan mengamalkan ajaran islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran atau
pelatihan yang telah direncanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.[2]
C.
Hakikat Pendidikan Islam
Pendidikan di lembaga erat kaitannya dengan kewajiban
menuntut ilmu. Seperti diketahui bahwa menuntut ilmu dalam Islam hukumnya
wajib. Dalam islam, pendidikan dikenal dengan istilah antara lain : Tarbiyah
dan Ta’lim. Tarbiyah menunjukkan proses persiapan dan pengasuhan pada fase
pertama pertumbuhan manusia (fase bayi dan kanak-kanak).
Menurut pendapat Abdurrahman An-Nahlawi, tarbiyah
mengandung makna memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga, dan
memelihara. Sedangkan menurut Abdurrahman Al Bani kata tarbiyah berasal dari
kata “rabba” maka tarbiyah mengandung empat unsur :
1.
Menjaga dan
memelihara fitrah anak menjelang baligh
2.
Mengembangkan
seluruh potensi dan kesiapan bermacam-macam hal
3.
Mengerahkan
seluruh fitrah dan potensi ini menuju kebaikan dan kesempurnaan yang layak
baginya
4.
Proses ini
dilaksanakan secara bertahap
Berdasarkan kata “rabba” tersebut dapatlah dijelaskan
bahwa pendidikan mengandung makna :
1.
Proses yang
bertujuan
2.
Pendidikan
mutlak hanyalah Allah yang Maha memberlakukan hukum dan tahapan perkembangan
serta inderanya
3.
Pendidikan
menuntut adanya langkah bertahap dan sistematika
4.
Kerja pendidik
semestinya sesuai dengan aturan penciptaan dan pengadaan yang dilakukan oleh
Allah SWT.
Sedangkan ta’lim mengandung makna upaya agar berilmu.
Menurut islam, ilmu itu mengandung segala kemaslahatan (kebaikan/kegunaan) bagi
ummat manusia. Karena ilmu-lah manusia menjadi lebih utama dari pada malaikat,
dan karena ilmu pula manusia berhak menjadi khalifah Allah di muka bumi.
Pendidikan islam menurut Naquib Al Attas merupakan
proses pengenalan yang ditanamkan secara bertahap dan berkesinambungan dalam
diri manusia mengenai obyek-obyek yang benar sehingga hal itu akan membimbing
manusia ke arah pengenalan dan pengakuan terhadap eksitensi Tuhan dalam
kehidupan. Kemudian dengan pengetahuan itu manusia diarahkan untuk
mengembangkan kehidupan yang lebih baik.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan, pendidikan
islam itu merupakan konsep “Allama maalam ya’lam” (Tuhan mengajarkan segala hal
yang tidak diketahui manusia). Hal itu mengandung pengertian Allah selalu
mengajarkan suatu pengetahuan yang baru setiap saat kepada manusia. Karena itu
manusia dituntut untuk belajar tentang apa saja sepanjang hidupnya dan
hendaknya selalu “berdialog” dengan perkembangan zaman. Islam tidak mengenal
pembedaan antara ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan non agama
(sekuler). Selama pengetahuan itu bernilai baik , selama itu pula ia bernilai
keagamaan (religius).
D.
Asas Pendidikan Islam
Pendidikan Islam
dilaksanakan berdasarkan asas-asas :
1. Melaksanakan
Perintah Allah SWT dan Rasulnya
Pendidikan
dalam islam merupakan realisasi dari kewajiban menuntut ilmu yang diperintahkan
Allah dan dicontohkan oleh Rasulullah. Menuntut ilmu dalam islam
diperbolehkan/dicontohkan secara individual maupun kelompok.
2. Beribadah
kepada Allah SWT
Karena
menuntut ilmu itu diperintahkan oleh Allah dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Maka mengamalkannya merupakan ibadah dan diberi pahala oleh Allah SWT.
Mempelajari ayat Al-qur’an mempunyai derajat yang sangat tinggi dan setiap
ibadah harus dilandasi oleh ilmu yang benar, sesuai syariat islam.
3. Ikhlas
dan Mengharap Ridla Allah SWT
Setiap
mengamalkan atau melaksanakan ibadah, kita dituntut untuk ikhlas, yakni
dilaksanakan dengan senang hati dan mengharap ridlo Allah. Hanya ibadah yang
dilaksanakan dengan ikhlas yang akan diterima serta diberi pahala oleh Allah
SWT.
4. Ilmu
yang Benar dan Diridlai Allah
Ilmu
yang dipelajari dan diajarkan haruslah ilmu yang dibenarkan oleh syariat islam
serta diridlai Allah SWT. semua ilmu yang tidak berasal dari Allah SWT, berarti
berasal dari setan dan disebarkan serta direstui oleh setan laknatullah.
E.
Tujuan Pendidikan Islam
Pendidikan dalam islam haruslah berusaha membina atau
mengembalikan manusia kepada fitrahnya yaitu kepada Rubbubiyah Allah sehingga
mewujudkan manusia yang 1) berjiwa tauhid, 2) taqwa kepada Allah, 3) rajin
beribadah dan beramal shalih, 4) Ulil Albab, serta 5) berakhlaqul karimah.
1. Berjiwa
Tauhid
Tujuan pendidikan Islam yang pertama ini harus
ditanamkan pada peserta didik. Sesuai firman Allah : QS, Luqman : 13, yang
artinya :
“Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya di waktu ia memberikan
pelajaran kepadanya, Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah,
sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedzaliman yang besar”
2. Taqwa
kepada Allah SWT
Mewujudkan manusia yang bertaqwa kepada Allah merupakan
tujuan pendidikan islam, sebab walaupun ia genius dan gelar akademisnya sangat
banyak, tapi kalau tidak bertaqwa kepada Allah maka ia dianggap belum/tidak
berhasil. Hanya dengan ketaqwaan kepada Allah saja akan terpenuhi keseimbangan
dan kesempurnaan dalam hidup ini.
3. Rajin
Beribadah dan Beramal Shalaih
Tujuan pendidikan dalam islam juga adalah agar peserta
didik lebih rajin dalam beribadah dan beramal shalih. Apapun aktivitas dalam
hidup ini haruslah didasarkan untuk beribadah kepada Allah, karena itulah
tujuan Allah menciptakan manusia di muka bumi ini.
4. Ulil
Albab
Tujuan pendidikan islam berikutnya adalah mewujudkan
ulil albab yaitu orang-orang yang dapat memikirkan dan meneliti keagungan Allah
melalui ayat-ayat qauliyah yang terdapat dalam Kitab Suci Al-Qur’an dan
ayat-ayat kauniyah (tanda-tanda kekuasaan Allah) yang terdapat di alam semesta.
Mereka ilmuwan dan intelektual, tapi mereka juga rajin berdzikir dan beribadah
kepada Allah SWT.
5. Berakhlaqul
karimah
Pendidikan dalam islam tidak hanya bertujuan untuk mencetak manusia yang
hanya memiliki kecerdasan saja, tapi juga berusaha mencetak manusia yang
berakhlaq mulia. Ia tidak akan menepuk dada atau bersifat arogan (congkak)
dengan ilmu yang dimilikinya. Sebab ia sangat menyadari bahwa ia tidak pantas
bagi dirinya untuk sombong bila dibandingkan ilmu yang dimiliki Allah.
F.
Prinsip Pendidikan Islam
Adapun Pendidikan dalam
Islam dilaksanakan
berdasarkan prinsip :
1. Berlangsung
Seumur Hidup
Menuntut ilmu itu hukumnya Fardlu ‘ain yaitu kewajiban
yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim selama hidupnya, karena itu menuntut
ilmu atau pendidikan itu berlangsung seumur hidup, yakni sejak dilahirkan
sampai meninggal.
2. Tidak
Dibatasi Ruang dan Jarak
Pendidikan dalam islam bisa dilaksanakan dimana
saja. Tidak hanya di ruang kelas saja, tetapi di alam terbuka juga bisa. Bahkan
bukan hanya di dalam kota atau di dalam negeri saja, kalau perlu ke luar kota
atau ke luar negeri.
3. Berakhlaqul
Karimah
Menuntut ilmu sebagai realisasi pendidikan islam haruslah
memperhatikan adab atau tata tertib, baik ketika berlangsung proses
pembelajaran (ta’lim wa ta’lum), maupun sebelum dan sesudahnya; misalnya murid/
peserta didik menghormati gurunya, dan guru juga menghargai dan mengasihi
muridnya.
4. Bersungguh-sungguh
dan Rajin
Setiap pengalaman ibadah dalam Islam (termasuk
pendidikan) haruslah dilaksanakan dengan bersungguh-sungguh dan rajin
(berkesinambungan) karena hanya dengan demikian akan terwujud harapan serta
akan di ridlai Allah.
5. Harus
Diamalkan
Setiap ilmu yang telah dimiliki, difahami dan
diyakini kebenarannya haruslah diamalkan. Manfaat ilmu baru dirasakan dan lebih
berkah setelah diamalkan.
Orang yang mempunyai banyak ilmu tapi tak pernah
diamalkan itu berarti seperti pohon rindang tapi tak berbuah, jadi kurang atau
tidak bermanfaat, selain itu mereka juga akan sangat menyesal di akhirat kelak.[3]
G.
Implikasi Teori Kepribadian Behavioristik Terhadap PAI
Aliran teori belajar behavioristic dalam kegiatan
pembelajaran lebih menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai
hasil belajar,dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang
belajar sebagai individu yang pasif.Respon atau perilaku tertentu dengan
menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin
kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang jika dikenai hukuman.
Implikasi teori behavioristic dalam kegiatan
pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti : tujuan pembelajaran, sifat
meteri pelajaran, karakteristik pelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang
tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristic
memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, dan tetap, tidak berubah.
Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan
dan mengajar adalah proses transfer atau memindahkan pengatahuan (transfer of
knowledge) kepada orang yang belajar ,siswa diharapkan akan memiliki pemahaman
yang sama terhadap pengetahuan yang di ajarkan. Artinya apa yang difahami oleh
pengajar atau guru itulah yang harus difahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran,siswa dianggap
sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari seorang
pendidik. Oleh karena itu seorang pendidik dalam mengembangkan kurikulum yang
terstruktur dengan menggunakan standar standar tertentu dalam proses
pembelajaran yang harus dicapai oleh seorang siswa.
Begitujuga dalam proses evaluasi belajar dan
pembelajaran diukur hanya pada hal hal
yang nyata dan dapat diamati sehingga hal hal yang bersifat tidak teramati
kurang dijangkau dalam proses evaluasi. Implikasi dari teori teori
behavioristic dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang bebas
pada gerak siswa untuk berkreasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri.
Karena system pembelajaran tersebut bersifat
otomatis-mekanis dalam menjalankan stimulus respon sehingga terkesan seperti
robot atau mesin. Akibatnya siswa kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan
potensi yang ada pada diri mereka .[4]
Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam
belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan
disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan
dalam pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan
keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk prilaku yang
pantas diberi hadiah.
Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yag benar.
Maksudnya bia siswa mampu menjawab secara benar sesuai dengan kenginan guru,
hal ini mnunjukkan bahwa sisa telahmenyel. Tesaikan tugas belajarnyari ini
menekanan evaluasi pada kemampuan belajar secara individual.
Langkah-langkah pembelajarannya meliputi:
1. Menentukan
tujuan ujuan dari pembelajaran
2. Menganalisis
lingkungan kelasyang ada.
3. Menentukan
materi pembelajaran
4. Memecah
materi belajar menjadi peta konsep
5. Menyajikan
matgeri pelajaran
6. Memberikan
stimulus
7. Mengamati
dan mengkaji respon yang diberikan siswa
8. Memberikan
penguatan ataupun hukuman(punishment)
9. Memberikan
stimulus yang baru dan update
10. Mengamati
dan mengkajirespon yang diberikan siswa
11. Memberikan
penguatan lanjutan dan hukuman yang tegas
12. Demikian
seterusnya
13. Evaluasi
belajar[5]
Bahwa perilaku manuasia
selalu dikendalikan oleh factor luar(factor lingkungan, rangsangan dan
stimulus).
Dilanjutkan bahwa dengan memberikan ganjaran
positif,suatu perilaku akan ditimbuhkan dan dikembangkan, sebaliknya jika
diberikan ganjaran negative suatu perilaku akan dihambat[6].
Dalam situasi belajar pai, hukuman
dapat mengatasi tingkah laku yang tidak di inginkan dalam waktu singkat, untuk
itu perlu disertai dengan reinforcement langsung. Hukuman menunjukkan apa yang
tidak boleh dilakukan oleh murid. Sedangkan reward menunjukkan apa yang
semestinya dilakukan oleh murid. Sebagai contoh murid yang tidak menghafalkan
Al-Qur’an Hadits selalu disuruh berdiri didepan kelas oleh gurunya. Sebaliknya
jika dia sudah hafal maka ia disuruh duduk kembali dan dipuji oleh gurunya,
maka lama kelamaan siswa itu akan belajar menghafal pada setiap mata pelajaran
Al-Qur’an Hadits.
H.
Kecocokan Penerapan Teori
Behavioristik dalam PAI
a. Koneksionisme
Menurut saya teori koneksionisme itu cocok
bila diterapkan dalam PAI. Sebab dalam koneksionisme, belajar merupakan
pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respon. Artinya, dalam belajar
PAI hal utama yang paling menentukan adalah adanya stimulus yang bisa
membangkitkan dan membentuk minat siswa untuk mau belajar PAI, dimana asa puas
yang ditimbulakan akan mendorong pembelajaran.
Selain
stimulus-respon, teori ini juga sering disebut dengan “trial and error” yang
berarti berani mencoba tanpa takut salah. Jadi, dalam belajar PAI siswa
diharapkan untuk berani mencoba mempelajari PAI. Sehingga siswa menemukan
keberhasilan untuk mencapai tujuan. Umpanya, dalam mata pelajaran PAI siswa
diberi beberapa pertanyaan dan siswa juga dituntut untuk dapat menjawabnya tapi
dengan teori koneksionisme trial and error siswa diberi kesempatan untuk berani
menjawab pertanyaan yang diajukan tanpa rasa takut salah dalam menjawab dan
akan tetap terus berusaha sehingga ia dapat menjawab pertanyan tersebut dengan
sempurna.
b. Operant Conditioning
Dalam
penerapanya teori operant conditioniang juga cocok bagi PAI, sebab dalam teori
ini “reward” atau “reinforcement” dianggap sebagai faktor terpenting dalam
proses belajar, artinya bahwa perilaku manusia selalu dikendalikan oleh faktor
luar (faktor lingkungan, rangsangan, stimulus). Dilanjutkan bahwa dengan
memberikan ganjaran positif, suatu perilaku akan ditumbuhkan dan dikembangkan.
Sebaliknya, jika diberikan ganjaran negatis suatu perilaku akan dihambat.
Dalam
situasi belajar PAI, hukuman dapat mengatasi tingkah laku yang tidak diinginkan
dalam waktu singkat, untuk itu perlu disertai dengan reinforcement langsung.
Hukuman menunjukkan apa yang tidakboleh dilakukan oleh murid. Sedangkan reward
menunjukkan apa yang mesti dilakukan oleh murid. Sebagai contoh; murid yang
tidak menghafalkan pelajaran Qur’an hadits selalu disuruh berdiri didepan
kelasoleh gurunya. Sebaliknya jika ia sudah hafal maka ia disuruh duduk kembali
dan dipuji oleh gurunya. Lama-kelamaan anak itu belajar menghafal setiap
pelajaran Qur’an hadits.
c. Classical Conditioning
Teori
classical conditioning juga cocok bila diterapkan dalam pembelajaran PAI, sebab
belajar erat hubungannya dengan prinsip penguatan kembali. Atau dengan
perkataan lain, ulangan –ulangn dalam hal belajar adalah penting. Sebagai
contoh; siswa-siswa sedang membaca do’a diawal pelajaran (UR) apabila melihat
seorang guru hendak masuk kelas (US) mulanya berupa latihan pembiasaan
mendengarkan bel masuk kelas (CS) bersama-sam dengan datangnya guru ke kelas (UCS).
Setelah kegiatan berulang-ulang ini selesai, suatu hari suara bel masuk kelas
tadi berbunyi tanpa disertai dengan kedatangan guru ke kelas ternyata
siswa-siswa tersebut tetap membaca do’a juga (CR) meskipun hanya mendengarkan
suara bel. Jadi (CS) akan menghasilkan (CR) apabila CS dan UCS telah
berkali-kali dihadirkan bersama.
d. Continguous Conditioning
Menurut
saya teori ini kurang cocok bila diterapkan dalam pembelajaran PAI, sebab
mengingat kecenderungannya yang serba mekanis dan otomatis. Padahal, dalam
kebanyakan proses belajar yang dialami manusia utamanya siswa yang sedang
belajar PAI peranan insight, tilikan akal dan informasi proccessing, tahapan
pengolahan informasi baik disadari atau tidak selalu terjadi dalam diri setiap
siswa yang sedang melakukan pembelajaran.
e. Social Learning Theori
Begitu juga dengan
teori-teori sebelumnya, teori ini juga cocok bila diterapkan dalam pembelajaran
PAI, sebab teori ini memandang bahwa tingkah laku manusia bukan refleks
otomatis atas stimulus melainkan juga akibat reaksi antara stimulus dan
lingkungan.
[1] Bambang Warsita, Teknologi Pembelajaran
landasan dan aplikasinya,(jakarta, PT.Rineka cipta, 2008), hlm : 88-89.
[2] Abdul Majid, Belajar dan pembelajaran
pendidikan agama islam, (bandung; PT Remaja Rosdakarya, 2014), hlm : 12-13.
[3] Heri Jauhari Muchtar, Fiqih Pendidikan,
(Bandung; PT. Remaja Rosdakarya, 2005), hlm: 122-133.
[5]Asri
Budingsih,Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta :Rineka Cipta, 2005).Hal 27-30
[6]Muhibbin
Syah, Psikologi Pendidikan Sebuah Pendekatan Baru, (Bandung : Rosda,1997), hal
196
No comments:
Post a Comment