Tuesday, February 14, 2017

Makalah Pemanfaatan Tumbuhan sebagai Bahan Sandang



KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan taufik, hidayah serta inayah-Nya, sehingga semua pembaca masih bisa beraktifitas sebagaimana mestinya, begitupun dengan penyususun makalah ini. Sehingga dapat tersusun makalah dengan judul “Etnobotani Tanaman Sandang ”.
Makalah ini berisi tentang penjelasan deskripsi etnobotani tanaman sandang, spesies-spesies yang serat kayunya digunakan sebgai bahan sandang dan juga cara pengolahan serat kayu sebagai bahan sandang.
Terimakasih penyususn ucapkan kepada rekan seperjuangan yang telah membantu, baik langsung berupa perbuatan dan juga tak langsung berupa doa untuk penyusunan makalah ini, sehingga dapat terselesaikan tepat waktu. Paling utama terimakasih penyusun ucapkan kepada dosen mata kuliah etnobotani, Shinta, S.Si, M.Si yang telah membimbing penyusun sehingga makalah ini dapat tersususn denga insyaallah baik dan benar.
Harapan penyusun, dengan tersusunnya makalah “etnobotani tanaman sandang” dapat memberikan manfaat, serta memperluas pengetahuan tentang pembahasan tersebut tersebut untuk pembaca dan penyusunnya. Kemudian, penyusun kembali pada fitrah manusia yang tak pernah lepas dari salah dan dosa juga jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu pula penyusun meminta maaf bila terdapat kekurangan dalam makalah ini. Tak lupa untuk memperbaiki kesalahan dan kekurangan dalam makalah ini penyususn juga meminta kritik dan saran atas makalah ini.
Malang, 17 April 2016
Penyusun


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................... i




BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Manusia menggunakan tetumbuhan untuk pemenuhan kehidupan sehari-harinya, baik secara langsung maupun tidak langsung telah lama mendapat perhatian dalam botani – ekonomi. Sehubungan dengan perannya, tetumbuhan telah dibedakan atas beberapa kelompok seperti sebagai sumber bahan pangan, bangunan, sandang, ritual, peralatan rumah tangga, kayu bakar, permainan anak-anak, dan pewarna (Power, 1874).
Lebuh dari 50 jenis diantara 290 jenis tumbuhan penghasil serat digunakan sebagai bahan sandang oleh berbagai suku bangsa di Indonesia (Heyne, 1987). Sedangkan menurut buku PROSEA No. 17 (2003) diketahui terdapat 72 jenis tumbuhan penghasil serat utama, 128 jenis penghasil serat sekunder dan 619 jenis lainnya namun peranan utamanya adalah sebagai sumber bahan pangan, obat, bangunan, hias dan sebagainya. Selama ini serat alam telah dimanfaatkan sebagai bahan tekstil, tali telali, kerajinan, kertas dan sebagainya.Namun, pemanfaatannya masih belum mencapai taraf komersialisasi. Pengetahuan tradisional masyarakat lokaldan kekayaan keanekaragaman hayati merupakan salah satu modal dasar bagi berkembangnya beragam budaya suku bangsa di Indonesia.
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya hayati, hal ini karenamenurut pernyataan (Melalatoa, 1995), Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki lebih dari lima ratus entri atau lema. Entri atau lema dikategorikan sebagai suku bangsa, sub suku bangsa, komunitas masyarakat yang mendiami pulau kecil, atau masyarakat yang memiliki ciri khas spesifik yaitu kebudayaan, pengetahuan dan kearifan lokal tersendiri, antara lain dalam memanfaatkan tetumbuhan sebagai bahan sandang.
Saat ini dengan semakin derasnya kemajuan teknologi dan tranportasi yang telah memasuki ke pelosok-pelosok terpencil, dikhawatirkan kebudayaan, pengetahuan dan kearifan lokal tersebut tererosi bahkan hilang. Menurut (Waluyo, 1991), proses modernisasi ternyata dengan mudah menggeser sejumlah pengetahuan atau kebudayaan asli suku bangsa diluar Pulau Jawa. Oleh karena itu diharapkan data etnobotani ini menjadi dokumentasi tentang pemanfaatan serat kulit kayu dari beberapa jenis tumbuhan yang digunakan sebagai bahan sandang oleh beberapa suku bangsa di Indonesia, sehingga prospek pengembangannya sebagai salah satu bahan baku kerajinan khas daerah yang saat ini banyak diminati oleh wisatawan mancanegara, mendorong kreativitas masyarakat lokal untuk meningkatkan ekonomi kesejahteraannya dan pelestariaannya dapat ditindak lanjuti. Oleh karena itu makalah ini membahas tentang etnobotani tanaman sandang.

B.     Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari makalah Etnobotani Tanaman Sandang ini adalah:
1.      Apa yang dimaksud etnobotani tanaman sandang?
2.      Apasajakah spesies yang dapat dimanfaatkan sebagai baan sandang?
3.      Bagaiman cara pemanfaatan tanaman sandang sebagai bahan sandang?

C.    Tujuan

Tujuan dari makalah ini adalah:
1.      Untuk mengetahui pengertian etnobotani tanaman sandang.
2.      Untuk mengetahui spesies-spesies yang dimanfaatkan sebagai bahan sandang.
3.      Untu mengetahui cara pemanfaatan tanaman sandang.


BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertia etnobotani tanaman sandang

Pengelolaan keanekaragaman hayati di Indonesia mengalami peningkatan selama kurun waktu 35 tahun ini, bukan hanya sebagai pemenuhan kebutuhan dasar yang terbatas pada pangan, sandang dan perumahan, tetapi juga pada kebutuhan lain seperti ilmu pengetahun, rekreasi dan sebagainya. Hal tersebut mendorong masyarakat melakukan banyak upaya untuk memanfaatkan dan melestarikan keanekaragaman hayati. Upaya tersebut mulai dari inventarisasi, pemanfaatan, budidaya sampai dengan pelestariannya yang melibatkan berbagai disiplin ilmu, diantaranya Taksonomi, Etnobotani dan Bioteknologi (hidup, 2000)
Etnobotani merupakan ilmu botani mengenai pemanfaatan tumbuhan dalam keperluan sehari-hari dan adat suku bangsa. Studi etnobotani tidak hanya mengenai data botani taksonomis saja, tetapi juga menyangkut pengetahuan botani yang bersifat kedaerahan, berupa tinjauan interpretasi dan asosiasi yang mempelajari hubungan timbal balik antara manusia dengan tanaman, serta menyangkut pemanfaatan tanaman tersebut lebih diutamakan untuk kepentingan budaya dan kelestarian sumberdaya alam (Darmono, 2007).
Menurut (martin, 1995) Etnobotani merupakan suatu bidang ilmu yang mempelajari hubungan timbal-balik secara menyeluruh antara masyarakat lokal dan alam lingkungannya meliputi sistem pengetahuan tentang sumberdaya alam tumbuhan. Etnobotani merujuk pada kajian interaksi antara manusia, dengan tumbuhan. Kajian ini merupakan bentuk deskriptif dari pendokumentasian pengetahuan botani tradisional yang dimiliki masyarakat setempat yang meliputi kajian botani, kajian etnofarmakologi, kajian etnoantropologi, kajian etnoekonomi, kajian etnolinguistik dan kajian etnoekologi.
(Tamim & arbain, 1995), menyatakan istilah etnobotani dikemukakan pertama kalinya oleh Dr. J. W. Harshberger pada tahun 1985 dan didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang pemanfaatan tumbuhan secara tradisional oleh suku bangsa yang masih primitif. Secara Terminologi, etnobotani adalah studi yang mempelajari tentang hubungan antara tumbuhan dan manusia. Dua bagian besar dari etnobotani ini adalah terbagi dalam dua kata yaitu “etno” dan studi tentang manusia, “botani”, studi tentang tumbuhan. Jadi etnobotani adalah studi yang menganalisis hasil dari manipulasi materil tanaman asli dengan konteks budaya dalam penggunaan tanaman atau dinyatakan bahwa etnobotani melihat dan mengetahui bagaimana masyarakat memandang dunia tumbuhan, atau memasukkan tumbuhan ke dalam budaya dan agama mereka.
Masyarakat yang dimaksudkan adalah penduduk asli yaitu orang-orang yang mengikuti tradisi atau kehidupan non industrial pada suatu daerah dan kemudian diturunkan pada generasinya. Menurut (martin, 1995) etnobotani adalah bagian dari etnoekologi yang memprioritaskan tumbuhan dalam bidang kajiannya. Ilmu etnobotani yang berkisar pada pemanfaatan tumbuh-tumbuhan untuk kemaslahatan orang di sekitarnya, pada aplikasinya mampu meningkatkan daya hidup manusia. Studi lanjutan dapat berfokus pada penggunaan spesifik (pangan/makanan, ekonomi, banyak manfaat, pakan ternak, buah-buahan, obat-obatan, kayu bakar, dll). Atau bisa juga dengan mencoba mengumpulkan sejumlah informasi dilain musim. Atau memilih tumbuhan spesifik, contohnya cara perkembangbiakan beberapa jenis tumbuhan liar untuk dibudidayakan. Ada berbagai hasil dari studi etnobotani yang dilakukan. Diskusi bersama masyarakat tentang tanaman lokal bisa memunculkan kembali nilai-nilai lama yang pernah didapatkan dari tanaman-tanaman tersebut, selanjutnya bisa disampaikan gagasan-gagasan lain tentang manfaat tanaman tertentu berdasarkan kearifan lokal (Tamim & arbain, 1995)
Studi ini merupakan ilmu yang kompleks dan dalam pelaksanaannya memerlukan pendekatan yang terpadu dari beberapa disiplin ilmu antara lain Taksonomi, Ekologi, Geografi Tumbuhan, Pertanian, Sejarah dan Antropologi, Linguistik, Kimia Bahan Alam, Pharmakognosi, Ekologi Tumbuhan, Antropologi dan Ekonomi.
Pada mulanya penelitian etnobotani dilakukan berawal dari keinginan untuk melestarikan warisan budaya tentang pengetahuan masyarakat pada dunia tumbuhan dan ingin mengetahui interaksi manusia yang hidup di sekitar hutan terhadap hutan sekitarnya. Namun ternyata penelitian ini sangat berguna untuk :
1.      Usaha melestarikan hutan.
2.      Peningkatan pendapatan masyarakat dengan membudidayakan tanaman bernilai ekonomi di luar kawasan konservasi.
3.      Pembuatan daerah buffer zone (daerah penyangga) di kawasan konservasi sehingga penduduk diharapkan tidak mengambil hasil hutan baik kayu dan non kayu.
4.      Pengambilan lahan terdegradasi karena usaha perdagangan dan usaha penduduk di sekitar hutan.
5.      Pengumpulan data masyarakat dan budayanya terhadap tumbuhan yang dipergunakan secara tradisional maupun intoduksi.
6.      Pelestarian aneka budaya masyarakat.
7.      Pengembangan obat tradisional.
8.      Pencarian obat-obatan baru untuk penyakit modren seperti kanker, HIVAIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immuno Deficiency Syndrome), malaria, TBC (Tuberculosis).
9.      Usaha mengembangkan tumbuhan berguna dan berpotensi ekonomi.
10.  Usaha mencari induk silangan untuk pengembangan pertanian.
Kemudian sandang sendiri mempunyai makna pakaian yang diperlukan oleh manusia sebagai makhluk berbudaya, pada awalnya manusia memanfaatkan pakaian dari kulit kayu yang tersedua di alam. Kemudian manusia memanfaatkan teknologi pemintalan kapas menjadi benang untuk ditenun menjadi bahan pakaian. Pakaian berfungsi sebagai pelindung dari panas dan dingin. Lama kelamaan fungsi pakaian berubah, yakni untuk memberi kenyamanan sesuai dengan jenis-jenis kebutuhan seperti pakaian kerja, pakaian rumah, untuk tidur, dan sebagainya. Keanekaragaman hayati dan sumberdaya sandang berarti segala potensi lingkungan yang dapat memenuhi kebutuhan sandang bagi manusia.
Pada awalnya, manusia memanfaatkan kulit pepohonan dan kulit hewan sebagai pakaian, kemudian memanfaatkan benang yang dipintal dari kapas, bulu domba serta sutera yang kemudian dijadikan kain sebagai baha dasar pakaian. Hingga sampai saat ini perkembangan pembuatan bahan pakaian menjadi bermacam, macam. Diantaranya kain katun, bulu binatang, kulit samak, linen, nilon, polyester, rayon, sutera, spandeks, wol, dan sebagainya.
Jadi, etnobotani tanaman sandang merupakan pemanfaatan tanaman atau tumbuhan oleh suku bangsa yang masih tradisional pengolehannya untuk digunakan sebagai bahan sandang pada masa dahulu dan sekarang ini. Sehinga dapat digunakan sebagai pelindung diri pada masanya.

B.     Keanekaragaman jenis Tumbuhan Penghasil Serat Kulit Kayu Sebagai Bahan Sandang

Tercatat sembilan jenis tumbuhan penghasil serat kulit kayu yang digunakan sebagai bahan sandang oleh beberapa etnis di Indonesia seperti etnis Kubu atau Anak Dalam (Sumatera); etnis Dayak Bahau dan Dayak Iban (Kalimantan); etnis Kaili, Kulawi, Lore, Toraja (Sulawesi), etnis Manusela (Maluku) dan etnis Togutil atau Tobelo Dalam (Maluku Utara). Delapan jenis diantaranya termasuk suku Moraceae (yaitu Antiaris toxicaria Lesch., Artocarpus elasticus Reinw. ex Blume, A. integer (Thunb.) Merr., Broussonetia papyrifera (L.) L’Her. ex Vent., Ficus minahassae (Teijsm. & de Vriesse) Miq., F. pungens Reinw. ex Blume, F. variegata Reinw. ex Blume dan Streblus elongatus (Miq.) Corner) dan satu jenis termasuk suku Urticaceae Boehmeria nivea (L.) Gaudich. Jenis-jenis ini umumnya dijumpai di hutan primer dan sekunder sampai pada ketinggian 1.500 m dpl, kecuali A. elasticus sampai diketinggian 3.500 m dpl. Variasi morfologi B. nivea cukup tinggi, dan beberapa kultivar jenis ini telah dibudidayakan di Indonesia; sedangkan jenis-jenis lainnya berasal dari hidupan liar. Kegunaan lain dari jenis-jenis tumbuhan penghasil serat kulit kayu untuk bahan sandang antara lain sebagai bahan obat tradisional, bahan bangunan, penghasil buah dan sayuran, pewarna.
Untuk membuat pakaian atau sandang dari serat kulit kayu diperlukan pengetahuan dan pengalaman dalam mengenal jenis-jenis pohon yang memiliki serat kulit kayu yang kuat, panjang dan afinitasnya besar terhadap air sehingga terasa dingin jika digunakan pada hari panas. Berdasarkan penelusuran beberapa pustaka diketahui terdapat 9 jenis pohon serat kulit kayu yang digunakan oleh beberapa suku bangsa di Indonesia (Kartiwa, 1985). Adapun jenis-jenis tumbuhan serat kulit kayu tersebut sebagai berikut:
1.      Antiaris toxicaria Lesch. Merupakan anggota suku Moraceae. Dengan nama lokal: ipoh, upas, tengis, tingeh (Melayu); tatai (Lampung); nyaman tacem (Dayak); ancar, karag (Jawa); balung, pancar (Madura); impo, ipo (Sulawesi); gado (Maluku). Tanaman ini tersebar di daerah yang meliputi Afrika Barat sampai dengan Madagaskar, Sri Lanka, India, Indo – China, China bagian selatan, Thailand, Malesia, kepulauan Pasifik dan Australia bagian utaraJenis ini merupakan jenis tunggal (monotypic species) dari marga Antiaris. Habitat dari tanaman ini tersebar di hutan-hutan primer dan sekunder dataran rendah sampai pada ketinggian 1.500 m dpl. Kadang-kadang ditemukan juga di padang savana atau di perbukitan tepi pantai. Kegunaan lain dari tanaman ini adalah Getah mengandung senyawa “antiarin” dan digunakan sebagai racun panah atau tuba ikan. Kayunya berkualitas cukup bagus, digunakan sebagai bahan bangunan dan peralatan rumah tangga. Daun dan batangnya sebagai obat penurun panas, namun pemakaiannya dalam jumlah kecil. Bijinya sebagai obat disentri. Kulit batangnya digunakan juga sebagai bahan pencelup pewarna.
2.      Artocarpus elasticus Reinw. ex Blume, termasuk suku Moraceae. Tanaman ini mempunyai nama lokal mengko (Aceh); torop, ulalang, hatapul miak (Batak); tarok (Minangkabau); benda, tereup (Sunda); bendo, bendo ketan, bendo kebo (Jawa); kokap (Madura); taeng (Makassar). Daerah asalnya mulai dari Burma, Thailand, Malaysia, Brunei, Indonesia dan Filipina. Jenis ini merupakan sumber utama serat dari marga Artocarpus, bukan karena seratnya berkualitas tinggi, namun karena jenis ini cukup bagus, cepat dan mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Habitat tanaman ini secara alami dijumpai di hutan yang selalu hijau atau hutan semi meranggas, hutan primer atau sekunder sampai pada ketinggian 3.500 m dpl. Kegunaannya kayu memiliki kelas awet III dan IV, umumnya digunakan sebagai bahan bangunan, peralatan rumah tangga. Serat kulit kayu sebagai bahan tali temali, “tambanan” (dari kulit batang muda), “nyawur” (kulit batang tua), tikar.Getah digunakan sebagai perangkap burung dan obat disentri. Daun sebagai bahan obat penyakit TBC, alas lumbung. Buah dapat dimakan. Kulit batang dimakan oleh wanita atau sabuk/ikat pinggang digunakan sebagai pencegah untuk mempunyai anak.
3.      Artocarpus integer (Thunb.) Merr, merupakan anggota suku Moraceae yang mempunyai nama lokal: pana, panah, panaik, nangka, nangkow (Aceh); nangka, naka (Batak); naa (Nias); lamasa, malasa, menaso, benaso (Lampung); batuk, baduk, naha, enaduk, maduk (Dayak); nangka (Sunda); nangko (Jawa); nangke (Bali, Sasak); nangga, nanga (Bima); hoha (Sawu);nangga, nangka, mangka (Sulawesi Utara); cidu (Makassar); tekele, kaolin, nongga, tafela, ina ale, ai naa wakasaa (Maluku). Sebaran dari tanaman ini adalah Tersebar luas di Myanmar, Semenanjung Thailand, Semenanjung Malaysia dan Indonesia. Jenis ini dibedakan antara yang liar (var. sylvestris) dan yang budidaya (var. integer). Hidupan liarnya sangat bervariasi, ada yang gundul dan berbulu macam-macam. Daunnya setelah layu berwarna hijau sampai kekuning-kuningan. Sedangkan tumbuhan yang budidaya selalu berbulu dan daunnya setelah layu berwarna kuning menyolok sampai jingga. Habitat dari tumbuhan ini jumpai hanya tumbuh di daerah tropik, umum dijumpai di hutan sekunder dan primer dataran rendah sampai ketinggian 500 m dpl.; seringkali di lereng bukit yang lembab. Jenis ini merupakan pohon yang mengisi kanopi kedua dalam hutan dan termasuk yang berumur panjang. Kegunaannya selain sebagai bahan sandang adalah kualitas kayunya cukup bagus dengan kelas awet II dan III, umumnya dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, peralatan rumah tanggga, mebel. Kulit kayu digunakan sebagai pewarna kuning (Selai, agar-agar). Serat kulit kayu selain untuk bahan sandang, juga bahan tali telali (tambang). Akar sebagai bahan obat demam.Getah untuk perangkap burung.Daun sebagai pakan ternak. Buah dan biji dapat dimakan.
4.      Boehmeria nivea (L.) Gaudich, merupakan anggota suku : Urticaceae, yang mempunyai nama lokal: Goni, rami, kelui (Indonesia); romin (Sumatera); haramay (Sunda); kofo yaba (Maluku). B. Nivea di daerah asalnya diduga dari China bagian barat dan tengah; menyebar ke negara-negara Asia. Pada abad ke-18 dibawa oleh orang Eropa dan dibudidayakan di negara-negara tropis, subtropis dan daerah beriklim sedang. Di negara-negara Asia seperti Filipina, Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, Kamboja dan Laos dibudidayakan secara besarbesaran pada awal abad ke-19. Jenis ini memiliki variasi yang cukup tinggi, sehingga dikenal beberapa sub jenis, varietas dan forma. Kultivar yang dibudidayakan di Indonesia antara lain “Pujon 10”, “Bandung A’ dan “Lembang A” (ditanam di Jawa) dan “Puncur batu” (dikembangkan di Sumatera). Habitat: Tumbuh pada daerah-daerah ekuatorial, umumnya dengan dengan suhu 200 – 280 C, namun peka terhadap lahan tergenang. Untuk menghasilkan serat yang optimal dan berkualitas bagus diperlukan perairan yang baik, tanah liat bergaram, pH tanah 5,5 – 6,5. Kegunaannya adalah sebagai serat kulit kayunya merupakan bahan baku tekstil tertua, kertas, jala, tambang dan kerajinan anyaman. Daun sebagai pakan ternak, pupuk hijau, obat asam lambung. Akarnya sebagai obat disentri, diuretik, menghaluskan kulit, pembengkakkan urogenital dan prolapsed uterus.
5.      Broussonetia papyrifera (L.) L’ Hér. ex Vent. Merupakan anggota suku  Moraceae, yang mempunyai nama lokal: Sepukau (Sumatera Barat); saeh (Sunda); galugu, glugu (Jawa); dhulubang, dhalubang (Madura); gembala, rowa (Sumba); ambo, lingowas, iwo (Sulawesi); malak (Maluku). Tanaman ini tersebar Kisaran alaminya meliputi Jepang, China, Indo-China, Thailand, Burma dan India; disebarluaskan ke kepulauan Ryukyu, Taiwan, Filipina, Indonesia (Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kepulauan Sunda Kecil dan Maluku), Papua Nugini dan Polinesia. Jenis ini berkerabat dekat dengan B. kazinoki Sieb., terutama dari Jepang dan Korea. Pertumbuhan alaminya dijumpai di hutan– hutan meranggas di daerah beriklim sedang, namun juga tumbuh subur di dataranrendah dan pegunungan tropis; merupakan tumbuhan pionir sehingga seringkali merupakan gulma perkebunan. Serat kulit kayunya halus, sangat kuat dan agak berkilau. Kayu dan kulit kayunya sebagai bahan pulp. Kulit batang mengandung senyawa flavonoid broussochalcon yang berperan sebagai antioksidan, anti jamur dan anti bakteri. Pucuk daunnya dapat dimakan (lalab), daunnya yang tua sebagai pakan ternak, obat diare pada anak-anak dan peluruh keringat; sedangkan buahnya untuk menguatkan lambung dan sebagai tonik. Penanaman jenis ini juga dapat sebagai pembasmi pertumbuhan alang-alang (Imperata cylindrical (L.) Raeusch.)
6.      Ficus minahassae (Teijsm. & de Vriesse) Miq. Merupaka anggota suku Moraceae, yang mempunyai nama lokal: mahang kusei, tambing-tambing, waren kusei, langusei (Sulawesi). Tanaman ini tersebar di Kalimantan bagian utara, Sulawesi, Kepulauan Talaud dan Filipina. Habitat: Hutan primer dataran rendah, terutama sepanjang aliran sungai. Daunnya digunakan sebagai bahan obat tradisional untuk penyakit rematik. Buah dapat dimakan.
7.      Ficus pungens Reinw. ex Blume, merupakan anggota suku Moraceae yang mempunyai nama lokal: ngesoso, ngeheho, gososo (Maluku). Sebaran: Filipina, Maluku dan Papua Nuigini. Tanaman ini dapat ditemukan di hutan primer dan sekunder, tepi sungai kecil, pada ketinggian sampai 1.500 m dpl. Daunnya dapat dimasak seperti sayuran. Air dari batangnya yang dipotong dapat diminum. Getahnya sangatnya beracun. Serat kulit batang digunakan sebagai pengganti tikar anyaman atau matras.
8.      Ficus variegate Reinw. ex Blume, Merupakan anggota suku Moraceae, yang mempunyai nama lokal: kondang (Sunda), gondang (Jawa, Bali), ghundang (Madura), kanyilu, kencalu, kandelu (Sumba), aha, toubukau, matana, naha, latua (Sulawesi), toro, coro (Maluku). Dijumpai mulai dari India dan Burma, menyebar ke Indo-China, China, Kepulauan Ryukyu, Taiwan, Kepulauan Andaman, Thailand, kawasan Malesia, Kepulauan Solomon bagian timur dan selatan sampai bagian utara Australia. Habitat dari tanaman ini berada di hutan primer dan sekunder pada ketinggian sampai dengan 1.200 m dpl. Seringkali dijumpai di kawasan pedesaan dan di kebun. Kualitas kayu tidak bagus sehingga hanya digunakan sebagai kayu bakar. Kulit kayu digunakan sebagai pengganti pinang. Lilin yang dihasilkan dari getah digunakan untuk membatik. Daun muda dimakan sebagai lalab. Buah yang direbus sebagai obat disenteri. Akar berkhasiat sebagai anti racun.
9.      Streblus elongatus (Miq.) Corner. Merupajan anggota suku : Moraceae, yang mempunyai nama lokal: daendong, laindong, bunta (Sulawesi). Tersebar di Sumatra, Peninsula Malaya, Kalimantan dan Sulawesi. Habitat nya di hutan sekunder dataran rendah. Kayunya sangat keras, kuat, berat digunakan sebagai bahan bangunan dan perkakas rumah tangga.

C.    Proses Pembuatan Bahan Sandang Serat Kulit Kayu

Setiap jenis pohon serat kulit kayu yang dimanfaatkan sebagai bahan sandang memiliki ciri khasnya masing-masing, baik dari segi umur tumbuhannya, cara pengolahannya maupun kualitas kain/sandang yang dihasilkan. Kulit kayu Antiaris toxicaria Lesch. dan Broussonetia papyrifera (L.) L'Hér. ex Vent. diambil dari tumbuhan muda, sedangkan jenis-jenis lainnya diambil dari tumbuhan yang telah cukup dewasa.
Bagian kulit kayu yang digunakan adalah serat bagian dalam setelah dipisahkan dari kulit arinya dengan cara dikikis atau dikerok dengan menggunakan pisau atau potongan kayu/tempurung kelapa yang ditajamkan. Semua serat kulit kayu jenis tumbuhan yang akan dijadikan sebagai bahan sandang kecuali Boehmeria nivea (L.) Gaudich., diproses dengan cara dipukul-pukul cukup keras dengan pemukul atau palu kayu.
Kulit kayu Boehmeria nivea (L.) Gaudich. yang telah dibersihkan dari kulit luarnya yang berlendir dijemur selama 3 hari. Setelah kering pita-pita serat ditarik dari kulit batangnya, kemudian dipintal menjadi benang dan diolah lebih lanjut menjadi bahan sandang. Sedangkan jenis lainnya setelah dibersihkan kulit arinya, kemudian dilakukan pemukulan awal.Selanjutnya direndam dalam air selama 1-3 hari agar kotoran atau lendir/getah yang tersisa keluar. Proses selanjutnya serat kulit kayu tersebut diperas, kemudian beberapa lembaran serat kulit kayu disusun diatas papan atau landasan kayu dan dipukul -pukul dengan palu batu atau kayu yang memiliki alur-alur yang berbeda-beda, semakin tinggi tingkatannya akan semakin halus alurnya. (Rahayu & Sakamoto, 2009) melaporkan bahwa masyarakat Kulawi di Sulawesi Tengah menyebut palu kayu beralur tsb. sebagai “batu Ike”; yang terdiri atas beberapa tingkatan “ike pemimpe”, “ike tanga”, “ike tanga koduo”, “ike pompokapu” dan “ike panbodo” atau “paroda”. Masyarakat Lore menyebut batu ike sebagai “popo”; yang terdiri dari “popo pehelai”, “popo kowang”, “popo kasua” dan “popo pawali”.
Waktu yang diperlukan untuk pembuatan 1 lembar “kumpe” (bahan sandang serat kulit kayu) berkisar 10 – 15 hari dan dilakukan secara terus menerus.Selama proses pembuatan sandang kulit kayu ditemukan adanya mitos atau kepercayaan dikalangan masyarakat setempat antara lain potongan atau lembaran serat kulit kayu yang akan diproses menjadi bahan sandang tidak boleh terkena kotoran hewan atau manusia, tangan pengrajin tidak boleh terkena gula merah, tomat, atau mencuci tangan dengan menggunakan sabun.
Dari hasil pengamatan dilokasi pembuatan sandang serat kulit kayu dan artefakta di beberapa museum diketahui bahan sandang serat kulit kayu dari Boehmeria nivea (L.) Gaudich. dan Broussonetia papyrifera (L.) L'Hér. ex Vent. memiliki kualitas terbaik antara lain halus, lembut, tipis, mengkilap dan berwarna putih; sedangkan sandang dari jenis lainnya agak kasar, kusam dan berwarna coklat kemerahan (Rahayu & Lestari, 2013).




BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Kesimpulan dari makalah ini adalah:
1.      Etnobotani tanaman sandang merupakan pemanfaatan tanaman atau tumbuhan untuk dijadikan sandang atau pakian yang berguna bagi kemaslahatan manusia.
2.      Jenis tumbuhan yang digunakan untuk bahan sandang diantaraya Artocarpus elasticus Reinw. Ex Blume, Artocarpus integer (Thumb.) Merr., Boehmeria nivea (L.) Gaudich, Broussonetia papyrifera (L.) L’ Hér. ex Vent, Ficus minahassae (Teijsm. & de Vriesse) Miq., Ficus pungens Reinw. ex Blume, Ficus variegate Reinw. ex Blume, Streblus elongatus (Miq.) Corner., dan lain sebagainya.
3.      Pembuatan bahan sandang dari serat kilit kayu umumnya diambil dari kulit batang yang sudah tua, kecuali pada A. Toxicaria dan B. Papyfera yang diambil dari bagian kulit yang muda. Pada umumnya cara pembuatannnya dengan cara memukul lembaran kulit kayu bagian dalam agar tipis, melebar, dan halus. Kemudian disambung dan ditumpuk kemudian dipukul kembali.

B.     Saran

Diharapkan pemakalah selanjutnya lebih banyak mengambil beberapa sumber data yang ada di sekitar pemakalah sendiri, agar dapat di aplikasikan dan dimanfaatkan untuk kehidupan kedepannya. Dan juga diharapkan memberikan kajian tentang prospek masa depan dari sandang dengan bahan serat kulit kayu ini.


DAFTAR PUSTAKA

 

Darmono. (2007). Kajian etnobotani tumbuhan jalukap(Centella asiatica L.) di Suku Dayak Bukit Desa Haratai 1 Laksado. Banjarmasin: Prodi pendidikan FKIP UNLAM.
Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia. Jakarta: Badan Litbang departemen kehutanan.
hidup, K. m. (2000). strategi nasional pengelolaan keanekaragaman hayati. jakarta.
Kartiwa, S. (1985). Berbagai Jenis Bahan Pakaian Tradisional dan. Proyek Pengembangan Musium Nasional.
martin, g. j. (1995). Etnobotani: sebuah manual pemeliharaan manusia dan tumbuhan. sabah: Natural Histori Publications(Borneo).
Melalatoa, M. (1995). Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Departemen kebudayaan RI.
Power, s. (1874). Aboriginal Botany. Calif. Acad. Sci. Proc. 5, 373–379.
Rahayu, M., & Lestari, V. B. (2013, september 26). Serat Kulit Kayu Bahan sandang: Keanekaragaman jenis dan prospeknya di Indinesia. Berita biologi, 12(3), 269-275.
Rahayu, M., & Sakamoto, I. (2009, Mei 18). Kajian Etnobotani Broussonetia. (Y. Purwanto, & E. Waluyo, Penyunt.) Prosiding Seminar Nasional Etnobotani IV, 448-504.
Tamim, r., & arbain, D. (1995). Biodiversity dan survey Etnobotani. Makalah loka karya isolasi senyawa berkasiat. medan: USU.
Waluyo. (1991). Perkembangan Pemanfaatan Tumbuhan Obat. Prosiding pelestarian pemanfaatan tumbuhan obat dari hutan tropis Indonesia, 120-127.